Setelah bulan Februari lalu saya pernah menulis tentang ‘Guru Terparah’, kali ini saya hendak berbagi cerita tentang guru lagi. Sebenarnya saya terinspirasi menulis tentang si guru ini dari topik yang diangkat oleh Dailypost berjudul “Write About Your Least Favorite Teacher” dan kira-kira apa yang bisa saya sampaikan padanya sekarang setelah dewasa. Namun setelah dipikir-pikir lagi, ternyata pandangan saya terhadap guru satu ini berbeda.
Mari, saya ajak Anda berkenalan dengan guru Ilmu Administrasi SMP saya, Pak Tarigan.
Saya baru mulai diajar beliau ketika duduk di kelas 2 SMP Negeri 99 Jakarta. Meski demikian reputasinya sudah terdengar sejak kelas 1: Guru killer! Galak banget! Dan nampaknya julukan itu memang tidak salah. Pak Tarigan setiap hari memakai jeans dan sepatu koboi ke sekolah. Kemudian kemejanya selalu digulung ke siku dan beberapa kancing baju di atasnya tidak dikancingkan, memperlihatkan dada yang cukup lebat rambutnya dan dihiasi kalung emas mentereng. Ada tattoo di lengan kirinya, plus jari-jarinya bersematkan beberapa cincin batu akik besar yang sanggup membuat teler siapa saja yang ditonjoknya. Pendek kata, tampang Pak Tarigan lebih mirip preman.
Eh tapi jangan salah. Pak Tarigan sebenarnya ganteng juga dengan kumis melintangnya sehingga kami tidak muak-muak amat melihatnya. 😀 Suara Pak Tarigan cukup menggelegar seperti layaknya orang-orang yang berasal dari suku yang sama. Yang jelas kami di kelas selalu pura-pura alim setiap kali dia masuk kelas karena takut dengan mistar panjang yang tidak segan-segan ditebaskan ke tangan-tangan yang lupa mengerjakan PR atau tidak bisa menjawab ketika disuruh maju ke depan mengerjakan soal. Dari semua tampilan dan perilaku yang menjadi signature-nya, ada 2 kebiasaan buruk:
1. Merokok: Ya, Pak Tarigan tidak segan-segan menyalakan rokok di dalam kelas sambil mengajar. Entah apa yang merasuki pikiran Bapak satu ini sehingga tidak memberi contoh yang baik kepada anak didiknya. Namun kami juga tidak berani protes. 😦
2. Bercerita tentang enaknya minuman alkohol: Saya jadi tahu bedanya Ethanol dan Methanol dan bahwa yang aman diminum adalah minuman yang mengandung Ethanol. “Nanti kalo sudah besar kalian coba saja. Memang enak,” begitu tukasnya dengan santai.
Kalau saja saya berkesempatan bertemu dengan Pak Tarigan waktu itu namun sudah dewasa, saya akan berkata terus terang bahwa yang beliau lakukan bukannya memberi contoh yang baik bagi anak didik namun malah menjerumuskan mereka dalam pandangan bahwa ‘merokok dan minum alkohol seperti Pak Tarigan itu cool, keren’. Namanya juga masih SMP yang notabene masih anak-anak namun dipaparkan pada contoh buruk sedemikian rupa; pastinya akan melekat pada pikiran kami hingga seterusnya, bukan? Belum lagi mistar panjangnya yang menakutkan dan tidak segan-segan dipakai memukul tangan kami. 😦
Namun sesaat sebelum saya mulai menuliskan postingan ini, ingatan saya melayang kembali ke Pak Tarigan. Berbeda dengan sewaktu SMP, tentunya saya sekarang jauh lebih paham situasi dan dapat menilai segala sesuatu dengan lebih objektif meski tetap saja dua perilaku di atas tak dapat ditolerir. Yang saya salut dari beliau adalah pelajaran Ilmu Administrasi kelas pemula namun cukup berat dapat kami serap dengan baik (mungkin saking takutnya pada beliau). Ketika berurusan dengan ilmu, Pak Tarigan memang keras dan cenderung kaku, namun yang saya pahami adalah bahwa dasar-dasar Ilmu Administrasi memang tidak memberi ruang untuk ‘bereksperimen’ melainkan harus memastikan semua tercatat dengan baik dan angka-angkanya tidak meleset. Bahkan untuk urusan lebar kolom dan garis-dua pada kotak Saldo Akhir saja beliau cerewet. Namun kekakuan itu perlu agar ilmunya ditransfer dengan sempurna.
Satu lagi yang anak-anak tidak sukai adalah kebiasaan beliau mengadakan ulangan tanpa pengumuman terlebih dahulu. Begitu melewati pintu kelas, dengan dinginnya beliau lantang berseru “Nomor satu!”, menandakan kita harus siap dengan kertas ulangan. Ketika saya mengingat lagi momen-momen tersebut ternyata saya sadar bahwa cara seperti itu ada gunanya juga, yakni menuntut kesiapan kita setiap waktu untuk belajar dan mengulang materi dan tidak hanya belajar ketika hendak ulangan.
Pak Tarigan memang kontroversial di mata saya. Disiplin ilmu namun minus pendidikan moral. Akhirnya pesan yang saya tangkap dari beliau adalah bahwa tiada manusia yang sempurna, guru pun tidak. Pak Tarigan secara tidak langsung berani membawa diri apa adanya meski berisiko mengundang caci-maki siswanya. Namun yang terpenting dari semua itu adalah ilmunya yang aplikatif bagi saya sampai sekarang. Saya bersyukur pernah bertemu dan menjadi murid dari bapak yang satu itu. Mungkin sekarang beliau sudah pensiun. Tetap sehat ya pak! 😀
===
Sumber gambar: warnerbros.com
aje gileee..
merokok dalam kelas, dan bilang kalo minuman beralkohol itu enak..?
hihihihi
kalo jaman sekarang sudah diadukan orang tua murid ke dewan sekolah tuh pasti..
yakinn..
LikeLike
saya curiga kepala sekolahnya juga takut sama dia =)) =))
LikeLike
tiba-tiba jadi ingat, dulu saya pernah punya guru yang hampir serupa..
kejam dan tongkrongannya luar biasa..
mau posting juga ah..
LikeLike
Saya dulu juga punya guru killer, pernah juga diinterogasi abis-abisan sama Bu Nelly, tapi ketika saya berkunjung ke rumahnya, beliau begitu ramah..
Ternyata killer itu sengaja diciptakannya hanya agar murid disiplin..
LikeLike
memang kadang killer itu adalah image yg sengaja diciptakan 😀
LikeLike
guru killer? sebagai anak baik² di sekolah (walaupun sering berkelahi), rasanya gk ada yg killer di sekolahku dulu 😀
kecuali pas STM, ada beberapa yg killer buat teman2 yang lain tp bagiku biasa aja 😀
*sok* wakakka
LikeLike
wakakakak. iya dehhhhh 😛
LikeLike
saya pernah punya guru killer tai hanya untuk murid laki-laki saja. kalo udah berhadapan sama perempuan aja sikapnya berbalik 180 derajat, sayangnya kalau memang mau menegakkan kedisplinan ya seharusnya tak pandang bulu, ma dia laki atau perempuan sekalipun harus tetap tegas.
LikeLike
ah guru kayak gitu mah kelaut aje. hihihi
LikeLike
sepertinya mulai dari SD nyampe SMA pasti ada guru galak ya.
pernah pas SMA gara-gara sering telat, rambut di depan telinga (godeg) diplintir sama pak guru galak, sakitnya minta ampun..
temenku malah bilang awas ntar kalo sudah tua pastinya guru itu pake tongkat, nah tongkatnya mau ditendang biar jatuh tuh pak guru, semoga dia urungkan niat itu hehe..
LikeLike
waduh saking dendamnya sampe macam itu ya
LikeLike
Saya sih tidak pernah mendapat guru seperti itu, mungkin karena kulturnya berbeda ya :). Walau yang tipe “killer” julukannya selalu ada dari SMP hingga kuliah :D.
LikeLike
kultur yang berbeda maksudnya gimana nih?! 😀
LikeLike
rasanya dimaksudkan ‘culture’ tu.. bukan kultur yang dalam minuman tu..hehhe
LikeLike
exactly 🙂
LikeLike
brutal sekali gurunya.. kalau buat kat malaysia memang kena buang kerja serta merta.. contoh yang tidak baik kepada pelajarnya
LikeLike
wow, pengertian ‘brutal’ di Indonesia sudah sangat negatif, seperti guru yang menyiksa murid sampai mati. Pak Tarigan belum cocok disebut brutal, namun yah, beberapa perilakunya tidak patut dicontoh 🙂
LikeLike
waktu SMP juga ada guru killer, pak Sinulingga namanya, doooh … tongkrongannya sih ga menakutkan, kerempeng gitu aja 😛 guru apa dulu dia yaaa
ooo iya baru ingat, guru sejarah. terus ada 1 lagi, guru geografi, lupa namanya, ya orang Karo juga 😀
tapi ga ada guru yang berani ngerokok di dalam kelas, apalagi kepseknya emang ga perokok, pasti klo mau ngerokok, gurunya keluar dulu hehehe
LikeLike
wakakakakak. sementara muridnya orang Karo pulak 😀
LikeLike
kalo sampai ajarkan utk merokok dan minum minuman keras sih ngak pernah dapat, kalo merokok di kelas yah sering, tapi mereka melarang lho 😀
LikeLike
lalu apa bedanya dengan mengajarkan merokok coba? hehe
LikeLike
Teringat guru killer saya saat SMA… Tamba Situmorang. Se-tipikal dengan guru anda, namun tanpa alkohol…
LikeLike
yah semoga kita dapat mengambil pelajaran baik, yaitu tidak menirunya 😀
LikeLike
Awas lo ntar gurunya baca, hahaha…
Tapi beruntunglah udah lulus 😆
Pake sepatu koboi?
Wih..gayanya mantep abis, hahahha….
Guru saya dulu juga ada tuh, suka ngerokok di kelas 😦
LikeLike
hahaha, ceritain dong tentang gurunya 😀
LikeLike
terkadang guru killer ngangenin 🙂
LikeLike
masa? ngangenin gimana? 😀
LikeLike
Hihihihi…preman bener sih nih bapak :p anyway, Tarigan itu marga Batak bukan yah?
Iya Oom, sudut pandang kita buat menilai orang memang beda yah. Dulu dan sekarang. Kalau dulu melihatnya seperti apa, sekarang kita sudah bisa memilah-milah bahwa apa yang diperbuat guru2 kita pada jaman dahulu tuh ternyata baik dan membuat kita jadi ‘orang’
tapi saya tetep benci sama guru yang ‘ngambekan’, ‘suka ngomongin orang’ dan ‘nyinyir’. Ini hal yg ga berubah dan nggak bisa ditemukan sudut baiknya dari manapun juga *uppps curcol* hahaha
LikeLike
hush jangan sebut sukunya ah 😛
nah lo dia curcol? siapa nama gurunya?! heheheh
LikeLike
anak yg bandel pasti punya guru yang dianggap sangar dan kejam,
anak yg baik, semua guru dianggap berjasa..
-ihk, sok bijak–
*kaburr*
LikeLike
hehehe iya deh yang bandel #eh
LikeLike
Kayaknya semua sekolahan punya guru galak ya?
tapi sekarang muridnya juga ikutan galak eh galak atau rusak ya?
LikeLike
ah jaman sekarang sih, gurunya mau baik mau galak, murid2nya tetap bengal =))
LikeLike
sebentaaar… sebentaaar…
SMP Negeri 99? jakarta timur?
deket SMA 21?
[iya bukan yah?]
Ya ampuuuun!! itu sekolah kenangan dan selalu jadi saingan sekolahku dulu pas bulan bahasa. huahahhahaha. ih gak nyangka banget ternyata oom Brad anak 99 *appa sih, aku berasa kenal ajah, karena keknya kita beda angkatan jauuuuh bangeet.
gak yakin juga pas oom Brad sekoah di 99 udah ada lomba Bulan Bahasa se kecamatan PuloGadung apa belon. hehehhehehe….
LikeLike
hehehehe zaman saya yg ngetop dulu adalah kompetisi bahasa inggris.
kamu di SMP mana?
LikeLike
keknya dulu waktu oom jadi anak 99, sekolahku belon eksis deh. hehehehhe..
aku dulu di Labschool Rawamangun oom, pas aku masuk SMPku namanya masih SLTP IKIP.
dulu waktu aku SMP, 99 saingan barengan sama SMP Tarki yang di rawamangun juga ituloh oom kalau lomba-lomba.
LikeLike
small world. saya dulu di SMA Labschool 😉
LikeLike
seleksi penerimaan gurunya gimana tuh? bisa kecolongan kayak gitu. jangan mpe ditiru lah. kasihan juga anak didiknya.
LikeLike
wah gak tau deh ya. hehehe. makasih kunjungannya ya. 😀
LikeLike
gegara guru killer fisika di SLTA dulu, saya milih masuk ekonomi (karena takut :D) sekarang menyesal kenapa nda ambil IPA saat itu, karena ternyata saya suka sama IT :((
LikeLike
ah itu sudah jalan yg di atas. si guru killer cuma kebetulan menjadi katalisator #eh 😀
LikeLike
waktu SMP banyak banget guru killer di sekolah Rusa
tapi pas SMA gak telalu banyak, karena Rusa kan di kelas siswa2 alim 😀
LikeLike
percaya deeeeeeeeh 😛
LikeLike
kenapa orang batak kalau jadi guru dapat cap killer ya 😀
Si Mama juga guru, dan dapat cap guru killer juga.
LikeLike
gak juga kok. Guru Geografi saya Batak and she’s so kind 😀
LikeLike
Tadinya mo nulis begini karena belum baca lengkap: “Guru “killer” itu cuma perasaan kita yang masih kanak-kanak, kecuali memang guru yang suka main tangan (suka pukul) dan main mulut (suka bentak-bentak). Saya “yakin” sebenarnya hati guru itu lembut, memberikan yang menurutnya “terbaik” untuk anak didiknya.”
Tapi sebentar kemudian berubah pikiran, baca lengkap dulu trus berkomentar: “Dasar Pak T*****n sontoloyo, buat saya dia bukan “killer” yang saya maksud tapi benar-benar “pembunuh karakter kebaikan” dari diri seorang pendidik. Semoga murid-muridnya tidak ada yang mencontoh. Untung saya bukan muridnya, kan saya penurut #halah … bisa-bisa saya ikutan merokok dan minum Ethanol.”
LikeLike
hehehe. makanya. tapi untunglah saya gak jadi perokok sekarang 😉
LikeLike
Wow… ada yah guru seperti itu…. 😮
LikeLike
ada aja 😀
LikeLike