Tag Archives: vietnam

Perang Bir di Asia Tenggara

DISCLAIMER: this article reflects personal opinions from the blogger.

Perang bir? Oke, mungkin saya agak berlebihan dalam menjulukinya sebagai sebuah peperangan. Namun nyatanya Asia Tenggara memang marak dengan beragam merk bir lokal dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya, baik warga lokal maupun turis mancanegara. Lupakan merk-merk bir Eropa dan Amerika; jika para pelancong berkunjung ke wilayah ini, yang pertama dicari adalah merk lokal. Satu hal menarik yang saya saksikan adalah bahwa hampir semua negara di Asia Tenggara memiliki merk lokal birnya sendiri, kecuali Malaysia dan Brunei. Indonesia, misalnya, terkenal dengan Bir Bintang yang menjadi favorit para turis Amerika, meski pandangan ini disanggah dengan keras oleh rekan kerja saya yang juga orang Amerika, yang mengejek turis bangsanya sendiri yang tidak mempunyai selera yang bagus oleh karena bir Budweiser di Amerika, yang menjadi minuman sehari-hari di sana, memang kualitasnya rendah dibanding beberapa merk Eropa. Jadi dalam perjalanan saya terakhir, saya ‘ditantang’ untuk membuktikan sendiri keragaman rasa bir di Asia Tenggara. “Lalu manakah yang paling enak?” tanya saya mengharap bocoran.

“Laos,” bisiknya sambil berseri-seri.

Menurut kasak-kusuk teman-teman pelancong ke Asia Tenggara, bir terenak di Asia (bahkan sesumbarnya di dunia) berasal dari Laos dan menjadi benda yang sangat dicari oleh karena penyebarannya yang masih terbatas. Namun demi menjaga objektivitas, maka saya memutuskan untuk mencoba sendiri beberapa bir yang beredar dan memberikan penilaian yang (semoga) adil. Kriteria penilaian berpatokan pada 3 hal: rasa, aroma, dan tingkat kepahitan. Dasar ilmiahnya apa? GAK ADA. Semua itu memang akal-akalan saya saja. πŸ˜€

Berikut ini saya bagikan empat teratas hasil penelitian kami:

1. Beerlao

Bir kebanggaan Laos ini diproduksi oleh Lao Brewery Company di Vientiane dan berbahan dasar beras jenis jasmine yang diproduksi lokal dan dicampur dengan yeast dan hops yang diimpor dari Jerman. Kekuatan utama Beerlao terletak pada aroma jasmine yang sangat harum dan aroma hops yang menyerupai anggur putih sehingga tanpa meminumnya kita bisa terkecoh menyangka bahwa ini adalah minuman buah-buahan segar, meski bau khas alkoholnya tidak dapat menyembunyikan karakter birnya. Ketika dicoba, bir ini cukup pahit namun dapat ditolerir dan kesegarannya langsung seolah merasuk ke tulang dan membuat saya menarik nafas panjang saking nikmat dan rileksnya. Mencicipi Beerlao benar-benar pengalaman yang luar biasa. Harganya juga sama sekali tidak mahal; satu kaleng sedang dijual di kisaran USD 0.60 – 0.75 di minimarket Kamboja meski bisa melonjak sampai USD 2.50 di bar. Sayang sekali penyebarannya tidak luas; Beerlao hanya dapat ditemukan di minimarket di Laos dan Kamboja sedangkan di Vietnam dan Thailand hanya dijual di bar-bar tertentu. Katanya bir ini diekspor juga ke Eropa dan Amerika namun sangat terbatas di bar-bar tertentu pula. Saya belum menemukan bir ini di Jakarta. Ada yang tahu di mana bisa mendapatkannya?

Beerlao (sumber: Wikipedia)

2. Singha

Inilah produk bir kebanggaan Thailand. Tadinya saya tidak begitu menaruh perhatian karena lebih fokus mencari bir-bir Kamboja, namun begitu kaleng bir Singha dibuka, aroma anggur dan jasmine langsung menyeruak begitu kuatnya. Rasanya sangat mirip dengan Beerlao namun lebih pahit sehingga saya menempatkannya di urutan kedua. Kisaran harganya di Kamboja sama saja, USD 0.60 – 0.75 untuk kaleng sedang.

Singha (sumber: thatsilvergirl.blogspot.com)

3. Tiger

Dari sisi distribusi, boleh jadi Tiger Beer yang merupakan merk asal Singapura ini yang paling luas penyebarannya di Asia Tenggara. Saya pertama kali mencobanya secara tidak sengaja ketika sedang mampir di sebuah bar di KL dan terpaksa kecewa karena Malaysia tidak memiliki produk bir lokal; terpaksalah brand Singapura yang saya coba. Ke manapun saya pergi pasti menemukan merk ini yang kini juga diproduksi di Thailand. Rasa dan tingkat kepahitannya mirip dengan Beerlao namun aromanya tidak terlalu kuat sehingga Tiger harus puas menempati posisi ketiga. Harganya sedikit lebih mahal di Kamboja.

Tiger (sumber: behindtheburner.com)

4. Cambodia

Saya benar-benar tidak menyangka bahwa negara seperti Kamboja ternyata memiliki beberapa merk bir lokal yang bersaing ketat di pasar dengan baliho-balihonya yang besar di sudut-sudut Phnom Penh dan Siem Reap serta terpasang di banyak sekali toko. Salah satu yang saya nilai juara adalah Cambodia, meski nilainya kalah dibandingkan tiga nama di atas oleh karena aromanya yang tidak kuat, rasanya yang agak berair dan tingkat kepahitannya yang rendah. Namun saya tetap dapat menikmatinya. Harganya kurang-lebih sama dengan merk-merk lain di Kamboja.

Cambodia (sumber: thesoutheastasiaweekly.com)

***

Selain keempat nama di atas, masih ada lagi beberapa yang saya coba, terutama di Kamboja, seperti Angkor, Anchor, Kingdom, dan satu-dua nama lain yang saya lupa. Ada pula merk Thailand lainnya yakni Chang yang langsung menempati posisi terbawah. Bagi saya, Chang seperti air putih dengan cita rasa bir. Ketika mampir ke Vietnam, saya sempat mencoba Saigon Red dan sangat enak meski katanya bir terenak di Vietnam adalah Saigon Green yang sayangnya hanya tersedia di bar-bar eksklusif. Ada lagi beberapa merk lokal seperti Zagnarok dan 333, namun saat itu saya sudah muak dengan bir sehingga kaleng-kaleng itu dibeli saja untuk kemudian ditinggal di hotel. 😦 Filipina juga katanya punya bir San Miguel yang sangat enak dan sepertinya pernah saya lihat di hypermarket di Jakarta. Saya mesti mencobanya kapan-kapan.

Bagaimana dengan Bir Bintang dari Indonesia? Oke, daripada dituduh tidak nasionalis baiklah saya coba juga ya. Bir yang diproduksi berdasarkan lisensi Heineken ini cukuplah saya nilai setara dengan Tiger; tidak terlalu kuat namun sangat enak dan sepertinya memang satu-satunya pilihan di Indonesia karena saya tidak sudi menyentuh merk lokal yang satu lagi. πŸ˜€

Sekian laporan beer tasting kali ini. Siapa mau coba Beerlao?

Yeah baby!

Abang-Abang Hot di Ben Thanh Market

“Ngapain ke Vietnam? Mau liat sawah? Di Makassar juga banyak kali!”

Komentar itu saya terima ketika dengan terpaksa harus menolak ajakan seorang kawan baik berkunjung ke Makassar karena saat itu saya sudah dijadwalkan pergi ke Vietnam. Terbukti memang ajakan tersebut sulit sekali untuk ditolak, oleh karena impian untuk menikmati alam Sulawesi Selatan dan mencicipi ragam kulinernya langsung di sana sangatlah menggoda. Namun apa boleh buat, jadwalnya bentrok sehingga saya mesti pasrah di-tag beragam foto kuliner Makassar selama mereka berada di sana. *sigh*

Namun curhat itu lain kali saja deh. Hati saya sekarang masih tertambat di Kamboja dan cukup sedih juga ketika akhirnya harus meninggalkan negara itu dengan menumpang bis ke Ho Chi Minh, Vietnam. Keramahan penduduk Phnom Penh masih hangat-hangatnya ketika saya pamit dari hotel, menikmati sarapan nasi dengan lauk sederhana di gang sebelah, sampai senyum tulis tukang tuktuk yang mengantar saya ke terminal bis Sorya yang letaknya tidak jauh dari Psar Thmei alias Central Market Phnom Penh.

Bis bergerak meninggalkan terminal Phnom Penh tepat pada pukul 10 pagi dan kami memulai perjalanan selama 6 jam ke Ho Chi Minh, bekas ibukota Republik Vietnam Selatan yang kini menjadi kota terbesar di negara Republik Sosialis Vietnam setelah kejatuhannya ke tangan tentara Vietnam Utara pada tanggal 30 April 1975, hanya berselang dua minggu selepas kejatuhan Phnom Penh ke tangan tentara Khmer Merah. Pukulan telak bagi Amerika Serikat kembali dirasakan dan kali ini lebih menusuk karena Amerika Serikat telah terlibat langsung dalam peperangan melawan komunis di Indocina sejak dekade sebelumnya. Lepas dari tangan Amerika, penduduk Saigon memulai hidup baru di bawah bendera komunis dan mengakibatkan banyak warganya dikirim ke kamp-kamp reedukasi ideologi.

Namun Vietnam bukanlah negara komunis yang kaku; serangkaian reformasi ekonomi pada dekade 80-90an secara perlahan tapi pasti mengubah wajah negara ini dari sebelumnya agraris menjadi negara industri baru yang tingkat persaingannya sering disandingkan dengan Cina. Kita di Indonesia pun tidak lagi memandang Vietnam dengan sebelah mata; beberapa produknya mulai memasuki pasar Indonesia dengan kualitas baik namun harga yang murah. Wajah Vietnam yang dinamis tergambar jelas sejak saya tiba di perbatasan Kamboja-Vietnam, yakni di pos Bavet – Moc Bai yang modern meski ketegangan tetap dirasakan. Meski seorang kawan dari Vietnam pernah bercerita bahwa ideologi komunis tinggal jargon-jargon yang dipelajari di bangku sekolah dan universitas dan praktis tidak tampak lagi di kehidupan sehari-hari, gerak-gerak petugas imigrasi dan bea cukai yang menyambut kami mencerminkan rasa curiga yang teramat kuat. Tidak ada lagi sogok-menyogok petugas imigrasi; semua barang bawaan harus diangkat sendiri oleh para pelintas batas. Larangan memotret tertera di mana-mana dan petugas dengan seksama memperhatikan tiap cap imigrasi asing yang tertera di paspor hijau saya. Namun meski terkesan angkuh dan dingin, prosedur ketibaan berlangsung efisien dan kami langsung digiring masuk kembali ke bis untuk melanjutkan sisa perjalanan ke Saigon.

Agustinus Wibowo dalam catatan perjalanannya di Asia Tengah pernah bercerita betapa kadar udara seolah berubah begitu kita melintasi perbatasan darat dua negara. Perasaan itu saya tangkap juga; udara berdebu di Kamboja seolah hilang begitu memasuki Vietnam dan tanah yang tadinya kering mendadak hijau oleh pepohonan rindang. Saya bagikan beberapa gambar dulu ya.

Angkutan sungai Mekong, Kamboja
Bendera Vietnam penanda batas negara telah dilewati
Pos perbatasan yang megah (Moc Bai, Vietnam)

Saigon

Tak lebih dari satu generasi lalu, Saigon adalah ibukota Republik Vietnam Selatan yang kemudian jatuh ke tangan Vietnam Utara yang komunis. Masa kekacauan pun dimulai dengan pengiriman ribuan warga ke kamp-kamp reedukasi untuk menjadikan mereka berderap maju bersama dengan saudara-saudaranya di utara. Komunis hadir dengan wajah dan wataknya yang khas: dingin, kaku, bertangan besi, dan membekap kebebasan berbicara. Propaganda bertebaran di semua media dan jalan-jalan dipenuhi slogan-slogan ideologi. Segala lini masyarakat dibekali pemahaman ideologi yang sistematis yang lalu membentuk sistem pemerintahan yang terpusat.

Namun Vietnam bukanlah negara yang menerapkan komunisme secara statis seperti Korea Utara. Sadar bahwa tetangga raksasanya di utara, Cina, sedang tumbuh menjadi raksasa baru, Vietnam pun melancarkan serangkaian gerakan reformasi ekonomi pada dekade 80-an dengan membuka pasar bebas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasilnya terlihat cepat: pusat-pusat ekonomi tumbuh dan Vietnam kini semakin diperhitungkan di Asia sebagai pemasok produk-produk berkualitas tetapi terjangkau. Dinamika ekonomi tersebut terasa denyutnya di Ho Chi Minh City yang tetap disebut Saigon secara informal oleh masyarakat Vietnam. Kota yang berpenduduk 7,3 juta jiwa (sensus tahun 2010) ini memiliki jalan-jalan yang bersih dan mulus; trotoarnya bersih dari sampah meski pedagang asongan berjualan di sana-sini. Transportasi bis kota tertata baik meski bis-bis yang beroperasi tanpa tua dan kusam. Jalur kereta bawah tanah sedang bersiap dibangun dan bandar udara Thanh Son Nhat yang terletak di tengah kota berencana akan dipindahkan dalam beberapa tahun mendatang ke lokasi baru yang mampu mendukung pertumbuhan Saigon hingga puluhan tahun ke depan.

Namun cobalah tengok Saigon dengan lebih seksama dan Anda akan menemukan hal-hal menarik. Selain bis kota, tukang ojek, atau yang di sini disebut ‘moto’, tetap menawarkan jasa meski tidak seganas tukang ojek di Jakarta dalam mencari penumpang. Taman-tamannya yang luas dimanfaatkan oleh warga untuk berolahraga setiap hari dan pemerintah kota menyediakan fasilitas treadmill dan sepeda statis yang bebas digunakan siapa saja. Lalu slogan-slogan propaganda komunis, meski tetap meriah di mana-mana, tampil dengan santun berhiaskan gambar para pekerja hasil kreasi lukisan atau digital; tidak ada foto-foto seremoni apalagi pasfoto narsis calon pejabat publik yang sedang berkampanye untuk meraih kursi. πŸ˜€

Berikut beberapa gambar ya:

Taman dan lajur kendaraan di seberang Istana Reunifikasi Saigon; mengingatkan kita pada keindahan Paris dan London
Jalur pedestrian yang bersih dari sampah dan bau pesing
Warga Saigon sedang berolahraga santai di taman kota
Fasilitas olahraga tersedia secara gratis di taman
Slogan propaganda hadir dengan santun

Istana Reunifikasi

Tanggal 30 April 1975 diperingati sebagai hari bersejarah bagi bangsa Vietnam dan juga Amerika Serikat. Bagi Amerika, hari itu disebut The Fall of Saigon dimana mereka akhirnya terpaksa angkat kaki setelah bertahun-tahun memerangi komunis dan meninggalkan warga yang ketakutan akan datangnya Viet Cong. Sedangkan di mata Vietnam, hari itu disebut The Liberation of Saigon yang memerdekakan kota dari tangan imperialis Barat. Gambar-gambar yang kemudian terkenal di dunia adalah helikopter Amerika terakhir yang lepas landas dari sebuah atap gedung; masih dengan para pengungsi yang antri di bawahnya. Sedangkan simbol penguasaan Viet Cong yang dielu-elukan Hanoi adalah menerabasnya dua buah tank ke Istana Kepresidenan Republik Vietnam Selatan dengan cara menabrak pagar.

Anda boleh menertawakan saya, namun kali inilah untuk pertama kalinya saya memandang sejarah dari sudut pandang baru. Kita tentu tahu bahwa sejarah ditulis oleh para penguasa menurut versi yang mereka inginkan pula. Selama ini saya selalu memandang sejarah kejatuhan / pembebasan Saigon dari sudut pandang seorang jurnalis AP yang kemudian menjadi wartawan CNN terkenal, Peter Arnett, yang meliput pergantian kekuasaan di Saigon dan lalu menulis buku Live from the Battlefield: From Vietnam to Baghdad, 35 Years in the World’s War Zones. Buku tersebut mengungkapkan fakta seputar krisis Vietnam dari sudut pandang Barat yang kemudian ‘ditumbangkan’ oleh versi Vietnam menyebut penyerbuan ke Saigon sebagai pembebasan. Foto-foto kekejaman tentara Amerika yang mengeksekusi warga sipil ditampilkan secara frontal dan tentara Vietnam dipampang secara heroik dengan aksi-aksi tank dan helikopter yang menarik, plus foto-foto bersejarah yang terjadi di seputar istana hingga era modern sekarang.

Masuklah ke dalam dan kunjungi setiap lantainya. Di bagian depan Anda akan menemukan serangkaian ruangan yang berfungsi sebagai ruang penerimaan tamu negara, ruang rapat, dan ruang kerja presiden. Di belakang Anda akan menemukan ruang-ruang pribadi keluarga presiden terakhir Vietnam Selatan yang masih tertata rapi seperti sedia kala. Sedangkan ruang bawah tanah digunakan sebagai pusat komando militer dan komunikasi dengan dunia luar. Istana ini menjadi sasaran utama pengeboman tentara Vietnam Utara dan menjadi simbol persatuan kedua negara yang tadinya terpecah karena ideologi dan pengaruh asing.

Tampak depan Istana Reunifikasi Saigon; bekas Istana Presiden Republik Vietnam Selatan
Inilah tank bersejarah tentara Viet Cong yang menerjang pagar Istana Kepresidenan Saigon, 30 April 1975
Salah satu ruang pertemuan di Istana Reunifikasi
Pemandangan di atap Istana Reunifikasi; tampak sebuah helikopter hasil rampasan perang dari Amerika Serikat yang digunakan oleh para pejabat komunis berkeliling ke daerah-daerah pasca kejatuhan Saigon. Dua lingkaran merah di dekatnya adalah titik pengeboman oleh pilot Vietnam Utara ketika masih sedang menggempur Saigon.

Notre Dame Basilica

Sekitar 2 blok di sebelah timur Istana Reunifikasi, berdiri sebuah situs bersejarah yakni Katedral Notre Dame Basilica yang dibangun oleh Perancis tahun 1863-1880. Katedral ini awalnya digunakan sebagai tempat beribadah warga Perancis di negara yang sekarang memiliki populasi Katolik terbesar kelima di Asia ini. Meski berada di bawah pemerintahan komunis, gereja Katolik di Vietnam berada di bawah naungan Gereja Katolik Roma di Vatikan dan uskup pribumi pertama ditahbiskan oleh Paus Pius XI pada tahun 1933. Bahan bangunan katedral ini seluruhnya diimpor dari Perancis dan di dalamnya terdapat tempat-tempat perhentian jalan salib yang kerap digunakan untuk berziarah menjelang Paskah. Saya bertandang ke sana sore itu dan duduk berlama-lama.

Notre Dame Basilica, Saigon, Vietnam
Bagian dalam basilika yang megah dan teduh
Beberapa ibu sedang berdoa

Saigon Central Post Office

Terletak di sisi kiri katedral Notre Dame, Saigon Central Post Office adalah bangunan bersejarah lainnya di Ho Chi Minh City. Bangunan bergaya Gothic ini dibangun pada awal abad ke-20 oleh arsitek Perancis yang sangat terkenal yang membangun Menara Eiffel, yakni Gustave Eiffel. Hingga hari ini gedung tersebut masih menjalankan fungsinya sebagai kantor pos dan juga merupakan tempat berburu souvenir Vietnam yang cantik-cantik. Terdapat pojok penukaran mata uang asing meski nilai tukarnya jelek dan dilayani oleh petugas jutek. πŸ˜›

Central Post Office, Saigon, Vietnam (sumber: Wikipedia)
‘Paman Ho’ mengawasi dari atas!
Bangunan ini masih berfungsi sebagai kantor pos hingga sekarang

Ben Thanh Market

Ini adalah pasar tertua di Saigon; awalnya tumbuh secara tradisional di tepi Sungai Saigon sekitar abad ke-17. Setelah sempat dipindahkan ke lokasi lain dan terbakar, akhirnya pasar ini dipindahkan ke lokasinya yang sekarang pada tahun 1912 dan menjadi salah satu atraksi turis di Saigon. Yang saya sukai dari pasar ini, sama halnya dengan Central Market di Phnom Penh adalah jalur-jalur untuk para pembeli cukup lebar sehingga kita dapat melihat barang-barang yang dijajakan dengan nyaman. Para pedagang pun tidak sampai tumpah-ruah ke tengah jalur sehingga menyulitkan konsumen bergerak. Yang lebih penting lagi: kondisi pasarnya sangat bersih dari sampah dan tidak ada bau pesing dan busuk menyengat, pun ketika saya menjelajahi los buah-buahan, sayur-mayur, dan bumbu dapur. Memang pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari tidak banyak dan sepertinya pasar ini lebih fokus sebagai pasar suvenir. Barang-barang di sini pun murah dan kita bisa tawar-menawar sampai hampir setengah harga.

Yang membuat saya selalu malu dan kikuk setiap kali memasuki pasar adalah para pedagang selalu ramah menyambut saya, “Abang, Abang, tengok sini Bang. Murah-murah, banyak warna.” Gaya mereka memanggil ‘Abang’ bukan seperti kita memanggil tukang nasi goreng di Jakarta, melainkan dengan gaya manja lengkap dengan cengkok Melayu yang khas, “Abaaaang.”Β Jadilah saya merasa seperti abang-abang Melayu yang hot di seluruh pasar. *ditimpuk* πŸ˜€

Ya, saking banyaknya turis Malaysia ke mari, terkadang kita bisa tawar-menawar dalam Bahasa Indonesia juga. Hehehe.

Ben Thanh Market (sumber: Wikipedia)

===

Informasi Umum

Visa

Warga Negara Indonesia bebas visa masuk ke Vietnam selama 30 hari baik melalui pintu udara maupun darat.

Transportasi

Bis internasional dari Phnom Penh seharga USD 10 sekali jalan dengan waktu perjalanan 6 jam. Bis tersebut akan berhenti di distrik 1 Jalan Pham Ngu Lao, yang merupakan area turis. Transportasi lokal menggunakan bis dan moto (ojek). Sayangnya saya tidak sempat mencobanya sehingga tidak tahu harga. Ongkos taksi dari Pham Ngu Lao ke bandara sekitar USD 9, 30 menit perjalanan (tergantung kondisi lalu-lintas juga).

Penginapan

Pham Ngu Lao! Silakan lempar batu ke mana saja, bangunan yang terkena lemparan pasti hotel murah. Harga kamar di kisaran USD 6-15. Kamar tersebut sudah ber-AC dan fasilitas memadai. Jauh lebih murah dibandingkan Jakarta!

Makanan / Minuman

Vietnam terkenal dengan mie putih-nya yang khas. Minuman yang terkenal tentunya Kopi Vietnam. Ada pula roti baquet yang lazim dinikmati untuk sarapan dan praktis tersedia di banyak stand pinggir jalan dengan harga 20,000-an dong. Rata-rata kios makanan menghidangkan babi, jadi para pelancong Muslim harap berhati-hati.

Nilai tukar mata uang

USD 1 = 20,000 dong. Berarti Rp 1 hampir setara 2 dong, cukup mudah menghitungnya. Tinggal membagi dua segala harga di Vietnam, kita mendapatkan nilai rupiahnya. Pembayaran selalu dalam mata uang dong; dollar hanya digunakan ketika membayar hotel. Pastikan Anda sudah menghabiskan nominal di bawah 10,000 dong karena uang receh tersebut tidak dapat ditukar di money changer Indonesia. Pedagang valuta asing di Bekasi hanya menerima uang baru dong yang terbuat dari plastik (mirip uang plastik Rp 100,000.- dahulu).

Walking tour

Semua objek wisata yang saya ceritakan di atas dapat dicapai dengan berjalan kaki dari Jalan Pham Ngu Lao; petunjuk arah dapat dengan mudah Anda dapatkan dari pihak hotel. Ada pula objek wisata gua perlawanan terhadap tentara Amerika yang terletak di luar kota, namun sayangnya saya tidak sempat pergi ke sana.

Pada dasarnya, Saigon tidak memiliki banyak objek wisata dan cepat membuat Anda ‘mati gaya.’ Jadi sempatkan Anda mampir beberapa hari di sini, namun setelah itu segeralah bergerak ke kota lain.