Monthly Archives: November 2013

Pikir-pikir Gita Wirjawan

Pernahkah Anda melihat iklan seperti di atas? Bagi Anda yang baru-baru ini naik Damri dari/ke Bandara Soekarno-Hatta pasti pernah dong, ya. Sejenak saya terpana menyaksikan iklan ini lalu kemudian senyum-senyum jahil. Terserah deh pesannya apa dan dari instansi mana, saya tersenyum lihat gambar Pak Gita Wirjawan di situ. Sekilas, mirip dengan gambar di baliho para pemimpin dunia di era 50-an. πŸ˜€

Tapi jangan salah, dari gambar inilah justru ketertarikan saya terhadap sosok Pak Gita ini muncul. Sosok Gita Wirjawan memang sudah tak asing bagi saya yang sering memperhatikan berita-berita ekonomi dan kadang Pak Gita tampil diwawancara di beberapa stasiun televisi asing dengan Bahasa Inggrisnya yang fasih. Namun seperti apakah orangnya di balik touch-up iklan itu?

Gita – The Person

Di situs Gita Wirjawan saya membaca, Gita adalah anak dari Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka Wirjawan. Ayah Jawa, ibu Manado; itu saja sudah bisa menggambarkan betapa Gita sudah terpapar beragam budaya sejak dari keluarga dan cakap mengapresiasi manusia dan budaya lain di sekitarnya. Mata saya lalu tertumbuk pada foto ini:

Ini adalah foto Gita kecil yang sempat dihabiskan di Indonesia sebelum pindah ke Bangladesh mengikuti orangtuanya bekerja di sana. Foto ini saja sudah bisa menggambarkan kalau dulu Gita anak yang nakal, hehe. Benar saja, Gita cilik terkenal malas mandi dan senang nyeker alias berjalan ke mana-mana tanpa alas kaki. Namun keaktifannya bergerak ini mendorongnya tertarik pada dua bidang, yakni musik dan olahraga; dua hal yang kemudian menjadi penyeimbang hidupnya.

Berikutnya kita lihat foto lain lagi:

Nah, ini dia si trouble maker. πŸ˜€ Eh bukan berarti nakal ya. Dia adalah trouble maker alias atlet bulutangkis yang sangat merepotkan lawan-lawannya. Basket, renang dan sepakbola adalah cabang lain yang disukainya namun bulutangkislah yang ditekuni hingga sempat menjuarai beberapa kompetisi di India. Selain itu, musik klasik dan jazz menjadi hobinya yang kedua berkat arahan ayahnya. Dalam suatu kesempatan wawancara sih Gita pernah mengaku bahwa dia menangis ketika ditarik-tarik ibunya ke tempat les piano. Namun belakangan ia justru bersyukur atas dedikasi ayah-ibunya itu.

Pada masa remaja inilah Gita pernah melakukan sesuatu yang baru sekarang diakuinya. Ketika diwawancara Dalton Tanonaka dan Rahayu Saraswati di program mingguan mereka, Gita mengaku pernah mengalami kecelakaan motor ketika SMA. Namun yang mengejutkan Dalton dan Sarah adalah bahwa Gita tidak pernah mengaku pada orang tuanya. Yang ia lakukan adalah menyembuhkan dirinya sendiri di luar sehingga orang rumah hanya melihat semuanya beres. Tapi setelah wawancara itu tentulah ibunya sekarang tahu, bukan?

Dari beberapa pengalaman masa kecil dan remaja Gita, saya melihat bahwa beliau tidak ubahnya dengan anak-anak Indonesia umumnya: jatuh-bangun dan belajar dari kesalahan namun bisa menjadi teladan bagi orang lain melalui serangkaian pengalamannya. Dan yang lebih saya salut adalah, semua cerita itu dia buka terus-terang pada orang-orang sekitarnya sehingga kita tidak melihat Gita sebagai manusia super, melainkan pribadi yang apa-adanya.

Gita – The Mission

Seringkah Anda menyaksikan seseorang berpidato di hadapan publik dengan gaya orasi yang berapi-api atau suara menyayat hati namun Anda tidak paham apa yang ia bicarakan? Saya sih, sering. Oleh karena itulah saya terkesan dengan gaya Gita Wirjawan saat tampil di depan publik. Straight to the point, lugas, tangkas menjawab persoalan secara langsung tanpa membumbui dengan janji-janji manis. Yang beliau tunjukkan adalah komitmen dan terlihat nyata bahwa ia menjalani komitmen itu sehari-hari.

Kalau ditanya apa visi-misinya bagi Indonesia pun dia merumuskannya dalam empat strategi yang singkat dan tegas:

1. Memperbaiki kualitas demokrasi

2. Meningkatkan kekuatan ekonomi yang kental dengan pemerataan

3. Mempertahankan kekayaan budaya

4. Memperkuat kemahiran ilmu dan teknologi bangsa dan negara

Keempat strategi utama itu kemudian dapat dijabarkan dalam poin-poin detail lainnya namun arahan strategi ini jelas terlihat. Dari sikapnya yang terlihat hati-hati namun juga berani mengambil tindakan terukur, saya bisa membayangkan seperti apa PBSI, Kementerian Perdagangan, bahkan Indonesia ke depan jika Pak Gita Wirjawan mengambil kemudi. Slogannya jelas: Berani Lebih Baik. Dan saya yakin, beliau adalah seorang pemberani.

Pak Gita, tahun 2014 mau bawa Indonesia ke mana sih? Saya dukung, deh. πŸ˜€

===

Foto-foto diambil dari situs Gita Wirjawan.

Menara Kudus: Padu Rasa Dua Agama

Terletak di kampung Kauman yang riuh dengan para pedagang di Kudus, Jawa Tengah, berdirilah sebuah penanda hari dan waktu sholat bagi umat Muslim di kampung-kampung sekitarnya dan sekaligus tempat ibadah yang senantiasa ramai oleh para musafir. Masjid Menara Kudus telah menjadi pusat peribadatan orang Islam sejak abad ke-15 Masehi yang pendiriannya digagas oleh seorang penyebar agama terkemuka: Sunan Kudus.

Sayyid Dja’far Shadiq Azmatkhan sejatinya berasal dari bumi Palestina. Berkedudukan terhormat sebagai keturunan Muhammad ke-24, Dja’far Shadiq beserta ayah, kakek serta kerabatnya yang lain kemudian hijrah ke tanah Jawa dalam rangka mengemban tugas mulia menyebarkan agama Islam. Pada masa itu Islam belum lagi mapan sebagai agama mayoritas warga; Hindu telah berakar di sana secara turun-temurun. Demi menyebarkan agama dengan damai tanpa menyinggung perasaan umat lain, Dja’far alias Sunan Kudus mengadaptasi beberapa ciri budaya setempat pada rumah ibadah yang didirikannya pada tahun 1549. Menara tempat orang mengumandangkan sholat diberinya ciri khas Hindu dalam arsitektur dan dekorasinya sehingga tidak memberi kesan asing di mata warga.

Sunan Kudus pulalah yang memberi maklumat baru ketika suatu hari perayaan Idul Adha tiba. Demi menjaga perasaan warga Hindu yang memuliakan sapi, sang pemuka agama memutuskan bahwa tidak ada seekor sapi pun yang boleh disembelih di wilayah Kudus dan sekitarnya. Sebagai ganti hewan tersebut dan demi menunaikan kewajiban ibadah umat Muslim yang baru, Sunan Kudus lalu memerintahkan agar para umat menyembelih kerbau. Kebiasaan itu masih berlangsung hingga saat ini di mana warga Kudus biasa menyembelih kerbau saat Idul Adha. Para pecinta kuliner juga tentu tak asing dengan beberapa hidangan seperti sate dan soto kerbau khas daerah ini.

Kembali ke Masjid Menara Kudus. Di samping kanan menara berdirilah sebuah masjid yang sebenarnya juga sudah tua namun penampilannya tampak berbeda hasil renovasi beberapa kali di masa silam, utamanya di tahun 1918. Masuk ke pelataran masjid dan menara kita akan melalui beberapa gerbang unik terbuat dari bebatuan khas candi dengan ornamen-ornamen keramik di atasnya. Di belakang masjid ini terdapat pula makam Sunan Kudus yang menjadi pusat ziarah banyak umat dari berbagai penjuru tanah Jawa.

Selanjutnya biar beberapa gambar saja yang bercerita:

Halaman depan masjid selalu ramai oleh para peziarah yang mengambil gambar
Masjid Menara Kudus dengan dekorasi keramik-keramik unik di sekelilingnya
Pintu gerbang

Tangga ke atas menara. Sayangnya akses ditutup
Pelataran dalam masjid
Antri menuju kompleks makam
Menyentuh pintu gerbang makam nampaknya menjadi kebiasaan unik para peziarah
Bak cuci muka yang tetap bergaya candi

Β Masjid Menara Kudus adalah salah satu bukti bahwa kedatangan agama baru tidak harus serta-merta menyingkirkan agama yang lama dengan kekerasan. Beberapa hal baik atas nama toleransi dapat diadaptasi asalkan tidak mengorbankan ajaran yang hakiki. πŸ˜€

Batik Nongkrong

Malam sudah semakin larut ketika kami menyelesaikan diskusi spontan tentang sejarah dan budaya Lasem di teras rumah kecil di desa Sumbergirang yang masih ramai di hari pertama Festival Lasem itu. Namun meski angin mulai menggigit, sebagian besar di antara kami masih belum mau tidur. Alih-alih pulang ke hotel, ‘kepala genk’ alias Mas Pop justru mengarahkan motornya ke utara jalan raya Pantura menyusuri tambak-tambak garam desa Dasun yang kala itu cuma tampak hitam saja. Serombongan motor yang melaju di jalan rusak membelah malam mengesankan seolah-olah ada sesuatu yang penting hendak terjadi.

Setelah menembus tambak, kami pun tiba di sebuah kampung kecil dan berhenti di sebuah rumah yang tak jauh letaknya dari bibir pantai. Ah, warung kopi rupanya! Pemiliknya yang sudah terlelap dibangunkan dan segera menyiapkan minuman hangat. Warung kopi ini super sederhana. Hanya ada gubuk kecil di depan rumah yang menyediakan kebutuhan melek seperti minuman dan makanan kecil beserta bangku-bangku panjang di depannya; lalu ada juga etalase BBM di sampingnya. Namun karena jumlah kami yang banyak, kami lebih memilih lesehan di teras rumah. Ngalor-ngidul pun berlanjut seolah malam tidak akan pernah berakhir.

Ketika kopi telah dihidangkan, pemilik rumah lalu mengeluarkan beberapa peralatan yang tampak aneh.

Kira-kira untuk apa disediakan tisu, sebotol susu kental manis, benang, dan tatakan kayu itu ya? Kombinasi yang aneh, namun tidak bagi para pemuda Lasem. Dengan gembira mereka menyambut peralatan itu lalu menuangkan cairan kopi di piring kecil. Lalu apa yang berikutnya dilakukan?

Beberapa lembar tisu diletakkan di atas cairan kopi
Biarkan tisu tersebut menyerap semua cairan
Tuangkan susu kental manis, sedikit saja.
Aduk rata susu kental manis dengan ampas kopi

Benang-benang lalu dipotong dan sebatang korek api dinyalakan dan ujungnya dibiarkan hangus sehingga membentuk semacam ujung pensil. Kemudian mereka pun siap beraksi. Percobaan pertama:

Ampas kopi yang sudah lengket itu di’lelet’kan alias dioleskan di batang rokok

Ooooh, itu fungsinya. Katanya sih sebagai penambah aroma dan rasa bagi rokok itu. Buat saya yang tidak merokok mungkin tidak paham. Namun bagi yang mengerti, kopi memang bisa menambah sensasi lain pada rokok. Eh, tapi gambar di atas adalah contoh orang yang malas. πŸ˜›

Mereka lalu MEMBATIK!
Rokok yang sudah selesai dibatik lalu diletakkan di tatakan kayu
Ayo, Mas. Jangan mau kalah!
Benang pun bisa jadi alat membatik

Jadi itu rupanya fungsi alat-alat aneh tadi. Perkenalkan: Batik Rokok yang khas Lasem. Inilah cara para pemuda desa menghabiskan waktu di warung kopi yang tak jarang menjadi berjam-jam. Mungkin berawal dari masyarakat Lasem yang mengembangkan budaya batik, para warga yang sedang bersantai pun ketularan daya kreatifitas dari para pembatik atau bisa jadi justru menjadikan warung kopi sebagai sarana latihan untuk kemudian melamar kerja pada pengusaha batik. Bisa jadi!

Konon katanya hanya kopi Lasem yang bisa di’ikat’ oleh susu kental manis dan tidak pecah ketika dikeringkan di atas rokok. Mereka sudah mencoba berbagai jenis kopi lain dan selalu gagal. Kreatifitas para pemuda ini tidak bisa dibilang asal-asalan; hasil karya batik rokok mereka benar-benar artistik dan mereka pernah menang di kompetisi batik rokok yang diadakan oleh perusahaan rokok terkemuka dari Kudus.

Saya jadi ingin coba, deh.

That’s it, boy!
Coba terka yang mana hasil karya saya? *tutup muka*

Ternyata bagi pemuda Lasem, cara terbaik menghabiskan malam di kampung samping tambak garam adalah membatik, meski bermodalkan kopi lelet, seperangkat tisu dan susu kental manis serta dilukiskan di media rokok. Batik Rokok, meski tidak bisa dipakai dan justru kemudian habis dihisap, adalah contoh lain tentang kekayaan budaya Lasem, dulu dan kini.

Pengen nongkrong di Lasem? Yuk, sekalian kita membatik. πŸ˜€

 

 

Rahasia Kecil Lawang Ombo

Lasem, Oktober 2013

Saya turun dari kendaraan bersama serombongan wisatawan dari Semarang yang mengunjungi kota Lasem di Kabupaten Rembang sebagai bagian dari acara Jalan-Jalan Warisan Budaya. Tujuan pertama kita adalah Lawang Ombo yang terletak di salah satu gang di kota lama Lasem. Rumah yang menempati lahan cukup besar dan memiliki dua bangunan utama yang biasanya sunyi ini mendadak ramai oleh para pengunjung.

“Mumet,”

begitu batin saya sambil melangkah ke teras dan berusaha menjaga jarak agar leluasa menikmati detail dan mengambil gambar.

***

Malam mencekam menyelimuti Lasem yang bahkan jangkrik pun tak berani bersuara. Angin darat yang dingin menusuk tulang dan semua orang memilih menutup pintu gerbang besar, pintu rumah, dan semua jendela rapat-rapat dan membiarkan kegelapan merajai sekelilingnya. Konon katanya di malam-malam seperti itulah para mata-mata berjaga, mengintip kampung demi kampung dan rumah demi rumah demi memastikan seluruh warga tidak sedang merancang pemberontakan.

Namun suasana lain terekam di rumah berpintu gerbang kayu besar dan berhalaman luas itu. Para anggota keluarga berkumpul di ruang utama. Tak ada yang berani berbicara keras karena takut terdengar ke luar. Suasana cemas memenuhi setiap jengkal ruangan. Sang Taipan yang duduk di kursi kayu sedang berpikir keras ditemani istri, anak-anak, serta seluruh pembantu yang bersimpuh di sekelilingnya. Hanya dua batang lilin yang menerangi ruang itu. Segala sesuatu harus hemat sekarang.

Candu yang dahulu bebas diperjual-belikan di kampung-kampung kini dilarang. Hasil panen dari ladang-ladang resmi saja yang diperbolehkan, sementara hasil dari ladang-ladang gelap harus dibakar. Apalagi persaingan ekonomi antara kaum pedagang Tionghoa, pribumi, dan Belanda kini dibumbui politik. Kaum pribumi dan Tionghoa bersatu-padu menentang penindasan Belanda terhadap warga keturunan yang berawal dari Batavia dan meluas ke segenap penjuru Jawa. Sebagai salah satu kota yang dihuni warga Tionghoa terbesar, Lasem turut membara. Selain memobilisasi massa bersenjata, segenap sumber daya pun dikerahkan untuk mendukung perjuangan. Candu pun menjadi primadona termahal yang pantas dibela dengan nyawa.

“Dua pekan lagi saat bulan purnama, seorang dari penghuni rumah kita harus meninggal.”

“Lao Gong!” Sergah sang istri dengan jeritan tertahan, tak percaya akan perkataan suaminya.

“Lao Po, cobalah mengerti. Ini satu-satunya cara kita mendukung para pejuang dan mempertahankan kehormatan keluarga. Aku tidak punya cara lain sekarang kecuali mengorbankan salah satu kebanggaan kita yang berharga.”

“Lagipula,” gumam sang suami lagi. “Stok di gudang atas rumah belakang harus dihabiskan.”

Sang istri, anak-anak, dan semua pembantu tercekat dalam ketakutan akan masa depan yang sudah terbayang. Meski demikian hati mereka semua sepakat, inilah cara terbaik yang harus dijalani.

“Jongos, apakah kau siap?”

“Siap, Tuan!” Desis sang jongos mantap.

Jongos ini telah menjadi abdi sang Taipan sejak muda. Perawakannya sangat tegap untuk ukuran pemuda tujuh belas tahun. Betapa pun sulitnya tugas ini, perintah Taipan adalah panggilan yang mulia. Matanya tajam tertuju pada majikannya, sementara ayah-ibunya mengintip dari sudut ruangan. Ibundanya yang menjadi juru masak di rumah itu menitikkan air mata. Kerongkongannya hendak melolong, namun tangan suaminya menggenggam erat pundaknya, menjaga agar emosinya tertahan.

“Kemaslah barang-barangmu sekarang. Ajak juga keluargamu ke belakang untuk berpamitan. Sebentar lagi mereka datang.”

Tak lama setelah mereka menghilang di balik pintu, terdengar samar suara ketukan di kamar sebelah. Sang Taipan tahu siapa itu. Segera ia bangkit dari kursinya dan berjalan meraih pintu. Setelah ia masuk, jongkoklah ia di lantai, di hadapan sebuah penutup kayu bundar tepat di tengah ruangan itu. Lalu ia mengulurkan tangan membuka penutup itu.

Dari balik penutup itu tampaklah lubang dengan ukuran sebesar umur, dua puluh meter kira-kiranya dalamnya. Dari situlah keluar dua orang berbalutkan kain hitam-hitam bertampang sangar bak pencoleng yang hendak menyatroni rumah.

Dengan suara tenang sang Taipan berkata, “Malam ini ada lima karung. Segera diangkat.”

Mereka berdua menoleh ke arah tumpukan karung di sudut kamar lalu dengan sigap mulai bekerja. Karung-karung tersebut diturunkan perlahan ke dalam lubang, terus ke bawah sampai ke aliran air di bawah tanah di mana sebuah perahu telah menunggu. Aliran air tanah yang menembus sampai sungai terdekat itu menjadi jalur penyelundupan yang baik sekali bagi para pemberontak dan barang-barang lainnya. Perahu itu datang berkunjung ke lubang tersebut dua minggu sekali dan mengangkut barang yang sangat berharga: candu.

Namun malam ini ada penumpang lain.

Sang Jongos kembali dari rumah belakang sambil membawa buntelan kecil yang disampirkan di bahunya. Matanya tetap tajam meski sekujur badannya tidak mampu menyembunyikan kegentaran hatinya. Malam ini ia akan berangkat meninggalkan keluarga, majikan, dan segala masa kecilnya di rumah berpintu besar itu.

Terdengar siulan dari dalam lubang. Para pengangkut karung tadi telah siap berangkat. Sang Taipan mengalihkan pandangan dari lubang dan menoleh ke arah jongosnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sang Taipan tergerak untuk mengangkat tangan dan menggenggam erat pundak jongos yang sudah dianggap seperti anak laki-laki keduanya. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya yang tenang menandakan ada kepentingan lebih besar yang harus didahulukan.

“Pergilah berjuang, hambaku yang setia. Jikalau ada nasib baik, kita akan bertemu lagi.”

Masih tanpa suara, sang jongos menunduk hormat lalu turun dan menghilang di balik lubang.

Sang Taipan lalu memberikan perintah terakhirnya malam itu.

“Siapkan pemakaman putraku dua pekan lagi. Susun semua karung candu di dalam peti dan kita hantar peti itu sampai ke pelabuhan. Semua keluarga harus ikut dalam pakaian berkabung. Biar Belanda mengira kita sedang berduka dan memberi jalan bagi candu itu tepat di bawah hidung mereka!”

***

Tampak depan Lawang Ombo
Teras
Altar keluarga di ruang utama
Tampak belakang
Bekas gudang candu di rumah belakang
Lubang candu yang dalamnya kini sudah tertutupi lumpur dan tidak lagi bisa diakses

Kebat-kebit Belanja di Solo

Masih ingatkah cerita saya tentang kelupaan bawa kamera di Candi Gedong Songo akibat packing serabutan? Rangkaian ‘kebodohan’ itu masih belum selesai. Ketika datang ke Semarang saya dengan super santainya membawa tas gembolan kecil dengan diisi 2 kaos dan sehelai celana pendek karena tadinya saya pikir akan langsung pulang ke Jepara. Tapi rencana akhir pekan tiba-tibaΒ  buyar ketika ada SMS masuk yang mengabarkan saya harus segera ke Solo untuk menghadiri sebuah acara. Karena sudah terlanjur sampai di Semarang, mau-tak-mau saya harus langsung berangkat ke Solo naik travel.

Ada sedikit pengakuan di sini: saya belum pernah ke Solo! Dulu pernah sih, kunjungan ke beberapa pabrik tekstil. Itu pun agendanya langsung ke pabrik-pabrik setelah turun di bandara, lalu sorenya kembali lagi naik pesawat. Maka sepanjang perjalanan kali ini saya serabutan mencari hotel dan info lainnya tentang Solo. Karena rencana liburan sudah berubah menjadi urusan kerja, segala sesuatu harus dipersiapkan dengan pasti. Tidak boleh lagi asal nyelonong ke resepsionis hostel sambil berharap ada kamar termurah. πŸ˜›

Setelah sampai di Solo, saya masih punya sedikit waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan secara remote dari kamar hotel ketika tiba-tiba saya tersadar telah melupakan satu hal penting: BESOK GUE MAU PAKE BAJU APA KE ACARA ITU? Ajegile, yang ada saya bakalan diusir satpam kalau datang dengan dandanan backpacker. Terus mau belanja ke mana? Secara saya belum tau Solo, saya tidak punya pikiran lain kecuali ke mall untuk beli baju di sana. Paling tidak saya bisa ‘tutup mata’ alias percaya penuh pada kualitasnya.

Apa boleh buat, saya harus meninggalkan beberapa prinsip backpacker yang cukup nista bila dilanggar. Misalnya: naik taksi, menginap di kamar hotel minimal bintang dua, sampai berbelanja dan makan di mall! Tapi mau bagaimana lagi, demi kesuksesan saya di acara tersebut yang tentunya akan membantu karir di masa depan, pakem-pakem para petualang tersebut harus ditinggalkan dulu. Maka dengan perasaan kebat-kebit melangkahlah saya ke sebuah mall di Solo yang tidak tanggung-tanggung: MALL PALING BARU!

Lihat, kan, gambar di atas? Itu adalah lantai bawah The Park Solo, pusat perbelanjaan yang baru mulai membuka pintunya bagi warga Solo. Nah, di mall ini ada dua lantai yang ditempati METRO Department Store yang mulai menyapa pengunjung sejak akhir Oktober 2013 lalu. Sebenarnya saya sempat bingung, kok METRO Department Store belum membuka tokonya di Semarang dan malah memilih Solo sebagai toko pertamanya di Jawa Tengah? Namun saya sih dapat memahami strategi ini karena meski Solo bukan ibukota Jawa Tengah, pergerakan ekonomi dan industri di seputar kawasan ini sangat pesat, terutama tekstil. Oleh karena itu sangat wajar bagi METRO untuk membuka cabangnya yang pertama di Solo guna melesat lebih cepat sebagai pusat perbelanjaan terkemuka di Jawa Tengah. Tak dipungkiri bahwa meski Solo terkenal dengan produk-produk khas seperti batik dan kerajinan, masyarakat memiliki kebutuhan beragam dan PT. Metropolitan Retailmart hadir bagi warga Solo khususnya segmen menengah ke atas guna menjawab kebutuhan ini.

Meski suasana METRO sangat nyaman dan kinclong, saya bukanlah tipe pembelanja yang betah berlama-lama karena biasanya jika sudah memiliki kebutuhan yang pasti, waktu yang saya habiskan maksimal 30 menit saja. Jadi begitu melangkahkan kaki ke area department store saya langsung bergerak ke wilayah produk-produk untuk pria. Lihat-lihat, memegang beberapa kemeja untuk merasakan tekstur kainnya, lalu ke kamar pas untuk mencoba. Terus langsung ke kasir!

Di Men’s Department ini ada dua brand menarik perhatian yakni IZOD, brand pakaian sporty yang belum pernah ada sebelumnya di delapan gerai METRO lainnya di Indonesia. Koleksi apparel-nya sangat beragam dengan tema sportif, berjiwa muda, dan penuh warna. Koleksinya beragam mulai dari pakaian golf, shirt, poloshirt, jaket, hingga chino dan bermuda. Brand lainnya yang membuat mata saya berbinar-binar adalah High Sierra dengan koleksi tas dan koper untuk traveling. πŸ˜€

Saya ke sana bertepatan dengan hari pertama soft-opening. Belum lagi dibuka secara resmi, METRO Department Store sudah menggeber promo voucher Rp 50,000.- bagi yang menunjukkan foto mobil iklan METRO atau bagi yang beruntung terpilih dalam program 1000 Orang Pertama yang mendapat kejutan istimewa yang mendaftarkan emailnya lewat situs countdown dan menerima email konfirmasi untuk ditukar dengan voucher Rp 50,000.- di Customer Service. Seperti saya, lumayan banget dapat vouchernya! πŸ˜€

Masih kurang? Ada lagi voucher Rp 250,000.- untuk yang berbelanja senilai minimal Rp 500,000.- sampai dengan tanggal 14 November 2013 dan mendaftar keanggotaan METRO Yours Card (MYC) yang juga akan otomatis diundang ke acara Appreciation Night METRO The Park Solo tanggal 15 November 2013. Masih ada waktu seminggu lagi. Info selanjutnya sila simak di akun-akun resmi METRO di Facebook, Twitter, dan Instagram.

Waktu 30-45 menit cukup bagi saya untuk memenuhi kebutuhan mendesak guna menghadiri acara penting di Solo, dan salah satu lokasi berbelanja yang praktis ini telah membantu persiapan saya. Sekarang tinggal fokus menghadiri acara dan presentasi. Wish me luck! *komat-kamit*

Menyibak Museum Kartini Rembang

Raden Ajeng Kartini adalah seorang pejuang emansipasi perempuan semasa hidupnya. Namun mungkin tidak banyak yang pernah bersentuhan dengan karya tulisannya atau menyelami pribadinya. Jika ditelaah lebih jauh, sesungguhnya kita akan memahami betapa kontras antara impian kemandirian dan kenyataan hidupnya.

Dipingit sejak lulus sekolah dasar selama bertahun-tahun, Kartini lalu dipertemukan dengan Bupati Rembang yang dua kali lipat usianya dan diboyong ke rumah suaminya setelah menikah. Sesampainya di sana, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ia adalah perempuan keempat yang masuk ke rumah bupati. Tidak terlalu lama, hanya setahun ia tinggal di rumah itu hingga akhirnya meninggal dunia setelah melahirkan putra satu-satunya.

***

Masih ingat kan terakhir kali berkunjung ke Museum Kartini di Jepara saya misuh-misuh di sana? πŸ˜€ Saya lalu mendengar bahwa ternyata Museum Kartini tidak hanya satu, tetap dua. Ada ‘kembaran’-nya di Rembang. Pada suatu akhir pekan pun saya berkunjung ke Rembang yang juga terletak di pantai utara Jawa, sekitar 3 jam perjalanan dari Jepara. Cukup jauh memang karena untuk sampai ke sana kita harus melewati Kudus dan Pati. Sebenarnya ada jalan lain yang melewati utara Gunung Muria namun kondisi jalannya berkelok-kelok dan sepi. Lebih nyaman lewat Jalur Pantura.

Lokasi Museum Kartini Rembang sangat strategis karena juga terletak dekat alun-alun. Namun berbeda dengan Jepara yang membangun gedung baru, di Rembang ini lokasi yang digunakan adalah bekas rumah dinas Bupati Rembang yang dahulu juga merupakan tempat tinggal Kartini. Sebenarnya museum ini belum lama didirikan, yakni pada tahun 2011. Pada saat itu sang bupati yang orang asli Rembang memilih untuk tinggal di rumah pribadinya dan menyerahkan rumah dinas ini untuk dijadikan museum.

Berbeda sekali dengan Jepara di mana rumah Kartini masih digunakan sebagai rumah dinas bupati dan kamar-kamar bersejarahnya masih ditempati sang keluarga, kecuali kamar tempat Kartini dipingit yang dibiarkan seperti semula. Namun tentunya tidak sembarang orang bisa masuk ke sini.

Kembali ke Rembang. Meski sudah menjadi museum, namun acara-acara resmi tingkat kabupaten masih dilaksanakan di pendopo utama. Gedung-gedung lainnya di kompleks ini pun masih berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Akibatnya, ada saat-saat tertentu ketika museum ini ditutup untuk umum karena sedang berlangsung acara tertentu. Seperti yang terjadi pagi itu; saya tidak bisa masuk ke museum karena sedang ada pelepasan kontingen Rembang ke Pekan Olahraga Provinsi Jawa Tengah. 😦

Untunglah berkat ngobrol, saya diizinkan masuk ke museum namun harus menunggu hingga jam 2 sore. Saya pun mengalah dan melangkahkan kaki ke tempat lain. Sekitar jam 3 sore saya kembali dan petugas museum yang berpakaian santai bercelana pendek mengundang saya masuk ke gerbang sambil membawa seperangkat kunci. Karena acara pelepasan tadi pagi, seluruh pegawai museum sebenarnya diliburkan namun mas-mas pegawai museum yang tadi pagi saya ajak ngobrol di gerbang ini berbaik hati membukakan pintu museumnya untuk saya. Jadi pengunjungnya cuma saya seorang. Uang tiket masuk Rp 2,000.- pun tidak dimintakan. πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

Bagian dalam museumnya sangat bersahaja namun koleksi-koleksinya tersimpan rapi. Karena museum ini dulunya rumah pribadi bupati, maka koleksinya tidak diletakkan di aula besar namun tersebar di kamar-kamar, taman samping, dan ruang dalam yang sejuk namun cenderung gelap di sore itu (mungkin karena tidak semua jendela dibuka). Koleksinya cukup banyak dan bersih. Selanjutnya biar beberapa slide saja yang bercerita:

Powered by TripAdvisor

Museum Kartini Rembang ini, menurut saya, memiliki koleksi yang lebih baik dari kembarannya di Jepara. Bisa jadi demikian karena Kartini membawa banyak barang pribadinya setelah menikah. Kemudian lokasi museum yang dulunya memang kediaman Kartini mampu menampilkan sosoknya secara lebih personal.

Namun bukan berarti pengelolaannya tanpa cacat. Koleksi-koleksi museum perlu dibersihkan lebih teliti. Lalu ruang pamer sudah cukup memadai dan diberi lampu-lampu penerang yang cukup. Bahkan ada pula seperangkat komputer yang dapat menerangkan sejarah Kartini dan juga Rembang pada umumnya. Tetapi … komputer-komputer tersebut mati ketika saya datang. “Lagi error, Mas,” begitu jawabannya. Ya sudahlah. 😦

Kursus Kilat di Gedong Songo

Kalau dipikir-pikir saya ini termasuk traveler yang cukup nekat karena sering mengambil keputusan jalan-jalan dengan terburu-buru dan 1-2 kali bahkan memaksa berangkat besok subuhnya tanpa persiapan apapun. Entah itu tiba-tiba kabur ke Pangandaran atau mendadak ingin lihat Bromo, hal-hal seperti itu cukup sering saya lakukan.

Sama halnya dengan minggu lalu ketika saya datang dengan santai dari Jepara untuk sekadar menghabiskan akhir pekan di Semarang bersama seorang kawan. Namun tak disangka, agenda berubah dan kawan yang tadinya ingin diajak jalan malah ada acara lain. Jadilah saya bengong di Semarang pagi itu tanpa tahu hendak ke mana. Setelah kasak-kusuk dengan beberapa teman di Twitter sekadar bertanya tempat apa yang seru untuk dikunjungi di seputar Semarang, akhirnya saya putuskan ke Candi Gedong Songo di Ungaran.

Saya langsung tertarik dengan kompleks candi Hindu yang dibangun sekitar abad ke-9 oleh Wangsa Syailendra ini. Berbeda dengan candi-candi di selatan Jawa yang besar, Gedong Songo memiliki lima kompleks candi yang semuanya berukuran kecil dan empat sisanya bahkan hanya tersisa tumpukan batu tak beraturan.

Di samping pemandangan bukit-bukit hijau dihiasi candi-candi yang tampak pucuknya di kejauhan, udara di Gedong Songo juga lumayan dingin menusuk. Saya merogoh tas untuk mengeluarkan jaket … loh di mana jaket? Astaga, kelupaan! Ya sudah, saya tambahkan 1 kaos lagi untuk sekadar menutupi dada. Yang saya cari berikutnya adalah kamera … LOH DI MANA KAMERA?!! Ternyata di tengah packing serabutan yang saya lakukan di Jepara, saya telah melupakan benda yang sangat penting, yakni kamera saku yang menjadi salah satu aset menulis (dan narsis). 😦

Jaket ketinggalan masih bisa diganti yang lain, namun kamera yang ketinggalan bukanlah cerita yang indah. Mau tidak mau saya terpaksa mengandalkan kamera ada yang ada di telepon yang baru saya beli. Saya keluarkan HP tersebut dari kantong lalu saya amat-amati sambil muka masih merengut karena keteledoran tadi pagi. Terus apa bagusnya sih telepon ini?

Niat awal saya membeli Samsung GALAXY Ace 3 adalah karena saya memerlukan sebuah TELEPON, yang ditambah fungsi lain di sana-sini yang bisa mendukung saya memantau social media di jalan tanpa terlihat mencolok. Karena itulah saya tidak memilih perangkat yang lebih besar seperti Samsung GALAXY S4 soalnya terus terang ijke takut dipalak preman di pertigaan kampung, cynn! 😦 Dengan ukuran layar 4 inci, telepon ini terasa pas di genggaman dan cukup nyaman di mata dan terutama di jempol karena keypad-nya tetap bisa dipakai mengetik cukup cepat. Kayak gini nih telepon saya:

Eh, dari tadi saya masih menyebut Samsung GALAXY Ace 3 ini ‘telepon’ ya. Awalnya saya meragukan kemampuan lain dari perangkat ini sehingga tidak banyak mengeksplorasinya sesudah membeli. Akhirnya sebelum saya lanjut ke candi berikutnya saya duduk sambil makan sambil mengutak-atik perangkat tersebut dan mencari tahu fungsi-fungsi lainnya.

Social media tools

Saya biasanya pakai Twitter, Foursquare, Instagram dan Path untuk berinteraksi dengan kawan-kawan sekaligus pamer foto terbaru (yes, guilty as charged). Samsung GALAXY Ace 3 ini menawarkan kelengkapan fasilitas tersebut dengan mulus karena otaknya gak cuma satu tetapi dua alias Dual Core sehingga semua aplikasi tersebut bisa berfungsi baik. Terutama Path yang biasanya paling lama memakan waktu untuk memasang gambar, perangkat ini mampu menjawab kebutuhan saya walaupun sinyal 3G sedang ngambek-ngambeknya.

Di samping itu banyak aplikasi lain yang biasa saya unduh di perangkat Android seperti berita, kamus, peta dan transportasi kota dan beberapa aplikasi tidak penting namun dibikin penting untuk sekadar menghabiskan waktu di jalan. Sejauh ini saya puas banget dengan performanya yang cepat. Apalagi kalau sedang di kendaraan umum yang bergoyang-goyang, kadang saya kesulitan menggunakan keypad. Karena itu saya sangat berterima kasih pada fasilitas S Voice yang membantu saya menjalankan perintah berbasis suara. Berguna banget kalo lagi panik ditagih ongkos sama kondektur. πŸ˜›

Kamera

Kameranya 5 MP, jelas saya tidak berharap banyak dibandingkan kamera saku atau yang profesional. Tapi setelah kursus kilat fitur-fitur kamera ini di Gedong Songo, ada dua fasilitas yang saya sambut dengan gilang-gemilang. Pertama adalah Sound & Shot alias kemampuan menambahkan suara pada foto. Iya, fotonya jadi ada suaranya! Atau ada juga fitur Best Shot, yakni kemampuan kamera untuk melakukan burst shot lalu secara otomatis memilih foto terbaik. Jadi gak perlu lagi saya menyumpahi kamera lelet ketika sedang mengambil foto di depan candi yang ramai orang.

Fitur-fitur keren

Selain dua keunggulan di atas, ada lagi fitur-fitur keren di HP ini. Sebagai traveler, aplikasi S Travel berguna sekali bagi saya untuk mengetahui rekomendasi wisata setempat, penginapan, transportasi, dan tempat-tempat kuliner. Atau memasuki sebuah negara tanpa paham bahasa itu sedangkan orang-orang yang kamu temui gagap berbahasa Inggris? Jangan risau, kengkawan, aplikasi S Translator bisa membantu. πŸ˜€ Kalau lagi di bis dan ingin melakukan sesuatu dengan cepat, fitur Motion UX bisa dimanfaatkan agar yang kita mau dapat dilakukan dengan sekali menyentakkan HP. Fitur-fitur lainnya dapat dilihat juga di sini.

Selanjutnya biar beberapa gambar saja yang bercerita ya. Semua gambar di bawah ini adalah contoh hasil jepretan kamera Samsung GALAXY Ace 3 di Gedong Songo dan juga beberapa tempat di Semarang yang tidak saya edit sama-sekali kecuali menambahkan copyright mark di kiri bawah:

Salah satu candi di kompleks Gedong Songo
Spot the temple!
Hampir ketiduran di Candi ke-3
Contoh foto dalam ruangan (Semarang Contemporary Art Gallery)
Contoh foto makanan (Toko Oen)

Bagi saya gambar-gambar di atas sangat jernih; lagipula keuntungan mengambil gambar dengan smartphone yang terutama adalah kita bisa lebih discreet mengambil gambar candid. Jadi perangkat terbaru Samsung ini sangat cocok untuk saya.

Dengan harga 2,1 jutaan untuk sebuah smartphone, Samsung GALAXY Ace 3 ternyata jauh melebihi harapan saya dengan menawarkan fitur-fitur yang lengkap dan value for money-nya sangat terasa. Senang banget karena ternyata pilihan saya kepada perangkat ini sebagai rekan perjalanan ternyata tidak salah. Saya tidak sabar untuk mencoba Samsung GALAXY Ace 3 ini ke tempat-tempat menarik lainnya di Indonesia dan Asia!

By the way, nih ada cerita Joni yang kesulitan nyebarin selebaran acara ultahnya. Mau tau gimana caranya teman-teman Joni membantu dia lewat Samsung GALAXY Ace 3 mereka? Sekalian kamu bisa intip fitur-fitur kerennya nih: