Tag Archives: jepara

Candi Angin, Sekali Lagi

Kangen Jepara!

Pemikiran itu tercetus begitu saja kala saya sedang dilanda kesibukan kerja dan hati serta badan ini seolah berontak ingin kabur. Ya, kebiasaan saya jika kalut melanda adalah kabur, utamanya ke pegunungan. Teman-teman saya sudah paham akan kebiasaan ini. Nah, kali ini yang menjadi sumber kerinduan adalah Jepara, sebuah kabupaten tempat saya pernah bertugas selama 6 bulan dan selalu memanggil-manggil dalam mimpi. Ya sudah, pokoknya saya harus ke sana lagi! Maka setelah membeli tiket kereta api secepat kilat via aplikasi online, saya pergi dengan kereta malam Tawang Jaya yang berangkat jam 23.00 dari Stasiun Pasar Senen dan tiba di Semarang Poncol jam 05.52 pagi hari. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan layanan travel Bejeu yang menjemput saya di Masjid Agung Simpang Lima Semarang. Jepara, here I come!

Continue reading Candi Angin, Sekali Lagi

Pemecah Rekor?

image

Junaedi, pemandu perjalanan saya di Dukuh Duplak yang sedang cuti kuliah demi mengurus kebun kopi dan anak-istrinya itu terus-menerus nyengir seharian menyaksikan saya jatuh-bangun merayapi punggung bukit.

“Njenengan pemecah rekor lo, Mas,” ucapnya berulang-ulang sambil memberikan dorongan semangat.

Iya sih, pemecah rekor pendaki dengan angka berat badan tertinggi dan durasi perjalanan terlama mungkin, ya?

Tapi sebenarnya untuk apa sih saya ke mari? Nantikan di tulisan selanjutnya. 🙂

Siapa Bilang Kartini Sudah Mati?

Kartini, putri bupati Jepara sang pejuang kesetaraan kaum dan bangsanya, memang sudah wafat lebih dari seratus tahun lalu di Rembang akibat melahirkan anak satu-satunya. Namun bukan berarti dia telah mati.

Masa sih?

Ketika saya sempat tinggal di Jepara, saya menyaksikan ‘roh’ Kartini masih hidup di mana-mana dan namanya tetap dibicarakan dengan penuh hormat oleh warga. Sadar dengan keagungan itu, pemerintah Kabupaten Jepara pun mengabadikan namanya dalam semboyan resmi daerah dan menamai beberapa tempat umum dengan nama beliau. Pun tak ketinggalan pihak swasta mengabadikan nama Pahlawan Nasional itu pada beragam tempat usaha mereka. Apa saja contohnya? Mari kita lihat:

Jepara

Jalan umum
Tempat fotokopi
Stasiun radio
Pantai & pelabuhan
Rumah sakit umum daerah
Salah satu gerbang masuk kabupaten
Museum
Toko mebel
Stadion olahraga (sumber: denmasbrindhil.wordpress.com)

Rembang

Lalu bagaimana dengan Rembang, kabupaten tetangga yang juga memiliki ikatan emosional mengingat Kartini pindah ke sana setelah menikah, wafat, dan dimakamkan? Meski tidak seheboh Jepara, upaya mengabadikan nama beliau juga terlihat:

Hotel
Sekolah (menurut cerita, sekolah ini adalah kelanjutan tempat belajar kaum perempuan yang didirikan oleh Kartini di balik tembok kadipaten)
Museum
Taman bacaan
Pantai (untuk membedakannya dengan Pantai Kartini di Jepara, lokasi ini resmi dinamai Taman Rekreasi Pantai Kartini)

Jadi, siapa yang bilang Kartini sudah mati? Ini baru di Jepara dan Rembang saja, lho. Di daerah-daerah dan negara lain, nama Kartini masih harum dan diabadikan di mana-mana. 😀

Menyibak Museum Kartini Rembang

Raden Ajeng Kartini adalah seorang pejuang emansipasi perempuan semasa hidupnya. Namun mungkin tidak banyak yang pernah bersentuhan dengan karya tulisannya atau menyelami pribadinya. Jika ditelaah lebih jauh, sesungguhnya kita akan memahami betapa kontras antara impian kemandirian dan kenyataan hidupnya.

Dipingit sejak lulus sekolah dasar selama bertahun-tahun, Kartini lalu dipertemukan dengan Bupati Rembang yang dua kali lipat usianya dan diboyong ke rumah suaminya setelah menikah. Sesampainya di sana, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ia adalah perempuan keempat yang masuk ke rumah bupati. Tidak terlalu lama, hanya setahun ia tinggal di rumah itu hingga akhirnya meninggal dunia setelah melahirkan putra satu-satunya.

***

Masih ingat kan terakhir kali berkunjung ke Museum Kartini di Jepara saya misuh-misuh di sana? 😀 Saya lalu mendengar bahwa ternyata Museum Kartini tidak hanya satu, tetap dua. Ada ‘kembaran’-nya di Rembang. Pada suatu akhir pekan pun saya berkunjung ke Rembang yang juga terletak di pantai utara Jawa, sekitar 3 jam perjalanan dari Jepara. Cukup jauh memang karena untuk sampai ke sana kita harus melewati Kudus dan Pati. Sebenarnya ada jalan lain yang melewati utara Gunung Muria namun kondisi jalannya berkelok-kelok dan sepi. Lebih nyaman lewat Jalur Pantura.

Lokasi Museum Kartini Rembang sangat strategis karena juga terletak dekat alun-alun. Namun berbeda dengan Jepara yang membangun gedung baru, di Rembang ini lokasi yang digunakan adalah bekas rumah dinas Bupati Rembang yang dahulu juga merupakan tempat tinggal Kartini. Sebenarnya museum ini belum lama didirikan, yakni pada tahun 2011. Pada saat itu sang bupati yang orang asli Rembang memilih untuk tinggal di rumah pribadinya dan menyerahkan rumah dinas ini untuk dijadikan museum.

Berbeda sekali dengan Jepara di mana rumah Kartini masih digunakan sebagai rumah dinas bupati dan kamar-kamar bersejarahnya masih ditempati sang keluarga, kecuali kamar tempat Kartini dipingit yang dibiarkan seperti semula. Namun tentunya tidak sembarang orang bisa masuk ke sini.

Kembali ke Rembang. Meski sudah menjadi museum, namun acara-acara resmi tingkat kabupaten masih dilaksanakan di pendopo utama. Gedung-gedung lainnya di kompleks ini pun masih berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Akibatnya, ada saat-saat tertentu ketika museum ini ditutup untuk umum karena sedang berlangsung acara tertentu. Seperti yang terjadi pagi itu; saya tidak bisa masuk ke museum karena sedang ada pelepasan kontingen Rembang ke Pekan Olahraga Provinsi Jawa Tengah. 😦

Untunglah berkat ngobrol, saya diizinkan masuk ke museum namun harus menunggu hingga jam 2 sore. Saya pun mengalah dan melangkahkan kaki ke tempat lain. Sekitar jam 3 sore saya kembali dan petugas museum yang berpakaian santai bercelana pendek mengundang saya masuk ke gerbang sambil membawa seperangkat kunci. Karena acara pelepasan tadi pagi, seluruh pegawai museum sebenarnya diliburkan namun mas-mas pegawai museum yang tadi pagi saya ajak ngobrol di gerbang ini berbaik hati membukakan pintu museumnya untuk saya. Jadi pengunjungnya cuma saya seorang. Uang tiket masuk Rp 2,000.- pun tidak dimintakan. 😀 😀 😀

Bagian dalam museumnya sangat bersahaja namun koleksi-koleksinya tersimpan rapi. Karena museum ini dulunya rumah pribadi bupati, maka koleksinya tidak diletakkan di aula besar namun tersebar di kamar-kamar, taman samping, dan ruang dalam yang sejuk namun cenderung gelap di sore itu (mungkin karena tidak semua jendela dibuka). Koleksinya cukup banyak dan bersih. Selanjutnya biar beberapa slide saja yang bercerita:

Powered by TripAdvisor

Museum Kartini Rembang ini, menurut saya, memiliki koleksi yang lebih baik dari kembarannya di Jepara. Bisa jadi demikian karena Kartini membawa banyak barang pribadinya setelah menikah. Kemudian lokasi museum yang dulunya memang kediaman Kartini mampu menampilkan sosoknya secara lebih personal.

Namun bukan berarti pengelolaannya tanpa cacat. Koleksi-koleksi museum perlu dibersihkan lebih teliti. Lalu ruang pamer sudah cukup memadai dan diberi lampu-lampu penerang yang cukup. Bahkan ada pula seperangkat komputer yang dapat menerangkan sejarah Kartini dan juga Rembang pada umumnya. Tetapi … komputer-komputer tersebut mati ketika saya datang. “Lagi error, Mas,” begitu jawabannya. Ya sudahlah. 😦

Perang Garang Asem

Tau kan apabila suatu daerah memiliki makanan khas yang terkenal ke mana-mana, maka orang-orang akan berlomba-lomba menyajikan makanan tersebut di warung dan restoran mereka lalu melakukan klaim bahwa makanan di tempat mereka nomor 1 rasa dan keasliannya? Ya, semua kecap pasti nomor 1 namun tidak ada yang tau kecuali kita buktikan sendiri.

Lain dengan beberapa jenis makanan yang mudah kita telusuri tempat asalnya sehingga klaim itu tidak bisa diambil, Garang Asem adalah salah satu makanan khas daerah Muria (Jepara, Kudus, Pati) yang sudah menjadi makanan rakyat sehingga sulit dicari dari warung mana ia berasal. Kita hanya bisa mengandalkan informasi dari mulut ke mulut saja, tempat mana yang kira-kira enak makanannya. Jadi, berdasarkan informasi tersebut saya memutuskan untuk mencoba sendiri beberapa tempat guna membandingkan rasanya. Yah, mirip-mirip dengan Perang Bir di Asia Tenggara yang pernah saya lakukan tahun lalu itu. 😀

Kalinyamatan, Jepara

Di kecamatan yang mengambil namanya dari Ratu Kalinyamat ini saya mampir untuk sekadar mengisi perut sepulang dari Welahan. Itu hanya restoran pinggir jalan biasa dan saya tidak berharap banyak ketika melihat menu makanan. Namun kemudian mata saya tertumbuk pada ‘Garang Asem’, menu ayam berkuah segar yang belum pernah dicoba sebelumnya. Langsung saya pesan dan satu piring berisi bungkusan daun pisang datang tidak lama kemudian. Berikut penampakannya:

Nampak segar sekali ya dengan irisan tomatnya yang kuning-kemerahan. Tampilannya cukup menarik namun saya agak curiga dengan kuahnya yang keruh. Pastinya bukan santan namun entah apa yang menyebabkan kekeruhan tersebut. Rasanya…. enak sih meski saya tidak sampai membelalakkan mata kegirangan. Asamnya tidak terlalu berasa, jadi bolehlah saya beri nilai 65.

Restoran ini terletak tak jauh dari Pasar Kalinyamatan yang sayangnya saya tidak bisa menunjukkan tempatnya lagi karena tidak ada namanya. Namun letaknya kira-kira 200 meter di sebelah kanan Warung Haji Ismun.

Harga seporsinya Rp 13,000.-

Kudus

Menurut beberapa sumber, tempat Garang Asem paling enak di kota Kudus adalah di RM Sari Rasa di Jl. Agil Kusumadya No. 20, tidak jauh dari RSUD Kudus dan kantor DPRD Kudus. Tempatnya nyaman sekali dan tersedia beragam menu enak. Namun karena saya sedang fokus ke Garang Asem jadinya cuma ini yang saya pesan. Berikut gambarnya:

Sedikit berbeda, ya. Tomat yang dipilih adalah tomat muda yang masih hijau. Ternyata menurut seorang kawan, Garang Asem memang lazimnya memakai tomat muda jadi semuanya tampak berwarna hijau cerah. Namun yang saya perhatikan juga adalah kuahnya yang tidak keruh namun juga tidak bening, mirip seperti santan pecah. Rasanya menyegarkan namun kuah yang pecah itu menyebabkan airnya terasa bertekstur dan bumbunya tidak menyatu. Saya beri nilai 80 deh.

Harga seporsinya sekitar Rp 15,000.-

Mlonggo, Jepara

Tempat yang satu ini terletak di kecamatan Mlonggo, Jepara dan dapat ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota. Lokasinya cukup mudah diingat. Teruslah berjalan ke arah Bangsri. Begitu sampai di pertigaan Srobyong yang berseberangan dengan kantor kecamatan Mlonggo, maju sedikit pelan-pelan hingga 100 meter sampai Anda menemukan spanduk Garang Asem – Sop Balungan – Soto Kebo – Soto Ayam Semarang. Kalau Anda tiba di Alfamart di kiri jalan berarti Anda sudah kelewatan sedikit. Begini penampakan tempatnya:

Tempat ini memang lebih sering sepi di luar jam makan siang dan kadang tirainya agak tertutup. Namun warung ini tetap buka; ia hanya tutup pada hari-hari besar Islam. Sila berkunjung ke tempat ini mulai jam 9 pagi hingga menjelang sore. Menu utamanya ya hanya empat macam itu tadi. Berikut penampakan Garang Asem-nya:

Tampilannya boleh jadi biasa saja, mungkin juga karena faktor kamera saku saya yang biasa saja kualitasnya. Namun coba perhatikan baik-baik kuahnya. Bening sekali, bukan? Ketika suapan pertama masuk ke mulut terasa ada yang menyentak di lidah, yakni rasa asam menyegarkan yang membangkitkan selera untuk melahapnya sampai habis. Rempahnya kaya dan pas menyatu di lidah dan langit-langit mulut. Yang dominan memang rasa asam namun tidak pekat. Tomat dan cabainya segar, kuahnya terasa ringan. Saya beri nilai 90 untuk Garang Asem Mlonggo!

Harga seporsinya adalah Rp 14,000.-

Tips memesan:

Pada prinsipnya penjual Garang Asem akan memotong satu ekor ayam kampung menjadi empat bagian lalu dipotong lagi kecil-kecil. Mengingat ayam kampung memang kurus, jangan kaget kalau Anda mendapati daging ayamnya sedikit dan bahkan Anda melihat potongan kepala ayam di dalam bungkusan daun pisang tersebut. Jika Anda tidak suka, pesanlah hanya Garang Asem yang berisi daging di dalamnya. Mungkin Anda harus membayar lebih mahal namun kepuasannya sangat terbayar.

Mau coba Garang Asem? Yuk, ke Mlonggo. 😀

Memburu Rahmat di Welahan

Percayakah Anda kalau saya bilang bahwa klenteng pertama di Indonesia berada di Jepara?

Saya awalnya tidak mempercayai fakta itu mengingat orang-orang Tionghoa sudah banyak yang datang ke Indonesia sejak zaman Sriwijaya dan utamanya terjadi gelombang kedatangan besar-besaran para pekerja Tionghoa ke Jawa di abad ke-14 dan 15. Namun memang demikian faktanya, klenteng pertama imigran Tionghoa berdiri di Jepara pada sekitar tahun 1830.

Continue reading Memburu Rahmat di Welahan

Donorojo: Tapa Jiwa & Raga

Yogyakarta, 19 Oktober 2013.

Sejatinya malam ini purnama, namun awan pekat menyelimuti desa Tembi menyeruakkan bau air pertanda hujan segera datang. Di panggung Rumah Budaya yang bersahaja di pinggir sawah beralaskan semen dan berlatarkan gapura candi, bersimpuhlah sekitar 50 orang di atas undakan di depan panggung. Seorang perempuan penyair berperawakan pendek dan berkerudung tampil dengan senyum simpul pertanda kontrol emosinya begitu terpelihara. Sorot matanya teduh namun tajam. Lalu dengan lembut namun ‘menyihir’ suaranya mengajak bicara:

“Kang Mas,”

Seketika itu juga saya telanjang di depan Ratu Kalinyamat.

***

Continue reading Donorojo: Tapa Jiwa & Raga