‘Batas’: Utopia vs. Realita

Bagi kita yang tinggal di Jawa dan harus mengarungi lautan dan udara sebelum mencapai negeri lain, tentunya tak terlalu merasakan efek garis batas yang berwujud lini di peta. Namun bagi penduduk yang tinggal di garis depan perbatasan negara kita, batas yang fisiknya berupa patok sederhana itu tanpa ampun membelah keluarga dan suku, mengungkung dunia yang haram diseberangi, dan menciptakan utopia atas pemandangan di negeri tetangga yang berujung nanar ketika realita menyergap. Ah, bahkan udara pun tidak boleh bertandang.

Film ‘Batas’ adalah karya terbaru Rudi Soedjarwo setelah sebelumnya sukses dengan beberapa film lain seperti ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ dan ‘Mengejar Matahari’. Dalam film yang skenarionya digarap oleh Slamet Rahardjo Djarot dan Lintang Sugiarto ini, Rudi menyoroti dinamika masyarakat Dayak yang hidup di daerah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak. Adalah Jaleshwari (Marcella Zalianty), perempuan asal Jakarta yang sedang mengandung bayi namun ditinggal mati suaminya, yang menyanggupi penugasan kantor untuk mencari tahu mengapa program CSR pendidikan yang mereka jalankan selalu mandeg dan guru-guru yang dikirim selalu pulang kembali karena tidak tahan.

Kontak di perkampungan yang diandalkannya adalah Adeus (Marcell Domits), putra Dayak yang bergelar sarjana pendidikan namun apatis dan membiarkan gedung sekolah berdebu daripada mengajar anak-anak. Oleh Panglima Adayak (Piet Pagau), Jalesh dititipkan di rumah istrinya Nawara (Jajang C Noer) yang sedang merawat Ubuh (Ardina Rasti), seorang TKI ilegal yang melarikan diri dari Malaysia dalam keadaan bisu dan trauma akibat dianiaya dan diperkosa. Di rumah itu juga tinggallah Borneo (Alifyandra), cucu laki-laki Panglima dan Nawara yang kehilangan orang tuanya dan menyimpan keinginan untuk bersekolah. Di balik kesederhanaan hidup di tapal batas, desa itu menyimpan boroknya: menjadi tempat transit para TKI ilegal yang sudah membayar puluhan juta rupiah demi mereguk sedikit kebahagiaan di negeri di balik hutan. Sesekali muncullah Arif (Arifin Putra) yang bertugas menjaga perbatasan negara sekaligus memantau lalu-lintas perdagangan manusia.

Batas adalah wujud ketidaksempurnaan manusia dan film ini menghadirkannya dengan baik (baca: tidak sempurna). Jalesh adalah perempuan kosmopolitan yang geregetan melihat masyarakat lokal tidak mampu bangkit dari batasan kondisinya dan memilih untuk melawan arus dan adat-istiadat demi tujuan mulia meski harus tersandung ketika berhadapan dengan budaya lokal yang memiliki keluhurannya sendiri. Bagi Adeus, batas memiliki makna berbeda, yakni ketidakmampuan mendobrak pandangan masyarakat yang lebih memilih menyuruh anak-anak mereka berladang dan berburu daripada bersekolah. Untuk Borneo, batasannya adalah pendidikan yang tidak mampu diraihnya demi membebaskan diri dari kemiskinan. Sedangkan bagi Ubuh, ah, garis batas itu menggores luka menganga di punggungnya.

Utopia adalah kondisi impian yang ditawarkan oleh negeri di balik hutan yang kontras dengan realita kemiskinan di kampung sendiri. Jika utopia itu hanya terletak 8 kilometer dari sini, maka keinginan untuk menerabas hutan dan melompati patok sangat menggebu-gebu. Namun film ini memaparkan batas yang jauh lebih fundamental daripada itu; yaitu bahwa kebobrokan moral bukan hanya ada pada penguasa dan konglomerat yang bernafsu menebang hutan dan menanam sawit saja, namun juga melekat pada masyarakat pedalaman yang tidak sudi bergerak dari kacamata kudanya dalam meningkatkan taraf hidup. Urusan perut ke bawah adalah pergulatan sehari-hari dan menjadi prioritas dibandingkan urusan perut ke atas, yakni pendidikan dan pengembangan diri dan masyarakat.

Film ini menghadirkan semua pergumulan itu dengan sangat apik. Saya suka dengan bentang alam dan pergantian suasana dari malam ke pagi yang tampak mistis oleh kabut yang menyelimuti hutan. Meski demikian saya agak terganggu dengan beberapa adegan yang diambil dengan kamera handheld yang terlalu goyang sehingga memusingkan mata. Di samping itu, Jalesh terlalu ‘cerewet’ dalam narasi sehingga pergumulan yang sudah tergambar di adegan menjadi sedikit ‘lebay’. Saya juga menikmati penggambaran Adeus yang ragu dalam mencerna dan melangkah, serta Borneo yang ceria dan dinamis.

Saya bukan orang Kalimantan dan belum pernah ke sana. Oleh karena itu saya menikmati sekali perkenalan dengan budaya suku Dayak sekaligus bahasanya. Tata bahasanya nampak sederhana dan mudah untuk dipahami dan beberapa kata cepat dapat dihafal berkat bantuan subtitle. Tapi ada satu pertanyaan Jalesh yang tidak terjawab di film ini dan memicu pemikiran saya juga: Jadi apa sebenarnya arti gambar yang ditunjukkan oleh Panglima ketika Jalesh pertama kali berjumpa dengannya?  Kemudian yang saya pahami, tatto yang melekat di tubuh para pria memiliki arti sendiri dan jadi penasaran juga mengetahui simbol-simbolnya.

Terlepas dari kelemahan dari segi pengembangan konflik, narasi dan beberapa hal teknis lainnya, saya bersyukur telah menyaksikan film yang sarat makna ini. Bahwa manusia pada hakekatnya hidup dalam keterbatasan yang harus ditaklukkan untuk meraih kebebasan. Namun kebebasan yang manusia miliki ternyata juga ada batasnya ketika tunduk pada takdir Penguasa Langit dan Bumi.

Jadi, bagaimanakah Anda menjembatani Utopia vs. Realita?! Kalau saya, bermimpi pada Utopia, lalu bangun, mandi air dingin, dan berjuang meniti Realita. 😀

Film ‘Batas’ baru saja dirilis tanggal 19 Mei 2011 dan dapat disaksikan di bioskop terdekat. Segera tonton dan sharingkan pemikiranmu ya!

===

Sumber gambar: keana.co.id

32 thoughts on “‘Batas’: Utopia vs. Realita

  1. *mandi*
    *ganti baju*
    *siap2 ke mal mo ntn BATAS*
    *ada yang mo ongkosin ga? :D*
    *baca resensinya kayaknya … hmm kok saya keduluan terus ya nonton film daripada yang punya blog ini, padahal hobi saya ya nonton itulah :D*

    Like

  2. Wah tak kira Utopianya negara :p
    Hmmm.. boleh nih tak tonton nanti. Sebagai referensi, siapa tau aja kepepet pengen nonton film XD

    Like

  3. luar biasa pemaparan yang menarik… bisa tidak sa print dan tempel di mading kampusku tulisanta… ( pasti sa tulis sumbernya ka`…. ) hehehe klu bisa…

    Like

  4. keren. tenan oom. aku suka banget baca review film ini oleh oom Brad, entah kenapa mbikin aku penasaran ama filmnya, pas gitu loh: memuat review soal film yang membuat penasaran dan berisi pengetahuan soal film tersebut dengan cukup; termasuk soal batas dan utopia serta realita yang dimaksud.

    argkhhhh cepat datang tanggal satttuuuu!!!
    *yang trakhir adalah permohonan*
    hahahahhahaa

    Like

  5. kapan saya diajak nonton opa? hikz 😦 *lama sudah tak nonton, terakhir ya tanda tanya itu 😀

    filmnya menarik satu dari rudi sujarwo, suka selalu membawa tema-tema sederhana dengan menggali khanasah budaya Indonesia…

    eh kapan Rudi ke ambon ya? pasti lebih menarik lagi 😉 tul kan opa?

    Like

Leave a comment