Monthly Archives: August 2012

Perang Bir di Asia Tenggara

DISCLAIMER: this article reflects personal opinions from the blogger.

Perang bir? Oke, mungkin saya agak berlebihan dalam menjulukinya sebagai sebuah peperangan. Namun nyatanya Asia Tenggara memang marak dengan beragam merk bir lokal dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya, baik warga lokal maupun turis mancanegara. Lupakan merk-merk bir Eropa dan Amerika; jika para pelancong berkunjung ke wilayah ini, yang pertama dicari adalah merk lokal. Satu hal menarik yang saya saksikan adalah bahwa hampir semua negara di Asia Tenggara memiliki merk lokal birnya sendiri, kecuali Malaysia dan Brunei. Indonesia, misalnya, terkenal dengan Bir Bintang yang menjadi favorit para turis Amerika, meski pandangan ini disanggah dengan keras oleh rekan kerja saya yang juga orang Amerika, yang mengejek turis bangsanya sendiri yang tidak mempunyai selera yang bagus oleh karena bir Budweiser di Amerika, yang menjadi minuman sehari-hari di sana, memang kualitasnya rendah dibanding beberapa merk Eropa. Jadi dalam perjalanan saya terakhir, saya ‘ditantang’ untuk membuktikan sendiri keragaman rasa bir di Asia Tenggara. “Lalu manakah yang paling enak?” tanya saya mengharap bocoran.

“Laos,” bisiknya sambil berseri-seri.

Menurut kasak-kusuk teman-teman pelancong ke Asia Tenggara, bir terenak di Asia (bahkan sesumbarnya di dunia) berasal dari Laos dan menjadi benda yang sangat dicari oleh karena penyebarannya yang masih terbatas. Namun demi menjaga objektivitas, maka saya memutuskan untuk mencoba sendiri beberapa bir yang beredar dan memberikan penilaian yang (semoga) adil. Kriteria penilaian berpatokan pada 3 hal: rasa, aroma, dan tingkat kepahitan. Dasar ilmiahnya apa? GAK ADA. Semua itu memang akal-akalan saya saja. 😀

Berikut ini saya bagikan empat teratas hasil penelitian kami:

1. Beerlao

Bir kebanggaan Laos ini diproduksi oleh Lao Brewery Company di Vientiane dan berbahan dasar beras jenis jasmine yang diproduksi lokal dan dicampur dengan yeast dan hops yang diimpor dari Jerman. Kekuatan utama Beerlao terletak pada aroma jasmine yang sangat harum dan aroma hops yang menyerupai anggur putih sehingga tanpa meminumnya kita bisa terkecoh menyangka bahwa ini adalah minuman buah-buahan segar, meski bau khas alkoholnya tidak dapat menyembunyikan karakter birnya. Ketika dicoba, bir ini cukup pahit namun dapat ditolerir dan kesegarannya langsung seolah merasuk ke tulang dan membuat saya menarik nafas panjang saking nikmat dan rileksnya. Mencicipi Beerlao benar-benar pengalaman yang luar biasa. Harganya juga sama sekali tidak mahal; satu kaleng sedang dijual di kisaran USD 0.60 – 0.75 di minimarket Kamboja meski bisa melonjak sampai USD 2.50 di bar. Sayang sekali penyebarannya tidak luas; Beerlao hanya dapat ditemukan di minimarket di Laos dan Kamboja sedangkan di Vietnam dan Thailand hanya dijual di bar-bar tertentu. Katanya bir ini diekspor juga ke Eropa dan Amerika namun sangat terbatas di bar-bar tertentu pula. Saya belum menemukan bir ini di Jakarta. Ada yang tahu di mana bisa mendapatkannya?

Beerlao (sumber: Wikipedia)

2. Singha

Inilah produk bir kebanggaan Thailand. Tadinya saya tidak begitu menaruh perhatian karena lebih fokus mencari bir-bir Kamboja, namun begitu kaleng bir Singha dibuka, aroma anggur dan jasmine langsung menyeruak begitu kuatnya. Rasanya sangat mirip dengan Beerlao namun lebih pahit sehingga saya menempatkannya di urutan kedua. Kisaran harganya di Kamboja sama saja, USD 0.60 – 0.75 untuk kaleng sedang.

Singha (sumber: thatsilvergirl.blogspot.com)

3. Tiger

Dari sisi distribusi, boleh jadi Tiger Beer yang merupakan merk asal Singapura ini yang paling luas penyebarannya di Asia Tenggara. Saya pertama kali mencobanya secara tidak sengaja ketika sedang mampir di sebuah bar di KL dan terpaksa kecewa karena Malaysia tidak memiliki produk bir lokal; terpaksalah brand Singapura yang saya coba. Ke manapun saya pergi pasti menemukan merk ini yang kini juga diproduksi di Thailand. Rasa dan tingkat kepahitannya mirip dengan Beerlao namun aromanya tidak terlalu kuat sehingga Tiger harus puas menempati posisi ketiga. Harganya sedikit lebih mahal di Kamboja.

Tiger (sumber: behindtheburner.com)

4. Cambodia

Saya benar-benar tidak menyangka bahwa negara seperti Kamboja ternyata memiliki beberapa merk bir lokal yang bersaing ketat di pasar dengan baliho-balihonya yang besar di sudut-sudut Phnom Penh dan Siem Reap serta terpasang di banyak sekali toko. Salah satu yang saya nilai juara adalah Cambodia, meski nilainya kalah dibandingkan tiga nama di atas oleh karena aromanya yang tidak kuat, rasanya yang agak berair dan tingkat kepahitannya yang rendah. Namun saya tetap dapat menikmatinya. Harganya kurang-lebih sama dengan merk-merk lain di Kamboja.

Cambodia (sumber: thesoutheastasiaweekly.com)

***

Selain keempat nama di atas, masih ada lagi beberapa yang saya coba, terutama di Kamboja, seperti Angkor, Anchor, Kingdom, dan satu-dua nama lain yang saya lupa. Ada pula merk Thailand lainnya yakni Chang yang langsung menempati posisi terbawah. Bagi saya, Chang seperti air putih dengan cita rasa bir. Ketika mampir ke Vietnam, saya sempat mencoba Saigon Red dan sangat enak meski katanya bir terenak di Vietnam adalah Saigon Green yang sayangnya hanya tersedia di bar-bar eksklusif. Ada lagi beberapa merk lokal seperti Zagnarok dan 333, namun saat itu saya sudah muak dengan bir sehingga kaleng-kaleng itu dibeli saja untuk kemudian ditinggal di hotel. 😦 Filipina juga katanya punya bir San Miguel yang sangat enak dan sepertinya pernah saya lihat di hypermarket di Jakarta. Saya mesti mencobanya kapan-kapan.

Bagaimana dengan Bir Bintang dari Indonesia? Oke, daripada dituduh tidak nasionalis baiklah saya coba juga ya. Bir yang diproduksi berdasarkan lisensi Heineken ini cukuplah saya nilai setara dengan Tiger; tidak terlalu kuat namun sangat enak dan sepertinya memang satu-satunya pilihan di Indonesia karena saya tidak sudi menyentuh merk lokal yang satu lagi. 😀

Sekian laporan beer tasting kali ini. Siapa mau coba Beerlao?

Yeah baby!

Merdeka!

17 Agustus. Semua orang Indonesia tahu pentingnya hari ini dan tak perlulah lagi saya berpanjang-panjang menjelaskan arti kemerdekaan. Ucapan saya sederhana saja: Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-67.

Di bawah ini saya bagikan sebuah rangkaian twit rekaan yang dikicaukan oleh tokoh-tokoh penting republik ini 67 tahun yang lalu ketika seolah-olah twitter sudah ada. Saya tidak dapat menemukan pencipta twit ini yang sepertinya pengembangan dari twit yang sama tahun lalu. Bila ada yang mengetahui penciptanya, mohon beritahu saya agar URL ke beliau dapat ditampilkan sepantasnya di sini.

Merdeka! 😀

Pikir-pikir Notebook Baru

Notebook sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan pekerjaan saya sehari-hari. Dalam sehari saya berkutat di depan notebook selama 12 jam untuk mengerjakan tugas atau hal-hal lain. Ibarat pacar, notebook saya lengket dibawa ke mana-mana meski saya harus memanggul tas pundak yang berat demi notebook kesayangan. Namun jangan salah, meski si notebook beratnya minta ampun, ia sudah mendatangkan penghasilan utama dan sampingan yang sangat bermanfaat.

Oleh karena itu alangkah sedihnya ketika notebook kesayangan yang sudah menemani keseharian saya selama 2 tahun terakhir ini mulai sering bermasalah, terutama saat booting yang kadang bisa ditinggal membuat teh dulu, lalu kapasitas penyimpanan data yang semakin terbatas, dan, ini yang paling menyiksa, browser yang sering melambat dan ngadat, bahkan crash, ketika sedang berselancar di internet. Saya tidak bisa leluasa lagi berinternet karena harus menjalankan tab satu demi satu agar tidak macet; dengan demikian hal ini akan memperlambat kecepatan kerja saya pula. Hal yang sangat mengganggu lainnya adalah ketika saya hendak membuka folder data pribadi, notebook tersebut juga tiba-tiba melambat merespon sehingga saya tidak bisa mengakses file-file penting dalam waktu cepat. Meski masih cinta, mau tak mau saya harus melepaskan Axel, julukan sayang yang saya berikan baginya. 😦

Lalu notebook apa yang cocok menggantikan Axel?

(sumber gambar: laptopget.com)

Love at First Sight

Secara kebetulan saya menghadiri acara spesial ulang tahun pertama Blibli.com, layanan toko online terkemuka di Indonesia. Nah, di sini mata saya tiba-tiba tertumbuk pada satu produk yang sedang dipajang dan terbuka untuk dicoba yang sekilas dilihat penampilan luarnya sangat keren. Produk tersebut adalah Samsung Series 5 ULTRA yang hadir dalam 3 warna menarik: Mocca Brown, Pop Pink, dan Titan Silver. Mari kita tengok:

Ini dia yang pop-pink. Warnanya adem banget kan?!
Bagian dalam berbahan aluminium sehingga tampak eksklusif ditambah dengan aksen pink di seputar keypad

Penampilan luar sudah keren. Namun terus terang saya bukanlah calon konsumen yang gampang tergiur dengan penampilan luar. Yang mesti saya cermati adalah spesifikasi produk dan fungsi-fungsinya dong. Calon pengganti Axel harus yang lebih keren, bukan? Secara kebetulan pula produk Samsung Series 5 ULTRA ini baru tersedia bulan Juli 2012 ini dan launching-nya diadakan bersamaan dengan ulang tahun pertama Blibli.com, yang perayaannya diadakan pada tanggal 1 Agustus 2012 pukul 10.30 – 14.00 bertempat di restoran Oyster, Plaza Senayan, Jakarta, dan saya diperbolehkan mencoba notebook tersebut. Mau tidak mau sebelum meneliti sebuah produk baru, saya akan membandingkannya dengan Axel, terutama apakah si produk baru tersebut dapat menjawab masalah-masalah klasik si Axel, yakni kecepatan berselancar di internet lambat, waktu booting yang lama, dan kapasitas penyimpanan data yang tidak maksimal. Ternyata saya menemukan 3 kelebihan utama pada produk teranyar Samsung ini:

Ultra Performance

Roh utama produk ini terletak pada prosesor AMD Dual Core A6 4455M (2.1 GHz). Saya terdiam sejenak lalu berbisik ke seorang kawan di sebelah, “AMD ini bukannya katanya cepat panas ya?” Teman saya tersenyum sembari menjawab, “Itu sih stigma lama, sudah gak berlaku lagi. Sekarang performa AMD keren kok.” Oh OK, kalau begitu tidak masalah. Namun yang membuat saya girang adalah memorinya, sangat besar dengan 4GB DDR3 dan kapasitas HDD sampai 500GB. Wah ini sih cukup banget untuk pekerjaan saya yang lebih banyak menyimpan data dan tidak terlalu banyak bermain grafis. Solusi ‘lemot’ si Axel juga terpecahkan dengan Samsung Fast Solutions, yakni kecepatan booting selama 20 detik sejak notebook mati sampai siap difungsikan, dan kecepatan fast start 2 detik saja dari moda sleep. Belum lagi kecepatan browsing yang bisa sampai 2 kali lipat sehingga saya tidak perlu lagi meninggalkan komputer ketika sedang loading.  Kecepatan browsing ini sempat saya coba sendiri ketika membuka halaman depan Google yang langsung terbuka dalam sekejap mata. Sungguh suatu lompatan besar bagi saya *lebay sedikit tak apa*. Keunggulan lainnya adalah baterai notebook yang memungkinkan kita bekerja tanpa kehabisan baterai sampai 6,5 jam dan siklusnya yang mencapai 1500 kali pengisian baterai (3 tahun). Satu lagi yang penting: notebook ini sudah dilengkapi dengan Genuine Windows 7 Home Premium (64bit) sehingga masalah keaslian perangkat lunak Microsoft tidak perlu diragukan lagi.

Pada peluncuran produk Samsung tersebut saya sempat mengetes performanya melalui Windows Experience Index yang menilai performa komponen sistem-sistem kunci berdasarkan skala 1.0 – 7.9. Hasilnya: Samsung Series 5 ULTRA memperoleh skala di atas rata-rata, yakni 4.6. Angka tertinggi diperoleh dari performa gaming graphics sebesar 6.2. Menurut saya hasil ini sangat memuaskan, apalagi kalau dibandingkan dengan kebutuhan kerja saya yang terbatas pada Office dan internet. Berikut hasil selengkapnya:

Indeks performa Samsung Series 5 ULTRA (sumber: Irayani Queencyputri)

Ultra Portability

Saya sering sakit punggung gara-gara Axel beratnya minta ampun. Namun Samsung Series 5 ULTRA menjawab keluhan ini dengan lebar layar 13.3 inci, desain tipis (17.6mm), dan sangat ringan (1.52 kg). Memang ketika saya mencoba mengangkatnya, terasa ringan sekali dan bayangan saya produk ini tidak akan meremukkan punggung *lagi-lagi lebay sedikit tak apa*. Material luarnya terbuat dari aluminium dan fiber glass sehingga tahan lama meski kita kerap menggunakannya di luar ruangan. Jangan lupakan baterainya yang mesti diisi setiap 6,5 jam membuatnya nyaman sekali dibawa beraktivitas outdoor tanpa harus sering-sering fakir colokan.

Ultra Display

Inilah keunggulan Samsung lainnya yang sudah saya rasakan melalui produk lain, ponsel Android Samsung, yakni layarnya yang super cerah. Samsung Series 5 ULTRA memiliki layar yang lebih terang sampai 40% dan menyajikan 16 juta warna dengan sangat natural. Ketajaman gambar seperti ini akan membuat pengalaman melihat gambar dan video tampak lebih berani dan cerah di mata kita. Ketajaman layar tersebut dapat kita saksikan di mana saja tanpa takut refleksi cahaya di luar mengganggu pemandangan ke arah notebook dengan Anti-Reflective Display.

That’s It! I’m hooked and I’m getting this one. Belinya di mana? Wohoooo, ternyata produk ciamik ini tersedia secara eksklusif di Blibli.com. Klik di sini untuk membeli.

Anytime, Anywhere Shopping

Kenapa kita lebih suka pergi ke mall daripada ke pasar? Salah satu alasannya adalah karena barang-barang yang dipajang di mall lebih menarik daripada yang sekadar ‘dijembreng’ di pasar tradisional, bukan? Demikian pula dengan yang kita temukan di situs belanja online Blibli.com. Alih-alih menemukan situs yang penuh barang dagangan di halaman depan dengan tata letak seadanya yang terkadang membuat kita bingung toko ini menjual apa, Blibli.com mengemas dan menampilkan produk-produknya dengan cara apik layaknya mall terkemuka; mereka menyebutnya review & curate. Inovasi utama lainnya, seperti dijelaskan oleh Head of Marketing Bpk Ivan Hudayana, adalah pemangkasan prosedur pembelian yang dulunya mengharuskan pembeli menempuh 5 langkah hingga sekarang transaksi dapat selesai dalam 3 langkah mudah saja. Inovasi selanjutnya adalah menambah koleksi produk untuk tiap kategori (ada 7-8 kategori produk) dan merambah penjualan online lain seperti tiket pertunjukan musik.

Head of Marketing Blibli.com, Bpk Ivan Hudayana, sedang memberi penjelasan

Namun inovasi yang menurut saya paling menarik adalah unboxing videos alias video konsumen membuka kemasan produk dan melihat satu-per-satu produk, aksesoris, dan kelengkapan pendukung lainnya dalam kotak/dus produk tersebut. Blibli.com secara terbuka menunjukkan isi kotak produk benda demi benda untuk meyakinkan pembeli akan apa yang akan ia dapatkan di dalam kotak tersebut. Nah, ini dia unboxing video notebook calon pengganti si Axel:

Unboxing video inilah yang menjadi salah satu penentu keputusan saya untuk memilih Samsung Series 5 ULTRA, yang setelah saya beli nanti akan segera saya beri nickname baru sesuai karakternya yang perkasa: SAMSON. 😀

Seni yang Hilang di Olimpiade

Seni apa memangnya yang hilang?

Ya, seni.

Maaf atas usaha melontarkan lelucon yang cukup gagal di atas. 😀 Nyatanya memang ada seni hilang dari ajang Olimpiade. Sesuatu yang hilang itu adalah cabang seni yang sempat dipertandingkan pada masa Olimpiade 1912 – 1948. Loh, bukankah seni tidak berhubungan dengan olahraga? Di sinilah letak keunikannya.

Adalah Baron Pierre de Coubertin, bangsawan Perancis yang memiliki visi-misi modern tentang manusia yang dididik secara jasmani dan rohani serta bertanding pada perlombaan dan bukannya perang. Coubertin yang kini dijuluki Bapak Olimpiade Modern setelah menyelenggarakan Olimpiade modern untuk pertama kalinya di Athena, Yunani, pada tahun 1896, memiliki obsesi menggabungkan aspek estetika dan atletika pada sebuah kompetisi yang merupakan perwujudan visinya tadi, sekaligus melahirkan gagasan adanya kompetisi seni di Olimpiade yang mulai bergulir pada sebuah pertemuan di Paris pada tahun 1906. Setelah sempat tertunda pada Olimpiade 1908 di London, akhirnya cabang seni mulai resmi dipertandingkan pada Olimpiade Stockholm 1912 dalam lima kategori: seni arsitektur, seni lukis, seni pahat, sastra, dan musik. Ketentuan khusus dalam ajang Olimpiade cabang seni adalah ‘karya seni harus memaparkan hubungan yang jelas dengan konsep Olimpiade’. Komposisi musik, misalnya, haruslah ‘memuliakan idealisme olahraga, baik kompetisi maupun para atlet, yang diciptakan khusus untuk dipertunjukkan sesuai hubungannya dengan ajang olahraga.’

Cabang seni pahat di Olimpiade Berlin 1936 (sumber gambar: theatlantic.com)

Selain peraturan tentang konsep, ada pula beberapa peraturan teknis lomba, antara lain jumlah kata minimal 20,000 untuk karya sastra yang masuk penilaian (yang dibagi lagi menjadi sub-kategori drama, lirik, dan puisi epik) dan durasi pertunjukan untuk kategori musik minimal 1 jam. Aturan tambahan lainnya adalah para seniman yang berkompetisi haruslah amatir; tidak ada seniman profesional yang diizinkan ikut serta.

Awal keikutsertaan cabang seni di Olimpiade kurang menggembirakan: hanya 35 karya seni yang diperlombakan. Meski demikian jumlahnya terus merangkak naik hingga mencapai puncaknya pada Olimpiade Amsterdam 1928 dan Los Angeles 1932 dengan sekitar 1,100 karya seni sebelum jumlahnya menurun drastis hingga London 1948. Berikut saya bagikan beberapa karya seni yang berhasil memenangkan medali emas:

Rugby, sketsa karya Jean Jacoby dari Luxembourg pada Olimpiade Amsterdam 1928 (sumber: Wikipedia)
An American Trotter, seni pahat karya Walter Winans dari Amerika Serikat pada Olimpiade Stockholm 1912. Pahatan ini menggambarkan atlet lomba balap kuda dengan kereta trotter (sumber: decoubertin.info)
Farpi Vignoli, pemahat Italia dalam karya seni pahat sub-kategori seni patung “Sulky Driver” pada Olimpiade Berlin 1936 (sumber: wikipedia.org)

Cabang seni di ajang Olimpiade ini menarik perhatian banyak peminat seni dan masyarakat umum pada setiap penyelenggaraannya. Ada sebuah rekor yang tidak terkalahkan sampai saat ini, yaitu rekor peraih medali tertua dalam sejarah Olimpiade, yakni John Copley, pemahat asal Inggris yang memenangkan medali perak pada Olimpiade London 1948 dalam usia 73 tahun. Copley masih lebih tua dari atlet yang berkompetisi di bidang olahraga, yakni Oscar Swahn  dari Swedia yang memenangkan medalinya pada usia 72 tahun dari cabang menembak.

Sayangnya cabang seni senantiasa menuai kontroversi. Titik perdebatan utama terletak pada persyaratan amatir bagi seniman yang memasukkan karya ke panitia Olimpiade karena beberapa cabang olahraga mulai menerima atlet profesional. Lalu hasil karya para seniman amatir ini seringkali dipandang tidak memenuhi syarat oleh para juri sehingga tak jarang sebuah nomor tidak menghasilkan medali apapun karena para juri menganggap tidak ada yang pantas menerimanya. Hal ini tak ayal menimbulkan protes banyak pihak yang kemudian menggugat keputusan juri yang terdiri dari para kritikus elit tersebut. Olimpiade London 1948 akhirnya menjadi ajang terakhir perlombaan seni yang memberikan medali. Meski demikian, cabang seni masih tetap diadakan sebagai eksebisi atas amanat Piagam Olimpiade dan berlangsung hingga kini.

Saat ini sangat sulit untuk mendokumentasikan kembali sisa-sisa karya seni yang pernah diperlombakan di Olimpiade akibat pergantian masa dan peperangan yang berlangsung di Eropa. Koleksi yang terbilang lengkap hanya berasal dari Olimpiade Berlin 1936. Sisanya lenyap termakan usia dan ideologi kolaborasi olahraga dan seni yang pernah mendunia namun kini tercatat di atas secarik kertas lusuh sejarah.

===

Sumber-sumber artikel dapat dibaca lebih lanjut di sini:

1. Remember When the Olympics Used to Have an Art Competition? No?

2. Olympic Art Competitions

3. Art competitions at the Olympic Games

Olimpiade Tarik Tambang

Hehe, bukan maksudnya ada kompetisi olimpiade tarik tambang, namun nyatanya tarik tambang (tug of war) pernah menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade. Tarik tambang adalah salah satu nomor dari cabang olahraga atletik yang pernah diperlombakan mulai Olimpiade Paris 1900 sampai Olimpiade Antwerpen 1920. Setiap tim beranggotakan 5 – 8 orang, tergantung peraturan pada tiap Olimpiade.

Saya baru saja menyaksikan video nomor tarik tambang pada Olimpiade Stockholm 1912 yang saat itu hanya diikuti 2 negara: Inggris dan tuan rumah Swedia. Inggris datang sebagai juara bertahan pada Olimpiade sebelumnya di tahun 1908. Namun pada nomor kali ini, Inggris harus puas mendapat medali perak sementara tuan rumah Swedia berjaya memperoleh medali emas. Berikut gambarnya:

Nomor tarik tambang di Olimpiade Stockholm 1912 (sumber gambar: Wikipedia)

Sayangnya kanal Youtube tidak memperbolehkan penontonnya untuk membagikan video dengan cara embed untuk video yang satu ini. Jadi saya bagikan saja URL-nya, sila klik sendiri ya.

http://www.youtube.com/watch?v=GxQ3A-TPnoo&feature=relmfu

Siapa yang setuju tarik tambang dipertandingkan kembali di Olimpiade?! 😀