Seni yang Hilang di Olimpiade

Seni apa memangnya yang hilang?

Ya, seni.

Maaf atas usaha melontarkan lelucon yang cukup gagal di atas. 😀 Nyatanya memang ada seni hilang dari ajang Olimpiade. Sesuatu yang hilang itu adalah cabang seni yang sempat dipertandingkan pada masa Olimpiade 1912 – 1948. Loh, bukankah seni tidak berhubungan dengan olahraga? Di sinilah letak keunikannya.

Adalah Baron Pierre de Coubertin, bangsawan Perancis yang memiliki visi-misi modern tentang manusia yang dididik secara jasmani dan rohani serta bertanding pada perlombaan dan bukannya perang. Coubertin yang kini dijuluki Bapak Olimpiade Modern setelah menyelenggarakan Olimpiade modern untuk pertama kalinya di Athena, Yunani, pada tahun 1896, memiliki obsesi menggabungkan aspek estetika dan atletika pada sebuah kompetisi yang merupakan perwujudan visinya tadi, sekaligus melahirkan gagasan adanya kompetisi seni di Olimpiade yang mulai bergulir pada sebuah pertemuan di Paris pada tahun 1906. Setelah sempat tertunda pada Olimpiade 1908 di London, akhirnya cabang seni mulai resmi dipertandingkan pada Olimpiade Stockholm 1912 dalam lima kategori: seni arsitektur, seni lukis, seni pahat, sastra, dan musik. Ketentuan khusus dalam ajang Olimpiade cabang seni adalah ‘karya seni harus memaparkan hubungan yang jelas dengan konsep Olimpiade’. Komposisi musik, misalnya, haruslah ‘memuliakan idealisme olahraga, baik kompetisi maupun para atlet, yang diciptakan khusus untuk dipertunjukkan sesuai hubungannya dengan ajang olahraga.’

Cabang seni pahat di Olimpiade Berlin 1936 (sumber gambar: theatlantic.com)

Selain peraturan tentang konsep, ada pula beberapa peraturan teknis lomba, antara lain jumlah kata minimal 20,000 untuk karya sastra yang masuk penilaian (yang dibagi lagi menjadi sub-kategori drama, lirik, dan puisi epik) dan durasi pertunjukan untuk kategori musik minimal 1 jam. Aturan tambahan lainnya adalah para seniman yang berkompetisi haruslah amatir; tidak ada seniman profesional yang diizinkan ikut serta.

Awal keikutsertaan cabang seni di Olimpiade kurang menggembirakan: hanya 35 karya seni yang diperlombakan. Meski demikian jumlahnya terus merangkak naik hingga mencapai puncaknya pada Olimpiade Amsterdam 1928 dan Los Angeles 1932 dengan sekitar 1,100 karya seni sebelum jumlahnya menurun drastis hingga London 1948. Berikut saya bagikan beberapa karya seni yang berhasil memenangkan medali emas:

Rugby, sketsa karya Jean Jacoby dari Luxembourg pada Olimpiade Amsterdam 1928 (sumber: Wikipedia)
An American Trotter, seni pahat karya Walter Winans dari Amerika Serikat pada Olimpiade Stockholm 1912. Pahatan ini menggambarkan atlet lomba balap kuda dengan kereta trotter (sumber: decoubertin.info)
Farpi Vignoli, pemahat Italia dalam karya seni pahat sub-kategori seni patung “Sulky Driver” pada Olimpiade Berlin 1936 (sumber: wikipedia.org)

Cabang seni di ajang Olimpiade ini menarik perhatian banyak peminat seni dan masyarakat umum pada setiap penyelenggaraannya. Ada sebuah rekor yang tidak terkalahkan sampai saat ini, yaitu rekor peraih medali tertua dalam sejarah Olimpiade, yakni John Copley, pemahat asal Inggris yang memenangkan medali perak pada Olimpiade London 1948 dalam usia 73 tahun. Copley masih lebih tua dari atlet yang berkompetisi di bidang olahraga, yakni Oscar Swahn  dari Swedia yang memenangkan medalinya pada usia 72 tahun dari cabang menembak.

Sayangnya cabang seni senantiasa menuai kontroversi. Titik perdebatan utama terletak pada persyaratan amatir bagi seniman yang memasukkan karya ke panitia Olimpiade karena beberapa cabang olahraga mulai menerima atlet profesional. Lalu hasil karya para seniman amatir ini seringkali dipandang tidak memenuhi syarat oleh para juri sehingga tak jarang sebuah nomor tidak menghasilkan medali apapun karena para juri menganggap tidak ada yang pantas menerimanya. Hal ini tak ayal menimbulkan protes banyak pihak yang kemudian menggugat keputusan juri yang terdiri dari para kritikus elit tersebut. Olimpiade London 1948 akhirnya menjadi ajang terakhir perlombaan seni yang memberikan medali. Meski demikian, cabang seni masih tetap diadakan sebagai eksebisi atas amanat Piagam Olimpiade dan berlangsung hingga kini.

Saat ini sangat sulit untuk mendokumentasikan kembali sisa-sisa karya seni yang pernah diperlombakan di Olimpiade akibat pergantian masa dan peperangan yang berlangsung di Eropa. Koleksi yang terbilang lengkap hanya berasal dari Olimpiade Berlin 1936. Sisanya lenyap termakan usia dan ideologi kolaborasi olahraga dan seni yang pernah mendunia namun kini tercatat di atas secarik kertas lusuh sejarah.

===

Sumber-sumber artikel dapat dibaca lebih lanjut di sini:

1. Remember When the Olympics Used to Have an Art Competition? No?

2. Olympic Art Competitions

3. Art competitions at the Olympic Games

6 thoughts on “Seni yang Hilang di Olimpiade

  1. Maaf kalo tidak nyambung, Kakak…
    tapi saya jadi ingat Porseni -> pekan olahraga dan seni

    sepertinya olahraga dan seni itu memang memiliki hubungan khusus…
    mereka beda tapi saling melengkapi… hehehe #ngasal

    tapi ngomong2…
    sayang, yah, seni sudah tidak ada di Olympiade lagi?
    kalo ada, saya pasti lebih tertarik ikut perkembangan Olympiade…

    Like

  2. Seperti kata Mirna si Emon, gw juga ingat Porseni jaman sd dan smp dulu. Jaman itu kalau terpilih masuk anggota yang ikut Porseni rasanya keren.

    Like

Leave a reply to Alris Cancel reply