Kita Peduli Hak Kekayaan Intelektual

“Kamu tahu gak lagu ‘Rasa Sayange’ asalnya dari mana?”

“Dari Ambon, Pak”

“Itu kan kata kamu. Coba tanya sana sama Pemerintah Ambon, mereka punya gak catatannya?!”

Dialog ini terjadi antara DR Bambang Kesowo, SH, LLM, dan seorang mahasiswa pada event Dialog Interaktif yang bertajuk “Mahasiswa Peduli Hak Kekayaan Intelektual” yang digagas oleh Risa Amrikasari dan diselenggarakan bersama dengan IPAS Institute, Permahi, Indonesian Law Institute, Rose Heart Publishing dan Rose Heart Writers di Restoran Sindang Reret, Jakarta Selatan pada Jumat (22/Okt/2010) lalu. Acara dialog interaktif yang mulanya digagas oleh Risa Amrikasari dalam rangka ulang tahunnya ini menghadirkan DR Bambang Kesowo, SH, LLM, mantan Menteri Sekretaris Negara era Megawati sekaligus Pakar HKI, sebagai pembicara utama dan dihadiri oleh sekitar 200 mahasiswa hukum dari 17 universitas serta khalayak pemerhati hukum dan hak kekayaan intelektual; tak ketinggalan pula para wartawan dan blogger. Apa saja yang menjadi pokok pembahasannya?

Sesi dialog diawali dengan kuliah umum oleh Pak Bambang yang memaparkan pengertian dasar tentang Hak Kekayaan Intelektual dan, utamanya, konteksnya di Indonesia. Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) adalah hak yang lahir dari kemampuan intelektual manusia. Kemampuan yang dapat diberikan hak kekayaan intelektualnya harus berupa karya yang konkret, dapat dilihat, diraba, dan dirasa serta mempunyai fungsi; pemikiran yang baru sebatas ide belum dapat memenuhi persyaratan untuk memperoleh hak ini. Hak Kekayaan Intelektual terbagi atas 2 bagian besar, yaitu Hak Kekayaan Industri (paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman) dan Hak Cipta (karya literatur, pertunjukan, referensi, dan yang bersifat artistik). Setelah pemahaman umum mengenai HKI ini dipaparkan, perhatian para peserta beralih kepada problem-problem yang umum terjadi seputar penerapan hak ini. Ada beberapa hal yang saya himpun:

1. Paten oleh orang asing terhadap benda yang berasal dari dalam negeri

Isu terbaru yang masih panas diperdebatkan sekarang ini adalah temu lawak yang merupakan bahan baku utama pembuatan jamu tradisional yang dipatenkan oleh Amerika Serikat (baca beritanya di sini). Bahan bakunya berasal dari Indonesia namun riset ilmiahnya dikembangkan di luar negeri, dan hasil penelitian tersebut lalu dipatenkan oleh negara tempat risetnya. Pertanyaannya: Indonesia sebagai tempat asal temu lawak mendapat bagian apa? Jawaban Pak Bambang cukup mengejutkan saya: belum ada rezim / aturan internasional yang mengatur ini sehingga sampai sekarang dispute di banyak negara masih berlangsung dan praktik seperti ini akan tetap berjalan selama belum ada aturan internasional yang mengikatnya.

Pelajaran yang saya tangkap: para ilmuwan Indonesia tampaknya terlambat menyadari bahwa sumber daya alam kita akan dipatenkan oleh orang lain kalau kita tidak waspada melindunginya. Para ilmuwan kita tampaknya masih lebih tergiur melakukan penelitian dalam rangka mengejar gelar magister dan doktoral dan kurang memperhatikan perlindungan terhadap objek penelitiannya. Budaya Indonesia yang bersifat permisif terhadap orang asing harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam melindungi sumber daya kita yang berharga.

2. Klaim budaya Indonesia oleh asing

Terkait dialog tentang lagu ‘Rasa Sayange’ di atas, Pak Bambang mengajukan argumentasi yang sederhana: “Mana buktinya? Kita orang hukum pasti bicara bukti, kan?!” Tepat sekali, lagu ‘Rasa Sayange’ yang kita klaim berasal dari Maluku tidak dapat dibuktikan karena pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki dokumentasi apa pun tentang lagu itu. Lagu tersebut akhirnya dapat ditemukan rekaman aslinya oleh masyarakat yang masih menyimpan piringannya yang berasal dari tahun 1950-an ketika lagu itu direkam oleh musisi asal Maluku dalam album yang diberikan sebagai kenang-kenangan bagi para peserta Asian Games IV Jakarta 1962 (baca ceritanya di sini). Apa yang menyebabkan kasus seperti ini banyak terjadi? Pak Bambang menyoroti kurangnya perhatian pemerintah kita dalam mendokumentasikan produk-produk budaya Indonesia. Beliau meminta agar pemerintah lebih serius memperhatikan warisan budaya dan kekayaan alam di Indonesia melaui tiga langkah dasar: identifikasi – inventarisasi – koleksi. Jika ketiga proses ini sudah dilaksanakan maka Indonesia akan memiliki dasar yang kuat ketika sebuah negara asing mencoba melakukan klaim atas warisan budaya tersebut. Memang, seperti disampaikan di awal, belum ada aturan internasional yang mencakup hal ini, namun paling tidak kita sudah harus mengaturnya di level nasional agar klaim kita tidak sekedar argumentasi tanpa bukti.

3. Maraknya pembajakan

Pak Bambang memaparkan fakta yang mencengangkan dari ASIRI: produksi rekaman legal pada tahun 2004 mencapai sekitar 39 juta kopi, sementara produk bajakan yang beredar di pasar mencapai sepuluh kali lipatnya. Sementara itu data tahun 2008 yang dikutip oleh Tempo Interaktif menyebutkan fakta yang lebih memprihatinkan lagi: terdapat 20 juta produk legal sementara yang bajakannya mencapai 560 juta. Persoalan pembajakan produk rekaman audio dan video ini seolah tidak ada habisnya dan cenderung dibiarkan begitu saja oleh aparat yang berwenang, terbukti dari maraknya penjual DVD bajakan yang merambah mal-mal di Jakarta dan kota-kota lainnya. Yang menjadi perhatian kita bersama adalah meski UU Hak Cipta telah ada di Indonesia, pada praktiknya sulit menerapkan peraturan di lapangan di mana produk bajakan telah berjalan seiring dengan produk legal dan telah menjadi hal yang “normal”. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ada sebagian produser rekaman yang justru menjadi pelaku pembajakan dengan alasan pasar yang lebih menjanjikan dan tidak perlu membayar pajak dan royalti. Kemudian harga produk legal yang masih jauh lebih mahal juga menjadi alasan utama masyarakat untuk membeli produk bajakan.

Refleksi

Pemaparan Pak Bambang Kesowo dalam dialog interaktif ini menyadarkan saya bahwa ide dan hasil karya sepatutnya mendapat pengakuan yang semestinya. Di sela-sela dialog tersebut, seorang dosen Universitas Jakarta datang kepada saya dan menanyakan bagaimana pandangan saya sebagai blogger terhadap permasalahan HKI dan apakah blogger pernah bersinggungan dengan ini. Saya menanggapi pertanyaan tersebut dengan memaparkan apa yang sejauh ini saya alami, yaitu blogger (paling tidak di Indonesia) masih memiliki kesadaran yang cukup rendah terhadap karya cipta orang lain. Sejak beberapa tahun lalu saya telah melihat orang memasang banner “Blog Juga Karya Cipta”, namun nyatanya repost blogging tanpa menyebutkan sumbernya dengan tepat masih dilakukan oleh sebagian blogger dengan tujuan meningkatkan peringkat di mesin pencari, dan pada akhirnya, mencari uang dari praktik tersebut. Meski praktik “pencurian” ini sudah ada, namun para blogger masih pemaaf dan cenderung menganggap ini sebagai pelanggaran etika; belum sampai pada pelanggaran hak cipta dan dapat dibawa ke ranah hukum.

Berangkat dari pemikiran ini saya beranggapan bahwa hasil karya blogger berupa tulisan selayaknya mendapat pengakuan yang pantas, minimal berupa penyebutan sumber kutipan dengan baik. Untuk sampai pada pengakuan hak kekayaan intelektual rasanya belum tepat karena blog bukanlah platform yang pas untuk mempublikasikan karya ilmiah. Namun paling tidak, diskusi yang terjadi pada forum dialog ini memacu saya untuk menerapkan etika ngeblog dengan lebih baik dan menaruh perhatian lebih besar pada hak kekayaan intelektual yang sepantasnya menjadi milik bangsa kita. Semoga Anda juga dapat menaruh perhatian yang sama dengan saya.

***

Secara pribadi saya salut dengan Risa Amrikasari yang memutuskan untuk merayakan ulang tahunnya dengan cara yang “luar biasa.” Setelah sukses meluncurkan seri Good Lawyer dan Good Lawyer Season 2 dalam 2 tahun terakhir, Risa dengan identitas Rose Heart-nya berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang sekelilingnya, daripada membuang-buang uang di karaoke atau merayakannya bersama anak-anak panti asuhan yang sudah “lazim” dilakukan orang (baca pemikirannya di sini). Saya memahami kemungkinan ekses lain dari event ini, yaitu Risa dituduh “narsis”, namun bagi saya Risa pandai memanfaatkan kenarsisan itu untuk menjadi manfaat yang tak terbantahkan bagi banyak orang, khususnya para mahasiswa. Selamat Ulang Tahun, Mbak Risa. May you be blessed with happiness and success for many years to come 😀


===

DISCLAIMER: Tulisan ini adalah catatan pengamatan saya setelah mendengar pemaparan DR Bambang Kesowo SH, LLM dalam acara tersebut dan digabungkan dengan pemikiran pribadi. Saya tidak menyarankan tulisan ini dijadikan referensi bagi penelaahan pihak lain mengenai isu Hak Kekayaan Intelektual. Hak Cipta atas tulisan ini berada pada saya pribadi.

Image 1: gpat.co.in

Image 2: Christian Science Monitor

23 thoughts on “Kita Peduli Hak Kekayaan Intelektual

  1. tergelitik ama percakapan pertama.. hehehehe 🙂

    banyak orang pintar udah tau.. tapi negara ini masih aja ga becus ngurusi tanah warisannya, lebih senang memperebutkan harta untuk mengenyangkan isi perut.

    Like

    1. hehe, saya juga tergelitik sewaktu mendengar dialog itu.
      masalah ini cukup kompleks sih bro, saya percaya pemerintah bukannya gak ada goodwill, tapi kekurangan SDM dan finansial utk hal2 “gak urgent” begini memang sudah biasa tampaknya.

      See you Saturday in Jakarta. *eh beneran dateng PB kan?!* 😀

      Like

      1. aku pernah nulis tentang lagu itu sih.. emang Maluku ga punya catatan tentang siapa yg membuat, penciptanya saja dikasih NN ato no name.

        kekurangan finansial dan SDM itu kadang aneh, pegawai negeri banyak2 begini apa ga bisa di manejemen. taruhlah dinas pariwisata, mereka kan bisa menggalakkan tentang Haki taruhlah.. goodwill dari pemerintah sih kaadng setingkat pada pimpinan sampe kebawah lagi udah habis.
        😀

        Like

        1. yang kamu paparkan itu masalah klasik sih, sayangnya sudah bertahun-tahun tetap saja gak ada perubahan. makanya butuh bantuan masyarakat juga utk melestarikan warisan budaya kita. Lokananta Record yg sempat merekam lagu Rasa Sayange itu mestinya dibantu agar semua dokumentasinya dipindahkan ke platform yg lebih baik dan dapat lebih mudah diakses. 😀

          Like

  2. Menyedihkan
    Bahkan prilaku copas tanpa menyertakan sumber pun dianggap bukan kesalahan ya.

    Mestinya memang kita mulai peduli dengan hak kekayaan intelektual
    🙂

    Like

  3. Saya rasa, masalah HaKI ini kompleks banget. Bukan cuma dari lambannya tindakan pemerintah melindungi aset-asetnya, tapi juga karena keengganan para penemu atau pencipta dalam negeri untuk mengurus yang beginian. Selain karena ndak tegasnya pemerintah dalam menindak produk-produk bajakan, juga karena masyarakat kita yang hobi banget membeli yang bajakan.

    Barang bajakan diperjual-belikan secara terang-terangan di Indonesia. Ndak ada yang peduli, baik pemerintah sebagai pelindung maupun masyarakat sebagai pembeli.

    Like

    1. kenyataan yang pahit memang. tapi bukan berarti gak bisa ditanggulangi. meski mungkin butuh waktu satu generasi utk meyakinkan masyarakat bahwa produk bajakan tidak layak dibeli, kita tetap harus mengerjakan bagian kita, bukan?! 😀

      Like

  4. bukannya mau sombong sih,saya pribadi kalo nyontek di sekolah ‘MALUNYA’ minta ampun Bang…
    Ga kebayang seberapa tebal kulit manusia2 yang masih doyan nyontek

    Like

  5. wah..menarik nih postingannya. saya tanggapi agak panjang ya, soalnya saya tertarik hehehe..

    1. tentang Paten : emang udah bukan rahasia lagi kalo para peneliti kita lebih sibuk meneliti sesuatu yang hasilnya bisa diukur dengan materi. realistis aja, mereka butuh hidup, butuh uang untuk makan dst. smentara kalau fokus hidup sebagai peneliti yang idealis mereka bisa gak makan apa-apa. beda dengan negara maju yang memberikan jaminan penuh kepada para penelitinya untuk bisa fokus pada penelitannya tanpa harus pusing mikirin duit. ya nggak ? CMIIW

    2. tentang klaim budaya asing/dokumentasi. yup, ini juga kekurangan kita sebagai orang Indonesia. kurang bisa mendokumentasikan sesuatu. jaman sekarang aja kita baru bisa sering2 mendokumentasikan apa-apa, dulunya kan kebanyakan dokumentasi tentang Indonesia itu adanya justru di luar negeri. pemerintah memang perlu mensosialisasikan kebiasaan mendokumentasikan ini, sekaligus memberikan dukungan besar pada semua langkah2 yang bersifat dokumentasi.

    3. soal pembajakan. wah no comment dah klo ini..hehehe. khusus untuk perangkat lunak, saya kira pemerintah bisa mulai berusaha untuk mencari jalan tengah agar beberapa perangkat lunak buatan luar bisa berharga murah agar masyarakat pengguna bisa “tergoda” untuk membeli yang asli daripada bajakan. sebagai analogi aja, masyarakat kita yang belum cukup sadar akan yang namanya bajakan tentu lebih milih Windows made in Glodok seharga 20.000,an dibanding Windows asli yang 800.000,-an. tapi klo misalnya ada windows asli yang harganya 100.000an, mungkin akan banyak yg mikir buat sekalian beli yg asli aja..ya nggak ?

    intinya, pemerintah memang punya peranan besar kalau memang mau menciptakan iklim positif terkait hak cipta dan kekayaan intelektual ini, tapi sebagai masyarakat umum kita memang harus ikut campur juga soalnya nunggu pemerintah jalan sendiri sama saja seperti menunggu bulan jatuh di depan halaman. do what we can do ajalah..:D

    udah ahh..kepanjangan..udah kek postingan blog aja, hahahaha…maap..maap..

    Like

    1. hehe kenapa perlu minta maaf. justru tanggapan seperti ini yg saya tunggu.

      Menurut saya pemerintah tidak perlu menyosialisasikan kebijakan dokumentasi. Pemerintah harus MENEGAKKAN peraturan itu. Para peneliti juga sudah harus lebih sadar bahwa penelitian apapun dapat bernilai ekonomi bagi dirinya dan negara sehingga perlu melindungi aset keilmuannya. Kalau soal opsi menurunkan harga produk asli, saya paham kalau ini bukan sesuatu yg mudah, sebab program komputer spt Windows memang mengandung HKI yang bernilai ekonomi tinggi dan pantas bila mereka mendapat royalti atas jerih payahnya dalam pengembangan. Memang ada harga yang mesti dibayar ketika kita ingin mendapatkan produk berkualitas.

      thanks ya. sering2 aja komen macam ini. hehehe

      Like

  6. sayangnya bangsa kita tak pernah belajar dari apa yang terjadi berulang ulang. Rasa Sayange,temulawak adalah 2 di antara beragam kekayaan yang tidak mendapat tempat dengan layak disini, lalu kita br kebakaran jenggot ketika di klaim oleh orang luar.
    kita tidak pernah menyadari bahwa kita kaya lalu membuat regulasi yang baik dan tepat guna dalam mengelola kekayaan budaya, alam dll..
    atau kita sebenarnya sadar bahwa kita kaya, terlalu kaya, hingga kelimpungan mengurus..

    Like

Leave a reply to indobrad Cancel reply