Huru-hara Vaksin!

Rencana pemerintah melaksanakan program vaksinasi massal sudah ramai digembar-gemborkan sejak awal tahun dan Presiden Jokowi kemudian menjadi WNI pertama yang divaksin Sinovac pada tanggal 13 Januari 2021 lalu. Bersamaan dengan beliau, divaksin pula sederetan orang kenamaan lainnya seperti Raffi Ahmad yang akhirnya malah menjadi blunder buat dirinya sendiri oleh karena malam harinya setelah vaksin dia malah keluyuran nongkrong di kafe tanpa masker.

Sejak itulah kampanye vaksinasi rakyat lalu menggempita. Berbagai pihak tidak ketinggalan melakukan kampanye dengan cara masing-masing yang unik, termasuk almamater saya Universitas Indonesia yang merilis twibbon bagi para warganya. Ah, ini waktunya ikut serta, begitu pikir saya.

Kapan vaksinnya terserah, yang penting siap aja dulu, optimis saya membatin. Hari berganti bulan, dan tibalah suatu hari di akhir bulan Juni saya mendapat undangan untuk pergi divaksin yang berlokasi di salah satu sekolah swasta. Dengan gegap-gempita saya pergi, muka berseri-seri senyum sana-sini, mata mengantuk karena kurang tidur saya acuhkan saja. Yang penting vaksin! Kan begitu?

Ndilalah, bukannya vaksin yang didapat di lengan kiri melainkan kejutan di meja screening.

"Maaf Pak, vaksinnya ditunda dulu karena tensi Bapak tinggi." 

Bak petir menggelegar di siang bolong, saya lalu menyadari kebodohan yang telah saya lakukan beberapa hari menjelang jadwal vaksinasi itu.

  1. Makan babi = checked
  2. Tidur subuh tapi bangun tetap pagi = CheckeD
  3. Boro-boro olahraga = CHECKED.

Ya sudah, nasib. Saya malah disuruh segera pergi ke dokter untuk minta obat darah tinggi.

Kali kedua setelah lewat dua pekan, saya kembali pergi vaksin. Namun kali ini targetnya adalah puskesmas terdekat. Dagdigdug karena kembali malam sebelumnya saya kurang tidur karena cemas, saya maju ke meja screening. Daaan, bertemulah kembali saya dengan dokter yang sama. Dia pun masih ingat saya. Trus kenapa? Emangnya koneksi bisa memuluskan lengan kiri saya buat menerima jarum suntik?

"Maaf Pak. Tensi masih tinggi. Bapak minum obatnya masih sembarangan ya? Bapak konsul ke spesialis aja deh Pak, biar dapet penjelasan menyeluruh. Kapan-kapan dateng lagi ya?!"

Emosi saya sudah beku, gak mampu bereaksi. Saya mengucapkan terima kasih sambil senyum sekilas (tentunya si dokter gak bisa liat, kan pake masker), lalu memantapkan langkah ke dokter spesialis sore itu juga. Setelah menerima wejangan panjang-lebar dan stok obat sebulan, saya pun dihadapkan pada sebuah kenyataan baru: inilah obat pertama yang harus saya minum seumur hidup saya.

Kata-kata si dokter spesialis yang menurut saya penampilannya nyentrik tapi simpatik itu terngiang terus di kepala.

"Kita semua pasti mati, Pak Brad. Namun dalam perjalanan menuju mati itu, ayo buat hidup kita jadi normal dan nyaman. Minum obat ini setiap hari, dan Bapak akan hidup normal dan bisa tetap aktif bekerja bahkan berolahraga. Mimpi-mimpi Bapak tidak akan terhalang jalan pencapaiannya."

Baiklah, Dok. Saya akan mulai perjalanan yang baru ini. Semoga lancar dan Tuhan beri panjang umur.

Eh, trus kapan vaksinnya? Entar aja, tunggu 1-2 minggu lagi. Atau ya bulan depan, atau kapan ya liat nanti lah.

====

Kamu udah vaksin?

Leave a comment