Oh Phnom Penh, selama tiga tahun kita berpisah
Aku merindukanmu dan hatiku merana dari hari ke hari
oleh karena musuh yang memutuskan tali kasihmu dan akuKala aku dipaksa meninggalkanmu
Amarah berkobar di hatiku dan aku bersumpah membalas dendam
atas penderitaanmu sebagai tanda kesetiaankuPhnom Penh, kota kami tercinta
Meski ditempa kesusahan selama tiga tahun
Engkau tetap menjaga sejarah cemerlang keberanian kita dan menjadi lambang jiwa Kampuchea,
kekaisaran yang dahulu pernah jayaOh, betapa jiwa bangsa Khmer tetap lestari
dan oh, terilhami kekaisaran Angkor yang megahOh, Phnom Penh
Sekarang kita bersama lagi dan engkau terbebas dari kesedihanmuOh, Phnom Penh
hati dan jiwa bangsa kita===
“Oh Phnom Penh Euy”, Keo Chenda, 1979
Kami menjejakkan kami di Phnom Penh pada sore itu (3 Mei) setelah menempuh dua jam penerbangan dari Kuala Lumpur. Setelah urusan imigrasi dan membeli kartu telepon lokal selesai, kami melangkah keluar dari bandar udara mungil namun efisien disambut hangat para supir taksi dan tuktuk yang menawarkan jasa.
“Tuktuk, Sir. Seven dollars to downtown”
Sedikit lebih mahal dari tarif yang pernah saya baca sebelumnya dan saya tahu bisa saja kami mendapat harga yang lebih murah jika kami melangkah keluar gerbang bandara dan mencari tuktuk di pinggir jalan. Namun tanpa berpikir panjang akhirnya sudahlah, kami naik.