Catatan Pinggir Novel ‘Sahaja Cinta’

Dari sekian buku yang saya sudah baca dan miliki, jarang-jarang saya mengapresiasi sebuah karya sastra dengan begitu antusiasnya, terlebih kali ini ada alasan personal yang menyertai: pengarang bukunya adalah seseorang yang saya kenal cukup baik. Sosok itu bernama Achoey El Haris, atau akrab dipanggil Kang Achoey oleh sobat-sobatnya di Blogor (Komunitas Blogger Bogor). Atas motivasi istrinya yang sedang mengandung anak pertama, Kang Achoey memacu diri menyelesaikan buku pertama yang diterbitkan secara resmi dan merupakan karya pribadi (karya-karya sebelumnya bersifat kolaborasi). Anak pertama yang lahir dari Kang Achoey ternyata bukan buah jasmani, melainkan buah pemikiran yang ilmu dan hatinya tak lekang oleh waktu.

‘Anak pertama’ itu adalah sebuah buku yang berjudul ‘Sahaja Cinta’. Berikut ini adalah catatan pinggir saya.

Pesan Utama

Namanya Ali, putra seorang guru teladan di Ciamis yang meneruskan jejak ayahandanya meniti pengabdian sebagai guru muda di sebuah sekolah menengah di Bogor. Sosoknya yang berkharisma dan pandai membawa diri serta menjaga amanah keluarga memancarkan pesona yang menarik hati banyak orang: murid-murid, rekan-rekan pendidik, bahkan para perempuan yang diam-diam menaruh hati padanya. Akhirnya seorang gadis berhasil mengikat hatinya dan bersiaplah mereka memasuki gerbang pernikahan sebelum bencana datang di siang bolong: sang tunangan meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dalam keadaan hamil tiga bulan, hasil hubungan dengan laki-laki sebelum bertemu si guru muda ini. Ali pun terpaksa menelan pil pahit: ditinggal pergi kekasih, dikhianati, dihujat keluarga calon mertua, dicerca di sekolah, disangsikan keluarga sendiri, dan dipermalukan di depan publik. Lengkap sudah resep yang sempurna untuk menjadi putus asa.

Membaca novel ini bagaikan berkaca pada kehidupan penulisnya yang bening. Kang Achoey sendiri adalah seorang motivator sembari sehari-harinya membuka Kedai Mie Janda di Cibinong, lalu di dekat sebuah universitas swasta di Kota Bogor, dan sebentar lagi membuka cabang barunya di Cikaret (masih di wilayah Cibinong). Pergumulan yang Ali rasakan dalam pengabian sebagai guru dan pengusaha kedai tidak jauh beda dengan Achoey; meskipun jalan cerita buku ini sebagian besar fiksi yang dibangun sedemikian rupa sehingga pesan moralnya tersampaikan dengan baik.

Salah satu pesan moral terkuat dari buku ini adalah bahwa guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar namun juga pendidik. Saya sendiri yang juga berprofesi sebagai pengajar merasakan tuntutan ini: murid-murid, apalagi mereka yang dewasa, menuntut gurunya ‘sempurna’ dalam pengetahuan agar mereka nyaman dalam bertanya dan menimba ilmu. Selain pengetahuan, perilaku pun tidak boleh bercacat cela karena sekali saja kekhilafan itu terbuat, sang guru akan kehilangan kredibilitas moral. Paling tidak buku ini mengingatkan saya kembali untuk melihat lebih luas dan mendengar lebih tajam akan kebutuhan sesungguhnya dari para murid sehingga dapat memberikan ilmu yang tepat guna serta menjadi saluran berkat bagi mereka.

Tuntutan moral bagi seorang guru seperti Ali akan terasa dua kali lipat beratnya oleh karena statusnya yang belum menikah. Persepsi masyarakat tentang guru adalah bagaikan menyaksikan manusia setengah dewa yang tidak pernah berbuat salah sehingga ketika ketahuan cacatnya, baik disengaja atau tidak, akan serta-merta meruntuhkan nama baiknya. Salah satu godaan terberat bagi pemuda seperti Ali adalah potensi fitnah akibat persinggungannya dengan seorang, atau beberapa, perempuan. Hal yang semestinya tidak ada apa-apanya dapat dengan mudah diputarbalikkan menjadi sesuatu yang memancing hujat orang banyak.

Soal Teknis & Persepsi

Terlepas dari premis dan jalan cerita yang menawan, buku ini memiliki beberapa catatan kekurangan teknis, yakni penyelesaiannya yang terburu-buru. Hal ini tergambar jelas oleh kesalahaan ejaan di sana-sini serta tertukarnya nama tokoh-tokoh cerita; misalnya antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal. Lalu terdapat pula persoalan redundansi kata sehingga penggambaran adegan dalam satu paragraf tidak efektif. Hal ini menyiratkan dua hal: pengarangnya yang tidak memeriksa kembali naskahnya, atau editor penerbit yang tidak berkompeten di bidangnya. Semoga kekurangan-kekurangan ini dapat diperbaiki di cetakan berikutnya.

Hal lainnya adalah perbedaan persepsi antara pengarang dan pembaca (saya). Buku ini menampilkan secara konsisten perjuangan dan pemikiran Ali yang dalam dan saya memetik banyak sekali pelajaran darinya, namun kesan yang akhirnya timbul adalah ‘Ali seperti setengah dewa’, pergumulannya tidak manusiawi karena tidak tampak satu kekurangan pun yang diakuinya (atau sedikit sekali). Kelihatannya si penulis belum berani ‘memainkan’ alur cerita dengan lebih asyik dan fokus kepada isi hati Ali saja. Namun untuk soal ini, saya memilih berdamai dengan pemikiran sendiri dan beranggapan bahwa ini adalah sudut pandang yang sengaja ingin ditampilkan oleh Kang Achoey. Dan subjektivitas seperti itu tidaklah salah. 😀

***

Akhirnya, terlepas dari beberapa catatan teknis dan perbedaan persepsi antara saya dan Achoey, dengan gembira saya merekomendasikan kepada Anda untuk membeli dan menikmati buku ini. Alasannya sederhana: pemikiran yang tertuang dalam buku ini bagai mutiara yang baru diambil dari tiramnya dan berkilau bercahaya di bawah matahari untuk pertama kalinya sebelum diolah selanjutnya menjadi perhiasan yang menawan.

Satu lagi yang mesti dicatat: buku ini memperkenalkan saya pada sebuah makanan khas Jawa Barat khususnya Ciamis, yakni Nasi Tutug Oncom. Sekarang saya penasaran di mana bisa mencobanya di Jakarta. Anda tahu tempatnya?! 😀

Segera dapatkan buku Sahaja Cinta yang hanya dijual secara online melalui situs Leutika Prio.

===

Sumber gambar: infomakan.com, leutikaprio.com

12 thoughts on “Catatan Pinggir Novel ‘Sahaja Cinta’

  1. manteeeb
    saya yang udah dari kapan tau kelar baca buku ini bareng curhat sang presiden, tapi mpe sekarang malah blom nulis apapun ttg 2 buku itu
    padahaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal
    buku lainnya sudah dipublished ceritanya di blog berbayar saya *sengaja menekankan pada kata berbayar … catat itu hahahahaha*

    **ngibrit ke kamar nyamber buku sahaja cinta mo bikin review juga hoho**

    Like

  2. balik lagi ….

    saya juga baru tau ada nasi tutug oncom,
    dilihat penampakannya sih kayaknya enak yah
    mungkin kang achoey boleh bikin jumpa fans sekalian minta tanda tangan dan foto2 .. bonusnya ? nasi tutug oncom tentu saja! hahahah *ngarep kang achoey mampir ke sini dan baca ini hahaha*

    Like

      1. @niQue
        Jujur, selepas kuliah saya tidak memilih menjadi dosen, melainkan menjadi penjual nasi tutug oncom di daerah depan GOR Susi Susanti di Tasikmalaya. Tapi yg bikin teman saya, saya yg jual mbak 😀

        @Brad
        Hehe, Mie Janda bukanya jam 09 an. Wah berarti lagi ada di Cibinong nih 🙂

        Like

        1. hehehe, iya hari Senin kemarin saya di Cibinong. Sampe di MJ tepat jam 9 pagi tapi rolldoor baru kebuka setengah dan karyawan masih sibuk nyapu 😦 terlalu pagi saya datangnya. hehe

          Like

      1. jadi orang yang bae napa sihhh
        nasi klo dilempar2 kan jadi berantakan
        mbok bilang sini nique tak traktirnya nasi tutug oncom
        kan langsung ngacir 😀

        Like

  3. Wah, membaca postinganmu ini membuatku senyum2 dan terharu. Kemarin aku baca di kedai tapi baru bisa komen pagi ini.

    Sahabat, kalau nanti Sahaja Cinta cetak ulang, pengen rasanya aku merevisinya dan berdiskusi denganmu. Terima kasih ya atas masukannya yang sangat berharga ini. 🙂

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s