Bumi semakin panas. So what?
Sebuah diskusi digelar antara UNDP dengan para blogger Senin malam (24/Sep/2012) lalu yang bertempat di kantornya di Jakarta. Dalam diskusi ini UNDP hendak merumuskan pemikiran bersama dengan para aktivis media sosial di Indonesia dan khususnya para blogger mengenai isu-isu hangat tentang lingkungan hidup dan perubahan iklim dunia. Sebenarnya diskusi ini digelar tidak hanya di Jakarta saja namun di seluruh dunia dalam rangka Social Good Summit 2012, sebuah meetup berskala global yang mempertemukan aktivis masyarakat dari berbagai sektor dan bersama-sama memikirkan masalah dan solusi yang menghadang warga dunia, yakni perubahan iklim yang semakin drastis.

Saya datang malam itu dengan pikiran kosong; dalam arti siap menerima masukan apa saja dan mengeluarkan opini apa saja yang terpikir di kepala tanpa menjejali otak dengan referensi dan pemahaman mendalam tentang isu-isu terbaru. Dan ketika diskusi dibuka oleh Anjari Umarianto selaku moderator, kesan bahwa saya tidak sendirian langsung terasa. Meski semua peserta yang hadir paham apa saja isu umum yang mengancam bumi kita, hanya sedikit yang benar-benar menyadari keseriusan masalah dan sudah melakukan langkah-langkah tertentu untuk mencegahnya. Yang saya pikirkan dan utarakan saat itu adalah bahwa saya telah menyadari bahwa perubahan iklim dan pemanasan global telah sampai pada titik ‘no turning back’ dan usaha apa pun yang kita lakukan tidak akan mampu menghentikan gejala alam ini. Dengan segera saya lalu dimasukkan ke dalam kelompok ‘pesimistis’ oleh Eyang Anjari dan yah, mungkin itu ada benarnya. 😀
Saya sudah sebut di atas bahwa saya datang apa-adanya dan siap belajar. Jadi bagaimana status bumi kita sekarang? Berikut beberapa fakta yang terdengar dalam diskusi Senin lalu:
1. Sekitar 900 juta penduduk Asia-Pasifik hidup di bawah garis kemiskinan; 70% di antaranya tidak mendapat akses ke fasilitas sanitasi dasar seperti air bersih.
2. Pertumbuhan mobil pribadi di Jakarta melebihi 10% per tahun; tercepat di Asia.
3. Gas metana ekses produksi pertanian menyumbang 18% terhadap pemanasan global; asap kendaraan bermotor di seluruh dunia menyumbang 13%.
4. Garis pantai sepanjang 5 kilometer di Muara Gembong, Bekasi, telah habis oleh abrasi pantai dan menyapu rumah-rumah penduduk di kampung nelayan.
5. Dalam 10 tahun terakhir, terlepas dari segala kampanye lingkungan hidup global, kondisi bumi terus memburuk dan eskalasinya semakin mengkhawatirkan.
Apa yang bisa kita lakukan sekarang kalau upaya apapun tidak membuahkan hasil dan bumi lama-lama akan ‘mati’ juga? Sejenak pandangan pesimis ini mengemuka begitu jelas sehingga saya merinding sendiri membayangkan seperti apa bumi yang akan kita tinggalkan bagi anak-cucu kita.
Mitigasi & Adaptasi
Seberapa berat pun kondisi bumi kita, saya sadar bahwa kita tidak memiliki bumi lain dan inilah satu-satunya taruhan masa kini dan masa depan umat manusia yang harus kita pertahankan dan perbaiki. Tindakan radikal berupa mitigasi mutlak perlu dan telah banyak dilakukan di seluruh dunia guna meminimalisir dampak bencana dan menghindari sebanyak mungkin jatuhnya korban. Dari data-data di atas nyata bahwa masyarakat miskin adalah lapis pertama yang akan terdampak oleh bencana lingkungan; curah hujan yang abnormal saja mampu mematikan beberapa mata pencaharian petani dan nelayan. Selain mitigasi, kita juga perlu beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru yang, meski tidak semakin nyaman, paling tidak masih sedikit memberi ruang bernafas bagi penghuninya.
Dari pemaparan umum tentang kondisi lingkungan hidup, diskusi lalu mengerucut ke arah bagaimana kita sebagai aktivis media sosial dapat berperan sebagai agen perubahan perilaku masyarakat terhadap pelestarian lingkungan. Blogger maupun pegiat media internet lainnya tak urung telah menjadi patokan bagi perilaku masyarakat umum karena eksistensi kita di media melebihi yang lain dan kita sanggup membawa pesan-pesan penting untuk tujuan yang lebih baik. Sekian usulan sudah terdengar namun saya mencatat beberapa yang berkesan saja:
1. Suarakan status bumi dan langkah-langkah antisipasi bencana melalui jaringan internet di segala kanal.
2. Ubah pandangan orang melalui tulisan mendalam yang persuasif guna meningkatkan kesadaran akan lingkungan hidup.
3. Beri teladan dengan aktif melakukan sesuatu bagi kelestarian lingkungan melalui tindakan nyata sambil terus menyuarakannya di media sosial.
Topik penting lainnya yang mengemuka adalah bagaimana kita menciptakan kampanye yang sesuai sasaran agar isu yang nampak berat ini menjadi fun dan mampu memengaruhi orang lain dengan cepat. Beberapa teman mengusulkan event-event seru seperti lomba menulis, video, sampai traveling yang dikemas khusus untuk kampanye lingkungan. Mas Tomi Soetjipto, Communication Analyst UNDP di Indonesia bahkan sampai menayangkan video kampanye lingkungan yang pernah dibuat dan membuka kesempatan dikritik seluas-luasnya oleh peserta yang hadir. Berikut video dalam Bahasa Indonesia yang berdurasi 42 detik ini:
Think Big, Start Small, Act Now
Meski berawal dari diskusi yang sangat global, langkah-langkah mitigasi dan adaptasinya ternyata sangat sederhana, yaitu mulai dari diri kita sendiri. Eka Situmorang, seorang blogger sekaligus kawan baik saya ternyata telah melakukan sesuatu yang sangat sederhana tapi mengenai sasaran, yakni diet kantong plastik. Ke mana-mana Eka selalu membawa tas kain dan menolak tiap kali ditawari kantong plastik oleh kasir pasar swalayan. Saya pun teringat pada Lita Uditomo yang disiplin memilah sampah di rumahnya serta mendukung komunitas Depok Berkebun dengan cara memanfaatkan lahan kosong di tempat tinggalnya guna ditanami pohon dan tanaman yang bermanfaat. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Berikut beberapa komitmen saya:
1. Diet kantong plastik dengan ikut membawa tas kain dari sekarang dan mengurangi penggunaan plastik.
2. Meminimalisir penggunaan kertas dengan memanfaatkan kertas bekas untuk keperluan sehari-hari.
3. Menghemat listrik.
Sangat sederhana bukan? Sempat pula terbersit pemikiran bahwa usaha ini akan menemui jalan buntu ketika sampah yang sudah dipilah sebelum dibuang, misalnya, akan dicampur lagi oleh dinas kebersihan kota yang tidak paham pentingnya pelestarian lingkungan. Untuk itu langkah lain yang patut pula ditempuh adalah berkomunikasi secara positif dengan para penentu kebijakan publik agar mengambil tindakan yang pro-lingkungan hidup melalui tulisan-tulisan kita di blog dan media lainnya.
Saya akui, saya masih pesimis karena usaha-usaha kita seolah sporadis dan belum juga nampak hasilnya. Namun sekali lagi, kita tidak memiliki bumi lain. Yang kita wajib lakukan sekarang adalah mengajak sebanyak mungkin orang untuk berbuat sesuatu bagi keberlangsungan hidup dan masa depan kita.
Terima kasih kepada UNDP dan IDBlogNetwork atas undangan diskusi yang sangat mencerahkan. 😀
