Tag Archives: kudus

Menara Kudus: Padu Rasa Dua Agama

Terletak di kampung Kauman yang riuh dengan para pedagang di Kudus, Jawa Tengah, berdirilah sebuah penanda hari dan waktu sholat bagi umat Muslim di kampung-kampung sekitarnya dan sekaligus tempat ibadah yang senantiasa ramai oleh para musafir. Masjid Menara Kudus telah menjadi pusat peribadatan orang Islam sejak abad ke-15 Masehi yang pendiriannya digagas oleh seorang penyebar agama terkemuka: Sunan Kudus.

Sayyid Dja’far Shadiq Azmatkhan sejatinya berasal dari bumi Palestina. Berkedudukan terhormat sebagai keturunan Muhammad ke-24, Dja’far Shadiq beserta ayah, kakek serta kerabatnya yang lain kemudian hijrah ke tanah Jawa dalam rangka mengemban tugas mulia menyebarkan agama Islam. Pada masa itu Islam belum lagi mapan sebagai agama mayoritas warga; Hindu telah berakar di sana secara turun-temurun. Demi menyebarkan agama dengan damai tanpa menyinggung perasaan umat lain, Dja’far alias Sunan Kudus mengadaptasi beberapa ciri budaya setempat pada rumah ibadah yang didirikannya pada tahun 1549. Menara tempat orang mengumandangkan sholat diberinya ciri khas Hindu dalam arsitektur dan dekorasinya sehingga tidak memberi kesan asing di mata warga.

Sunan Kudus pulalah yang memberi maklumat baru ketika suatu hari perayaan Idul Adha tiba. Demi menjaga perasaan warga Hindu yang memuliakan sapi, sang pemuka agama memutuskan bahwa tidak ada seekor sapi pun yang boleh disembelih di wilayah Kudus dan sekitarnya. Sebagai ganti hewan tersebut dan demi menunaikan kewajiban ibadah umat Muslim yang baru, Sunan Kudus lalu memerintahkan agar para umat menyembelih kerbau. Kebiasaan itu masih berlangsung hingga saat ini di mana warga Kudus biasa menyembelih kerbau saat Idul Adha. Para pecinta kuliner juga tentu tak asing dengan beberapa hidangan seperti sate dan soto kerbau khas daerah ini.

Kembali ke Masjid Menara Kudus. Di samping kanan menara berdirilah sebuah masjid yang sebenarnya juga sudah tua namun penampilannya tampak berbeda hasil renovasi beberapa kali di masa silam, utamanya di tahun 1918. Masuk ke pelataran masjid dan menara kita akan melalui beberapa gerbang unik terbuat dari bebatuan khas candi dengan ornamen-ornamen keramik di atasnya. Di belakang masjid ini terdapat pula makam Sunan Kudus yang menjadi pusat ziarah banyak umat dari berbagai penjuru tanah Jawa.

Selanjutnya biar beberapa gambar saja yang bercerita:

Halaman depan masjid selalu ramai oleh para peziarah yang mengambil gambar
Masjid Menara Kudus dengan dekorasi keramik-keramik unik di sekelilingnya
Pintu gerbang

Tangga ke atas menara. Sayangnya akses ditutup
Pelataran dalam masjid
Antri menuju kompleks makam
Menyentuh pintu gerbang makam nampaknya menjadi kebiasaan unik para peziarah
Bak cuci muka yang tetap bergaya candi

 Masjid Menara Kudus adalah salah satu bukti bahwa kedatangan agama baru tidak harus serta-merta menyingkirkan agama yang lama dengan kekerasan. Beberapa hal baik atas nama toleransi dapat diadaptasi asalkan tidak mengorbankan ajaran yang hakiki. 😀

Perang Garang Asem

Tau kan apabila suatu daerah memiliki makanan khas yang terkenal ke mana-mana, maka orang-orang akan berlomba-lomba menyajikan makanan tersebut di warung dan restoran mereka lalu melakukan klaim bahwa makanan di tempat mereka nomor 1 rasa dan keasliannya? Ya, semua kecap pasti nomor 1 namun tidak ada yang tau kecuali kita buktikan sendiri.

Lain dengan beberapa jenis makanan yang mudah kita telusuri tempat asalnya sehingga klaim itu tidak bisa diambil, Garang Asem adalah salah satu makanan khas daerah Muria (Jepara, Kudus, Pati) yang sudah menjadi makanan rakyat sehingga sulit dicari dari warung mana ia berasal. Kita hanya bisa mengandalkan informasi dari mulut ke mulut saja, tempat mana yang kira-kira enak makanannya. Jadi, berdasarkan informasi tersebut saya memutuskan untuk mencoba sendiri beberapa tempat guna membandingkan rasanya. Yah, mirip-mirip dengan Perang Bir di Asia Tenggara yang pernah saya lakukan tahun lalu itu. 😀

Kalinyamatan, Jepara

Di kecamatan yang mengambil namanya dari Ratu Kalinyamat ini saya mampir untuk sekadar mengisi perut sepulang dari Welahan. Itu hanya restoran pinggir jalan biasa dan saya tidak berharap banyak ketika melihat menu makanan. Namun kemudian mata saya tertumbuk pada ‘Garang Asem’, menu ayam berkuah segar yang belum pernah dicoba sebelumnya. Langsung saya pesan dan satu piring berisi bungkusan daun pisang datang tidak lama kemudian. Berikut penampakannya:

Nampak segar sekali ya dengan irisan tomatnya yang kuning-kemerahan. Tampilannya cukup menarik namun saya agak curiga dengan kuahnya yang keruh. Pastinya bukan santan namun entah apa yang menyebabkan kekeruhan tersebut. Rasanya…. enak sih meski saya tidak sampai membelalakkan mata kegirangan. Asamnya tidak terlalu berasa, jadi bolehlah saya beri nilai 65.

Restoran ini terletak tak jauh dari Pasar Kalinyamatan yang sayangnya saya tidak bisa menunjukkan tempatnya lagi karena tidak ada namanya. Namun letaknya kira-kira 200 meter di sebelah kanan Warung Haji Ismun.

Harga seporsinya Rp 13,000.-

Kudus

Menurut beberapa sumber, tempat Garang Asem paling enak di kota Kudus adalah di RM Sari Rasa di Jl. Agil Kusumadya No. 20, tidak jauh dari RSUD Kudus dan kantor DPRD Kudus. Tempatnya nyaman sekali dan tersedia beragam menu enak. Namun karena saya sedang fokus ke Garang Asem jadinya cuma ini yang saya pesan. Berikut gambarnya:

Sedikit berbeda, ya. Tomat yang dipilih adalah tomat muda yang masih hijau. Ternyata menurut seorang kawan, Garang Asem memang lazimnya memakai tomat muda jadi semuanya tampak berwarna hijau cerah. Namun yang saya perhatikan juga adalah kuahnya yang tidak keruh namun juga tidak bening, mirip seperti santan pecah. Rasanya menyegarkan namun kuah yang pecah itu menyebabkan airnya terasa bertekstur dan bumbunya tidak menyatu. Saya beri nilai 80 deh.

Harga seporsinya sekitar Rp 15,000.-

Mlonggo, Jepara

Tempat yang satu ini terletak di kecamatan Mlonggo, Jepara dan dapat ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota. Lokasinya cukup mudah diingat. Teruslah berjalan ke arah Bangsri. Begitu sampai di pertigaan Srobyong yang berseberangan dengan kantor kecamatan Mlonggo, maju sedikit pelan-pelan hingga 100 meter sampai Anda menemukan spanduk Garang Asem – Sop Balungan – Soto Kebo – Soto Ayam Semarang. Kalau Anda tiba di Alfamart di kiri jalan berarti Anda sudah kelewatan sedikit. Begini penampakan tempatnya:

Tempat ini memang lebih sering sepi di luar jam makan siang dan kadang tirainya agak tertutup. Namun warung ini tetap buka; ia hanya tutup pada hari-hari besar Islam. Sila berkunjung ke tempat ini mulai jam 9 pagi hingga menjelang sore. Menu utamanya ya hanya empat macam itu tadi. Berikut penampakan Garang Asem-nya:

Tampilannya boleh jadi biasa saja, mungkin juga karena faktor kamera saku saya yang biasa saja kualitasnya. Namun coba perhatikan baik-baik kuahnya. Bening sekali, bukan? Ketika suapan pertama masuk ke mulut terasa ada yang menyentak di lidah, yakni rasa asam menyegarkan yang membangkitkan selera untuk melahapnya sampai habis. Rempahnya kaya dan pas menyatu di lidah dan langit-langit mulut. Yang dominan memang rasa asam namun tidak pekat. Tomat dan cabainya segar, kuahnya terasa ringan. Saya beri nilai 90 untuk Garang Asem Mlonggo!

Harga seporsinya adalah Rp 14,000.-

Tips memesan:

Pada prinsipnya penjual Garang Asem akan memotong satu ekor ayam kampung menjadi empat bagian lalu dipotong lagi kecil-kecil. Mengingat ayam kampung memang kurus, jangan kaget kalau Anda mendapati daging ayamnya sedikit dan bahkan Anda melihat potongan kepala ayam di dalam bungkusan daun pisang tersebut. Jika Anda tidak suka, pesanlah hanya Garang Asem yang berisi daging di dalamnya. Mungkin Anda harus membayar lebih mahal namun kepuasannya sangat terbayar.

Mau coba Garang Asem? Yuk, ke Mlonggo. 😀