Sama seperti partner in crime saya Eka Situmorang yang suka senang-campur-sinis ketika hendak menonton film lokal, saya pun tidak berani menaruh harapan tinggi sewaktu membeli tiket film laga terbaru Indonesia ini. Memang nama besar Mira Lesmana & Riri Riza sebagai produser serta Ifa Ifansyah yang lebih dahulu sukses sebagai sutradara “Sang Penari” seolah menjadi jaminan mutu bahwa cerita film Pendekar Tongkat Emas ini akan bagus. Namun di belakang kepala saya selalu saja terngiang-ngian komentar, “Pasti ada aja deh yang kurang.”
Berikut ini adalah beberapa catatan setelah menonton film yang katanya menghabiskan biaya 2 juta dollar itu.

1. Sinematografi
Saya kasih nilai 90 dari 100 deh. Pemandangan alam Sumba Timur dihamparkan secara luas dan tinggi oleh sutradara dan membuat saya melongo tak berkedip sepanjang film. Rasanya tidak nyata tetapi nyata melihat bentang alam seperti itu: hadap kanan lautan Hindia, hadap kiri padang belantara dengan kontur bukit karang hijau cenderung ke tandus khas Nusa Tenggara Timur.
Meski demikian bukannya dari sisi ini tanpa ada cela; efek kecil-kecil yang ditambahkan secara digital seperti lontaran kerikil akibat seretan tongkat di tanah justru terlihat palsu. Mungkin masalah teknis saja.
2. Dialog & Peran
Karena ini film Indonesia, ya wajar dong kalau dialognya berbahasa Indonesia yang standar. Namun eksekusi cerita yang aslinya bagus itu jadi nampak kurang sempurna karena dialog para pemainnya ‘terlalu standar’ sehingga menjadi kaku. Kesannya jadi mendengar ragam bahasa tulis yang dibaca cepat tanpa terlihat emosinya. Sayangnya kekurangan ini paling nampak pada salah satu aktor favorit saya: Nicholas Saputra.
Bicara soal pemilihan pemain, saya paling terkesan dengan Tara Basro yang berperan sebagai Gerhana. Sosoknya sebagai pendekar pendiam namun culas sudah sangat baik dan beberapa gerakan kecil seperti lirikan mata terbukti berbicara banyak. Sosok favorit lainnya adalah Reza Rahadian yang tampil memukau seperti biasa. Kalau sudah begitu, Eva Celia dan Nicholas Saputra jadi terlihat seperti ‘adik kelas’ meski mereka berdualah yang menjadi jagoannya. Tapi mungkin ini soal selera pribadi saja; dari dulu saya cenderung lebih menyukai para pemeran antagonis.
3. Khas Indonesia?
Sekilas menyimak komentar para penonton di media sosial, saya menangkap banyak keluhan terutama soal budaya Indonesia yang katanya tidak ditampilkan secara proporsional di sini, mulai dari kostum pemain sampai budaya Sumba Timur yang sebenarnya jadi aneh jika disandingkan dengan adegan-adegan silat ala pendekar. Perasaan yang sama sebenarnya berkecamuk juga pada saya ketika sedang berada di bioskop.
Butuh waktu agak lama di rumah bagi saya merenung kembali soal benturan budaya ini. Akhirnya saya kembali ke pertanyaan mendasar: Ini film kan? Sebuah film Indonesia sebenarnya tidak wajib menampilkan budaya Indonesia jika memang bukan itu inti pesannya. Sama seperti film-film laga bertema Jepang seperti 47 Ronin yang menampilkan budaya Asia yang dicampur dengan budaya lainnya dan dianggap sah-sah saja sebagai sebuah karya seni, demikian pula Mira Lesmana dan Riri Riza boleh saja berimajinasi seperti ini. Jadi meski mereka berdua sempat melontarkan balasan pada sebuah sidang media, bagi saya film ini dapat diterima apa-adanya sebagai seni tanpa harus ada tanggung jawab terhadap budaya.
Udah nonton filmnya belum? Ini sekilas gambarannya. Selamat menonton ya (baca: harus nonton ya). 😀