Rahasia Kecil Lawang Ombo

Lasem, Oktober 2013

Saya turun dari kendaraan bersama serombongan wisatawan dari Semarang yang mengunjungi kota Lasem di Kabupaten Rembang sebagai bagian dari acara Jalan-Jalan Warisan Budaya. Tujuan pertama kita adalah Lawang Ombo yang terletak di salah satu gang di kota lama Lasem. Rumah yang menempati lahan cukup besar dan memiliki dua bangunan utama yang biasanya sunyi ini mendadak ramai oleh para pengunjung.

“Mumet,”

begitu batin saya sambil melangkah ke teras dan berusaha menjaga jarak agar leluasa menikmati detail dan mengambil gambar.

***

Malam mencekam menyelimuti Lasem yang bahkan jangkrik pun tak berani bersuara. Angin darat yang dingin menusuk tulang dan semua orang memilih menutup pintu gerbang besar, pintu rumah, dan semua jendela rapat-rapat dan membiarkan kegelapan merajai sekelilingnya. Konon katanya di malam-malam seperti itulah para mata-mata berjaga, mengintip kampung demi kampung dan rumah demi rumah demi memastikan seluruh warga tidak sedang merancang pemberontakan.

Namun suasana lain terekam di rumah berpintu gerbang kayu besar dan berhalaman luas itu. Para anggota keluarga berkumpul di ruang utama. Tak ada yang berani berbicara keras karena takut terdengar ke luar. Suasana cemas memenuhi setiap jengkal ruangan. Sang Taipan yang duduk di kursi kayu sedang berpikir keras ditemani istri, anak-anak, serta seluruh pembantu yang bersimpuh di sekelilingnya. Hanya dua batang lilin yang menerangi ruang itu. Segala sesuatu harus hemat sekarang.

Candu yang dahulu bebas diperjual-belikan di kampung-kampung kini dilarang. Hasil panen dari ladang-ladang resmi saja yang diperbolehkan, sementara hasil dari ladang-ladang gelap harus dibakar. Apalagi persaingan ekonomi antara kaum pedagang Tionghoa, pribumi, dan Belanda kini dibumbui politik. Kaum pribumi dan Tionghoa bersatu-padu menentang penindasan Belanda terhadap warga keturunan yang berawal dari Batavia dan meluas ke segenap penjuru Jawa. Sebagai salah satu kota yang dihuni warga Tionghoa terbesar, Lasem turut membara. Selain memobilisasi massa bersenjata, segenap sumber daya pun dikerahkan untuk mendukung perjuangan. Candu pun menjadi primadona termahal yang pantas dibela dengan nyawa.

“Dua pekan lagi saat bulan purnama, seorang dari penghuni rumah kita harus meninggal.”

“Lao Gong!” Sergah sang istri dengan jeritan tertahan, tak percaya akan perkataan suaminya.

“Lao Po, cobalah mengerti. Ini satu-satunya cara kita mendukung para pejuang dan mempertahankan kehormatan keluarga. Aku tidak punya cara lain sekarang kecuali mengorbankan salah satu kebanggaan kita yang berharga.”

“Lagipula,” gumam sang suami lagi. “Stok di gudang atas rumah belakang harus dihabiskan.”

Sang istri, anak-anak, dan semua pembantu tercekat dalam ketakutan akan masa depan yang sudah terbayang. Meski demikian hati mereka semua sepakat, inilah cara terbaik yang harus dijalani.

“Jongos, apakah kau siap?”

“Siap, Tuan!” Desis sang jongos mantap.

Jongos ini telah menjadi abdi sang Taipan sejak muda. Perawakannya sangat tegap untuk ukuran pemuda tujuh belas tahun. Betapa pun sulitnya tugas ini, perintah Taipan adalah panggilan yang mulia. Matanya tajam tertuju pada majikannya, sementara ayah-ibunya mengintip dari sudut ruangan. Ibundanya yang menjadi juru masak di rumah itu menitikkan air mata. Kerongkongannya hendak melolong, namun tangan suaminya menggenggam erat pundaknya, menjaga agar emosinya tertahan.

“Kemaslah barang-barangmu sekarang. Ajak juga keluargamu ke belakang untuk berpamitan. Sebentar lagi mereka datang.”

Tak lama setelah mereka menghilang di balik pintu, terdengar samar suara ketukan di kamar sebelah. Sang Taipan tahu siapa itu. Segera ia bangkit dari kursinya dan berjalan meraih pintu. Setelah ia masuk, jongkoklah ia di lantai, di hadapan sebuah penutup kayu bundar tepat di tengah ruangan itu. Lalu ia mengulurkan tangan membuka penutup itu.

Dari balik penutup itu tampaklah lubang dengan ukuran sebesar umur, dua puluh meter kira-kiranya dalamnya. Dari situlah keluar dua orang berbalutkan kain hitam-hitam bertampang sangar bak pencoleng yang hendak menyatroni rumah.

Dengan suara tenang sang Taipan berkata, “Malam ini ada lima karung. Segera diangkat.”

Mereka berdua menoleh ke arah tumpukan karung di sudut kamar lalu dengan sigap mulai bekerja. Karung-karung tersebut diturunkan perlahan ke dalam lubang, terus ke bawah sampai ke aliran air di bawah tanah di mana sebuah perahu telah menunggu. Aliran air tanah yang menembus sampai sungai terdekat itu menjadi jalur penyelundupan yang baik sekali bagi para pemberontak dan barang-barang lainnya. Perahu itu datang berkunjung ke lubang tersebut dua minggu sekali dan mengangkut barang yang sangat berharga: candu.

Namun malam ini ada penumpang lain.

Sang Jongos kembali dari rumah belakang sambil membawa buntelan kecil yang disampirkan di bahunya. Matanya tetap tajam meski sekujur badannya tidak mampu menyembunyikan kegentaran hatinya. Malam ini ia akan berangkat meninggalkan keluarga, majikan, dan segala masa kecilnya di rumah berpintu besar itu.

Terdengar siulan dari dalam lubang. Para pengangkut karung tadi telah siap berangkat. Sang Taipan mengalihkan pandangan dari lubang dan menoleh ke arah jongosnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sang Taipan tergerak untuk mengangkat tangan dan menggenggam erat pundak jongos yang sudah dianggap seperti anak laki-laki keduanya. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya yang tenang menandakan ada kepentingan lebih besar yang harus didahulukan.

“Pergilah berjuang, hambaku yang setia. Jikalau ada nasib baik, kita akan bertemu lagi.”

Masih tanpa suara, sang jongos menunduk hormat lalu turun dan menghilang di balik lubang.

Sang Taipan lalu memberikan perintah terakhirnya malam itu.

“Siapkan pemakaman putraku dua pekan lagi. Susun semua karung candu di dalam peti dan kita hantar peti itu sampai ke pelabuhan. Semua keluarga harus ikut dalam pakaian berkabung. Biar Belanda mengira kita sedang berduka dan memberi jalan bagi candu itu tepat di bawah hidung mereka!”

***

Tampak depan Lawang Ombo
Teras
Altar keluarga di ruang utama
Tampak belakang
Bekas gudang candu di rumah belakang
Lubang candu yang dalamnya kini sudah tertutupi lumpur dan tidak lagi bisa diakses

25 thoughts on “Rahasia Kecil Lawang Ombo

  1. beneran baru tau lawang ombo dari tulisan ini
    semarang emang banyak menyimpan cerita sejarah dari bekas bangunan tua dulu
    ini yang ada di kawasan kota lama kan om?
    dulu muter-muter disana gak nemu yang beginian.

    Like

  2. Yang saya tahu dari Lasem adalah salah satu penghasil batik, batik yang ada pengaruh kuat dari seni chinese. Kini bertambah lagi pengetahuan saya, ada Lawang Ombo yang penuh sejarah itu.

    Like

  3. “Candu yang dahulu bebas diperjual-belikan di kampung-kampung kini dilarang” , saya malah penasaran itu candu produksi sendiri atau datang dari luar juga ya mas mereka..

    Like

  4. Ikut merinding pas baca postingannya. Bahkan lebih merinding di postingan ini daripada pas mengunjungi Lawang Ombo bbrp bulan lalu.

    Like

Leave a comment