Labirin Rasa: Pelarian Para Indera

“Kamu ganteng”

“Kali aja kita tetanggaan. Atau mungkin lo adalah suami masa depan gue?”

Kalimat-kalimat tadi diucapkan oleh Kayla, seorang cewek bermuka standar berpipi jerawatan namun percaya dirinya selangit sehingga layak saya menyebutnya cewek sinting. Betapa tidak; Ruben yang baru dikenalnya di kereta api langsung terpana dengan pertanyaan Kayla yang membuat lelaki itu serasa naik roller-coaster, sebentar melayang oleh puji-pujian, namun sesaat kemudian terjerembab oleh penukasan yang seenak jidat tapi jujur. Awal perjalanan yang menarik!

Labirin Rasa sejatinya adalah jejaring perasaan yang menyesatkan karena membuat Kayla berputar-putar di dalamnya. Penyebabnya adalah beberapa orang. Ada Ruben, pemuda ganteng mirip Darius Sinathrya yang nekat mencium bibir Kayla di tengah hiruk-pikuk Malioboro. Lalu ada Dani, mahasiswa yang tak sengaja bertemu Kayla di perjalanan menuju Bromo yang alangkah tololnya tidak berani menyatakan cintanya. Kemudian David, bule charming di Bali yang tahu benar apa yang diinginkannya. Atau Cynthia Lumintang, perempuan Manado teman seperjalanan Kayla dari Gili Trawangan ke Makassar yang kemudian berujung pada konflik di tempat tidur yang… ah sudahlah!

Pelarian Para Indera

Eka Situmorang-Sir, sang penulis buku, mengemas kisah Kayla dalam sebuah catatan perjalanan yang akan membawa kita menjelajahi sudut-sudut Indonesia dengan mulusnya. Saya menyukai penggambaran daerah-daerah tersebut yang cukup sebagai latar belakang cerita namun tidak terlalu dominan seperti buku panduan perjalanan. Fakta-fakta wilayah ditampilkan secukupnya saja, utamanya mungkin juga karena daerah-daerah tersebut sudah cukup dikenal pembaca sehingga tidak perlu lagi penggambaran secara detail.

Namun meski Kayla digambarkan mengunjungi tempat-tempat tersebut, kesan utama yang tertangkap adalah ini bukan catatan perjalanan melainkan catatan pelarian. Kayla lari dari Jakarta karena suntuk di kampus dan rumah untuk berlibur ke rumah neneknya di Jogja. Pelarian selanjutnya adalah ke Bromo akibat patah hati, lalu lanjut ke Bali dan beberapa tempat lagi murni karena terdesak oleh perasaan tertentu.

Setelah menyesapi buku ini, saya menyadari bahwa sesungguhnya kita melakukan perjalanan bukan melulu karena tertarik pada suatu tempat namun karena terkadang kita tidak menemukan apa-apa dari kehidupan dan tempat tinggal kita yang sekarang. Sesuatu yang awalnya kita punyai namun hilang atau pudar maknanya. Kalau sudah begini, opsinya adalah bertahan mencari arti yang hilang atau melarikan diri. Kayla nampaknya memilih yang kedua. Lalu apakah Kayla boleh dianggap kalah?

Bagi saya, menyaksikan perjalanan Kayla dalam Labirin Rasa bagaikan menikmati pelarian indera. Mati kutu dalam perasaan yang tertekan, Kayla mengembangkan kelima inderanya ketika tiba di tempat baru untuk melihat, mendengar, membaui, mencecap, dan menyentuh segala sesuatunya. Pergantian hari adalah pengalaman baru dan lokasi baru berarti petualangan selanjutnya sudah menanti. Dinamika suasana ini memaksa Kayla mengembangkan kelima inderanya setiap hari dan mengikat semuanya dalam satu wadah: rasa. Maka nyatalah sekarang bahwa keputusan Kayla untuk lari bukanlah suatu kekalahan, namun justru itulah cara Kayla mengatasi persoalan untuk meraih kemenangannya.

Tentang Buku dan Penulisnya

Saya menyukai gaya penuturan di buku ini yang dinamis dengan alur cerita yang mengalir pas dan memungkinkan saya mengembangkan imajinasi dan penasaran ingin lanjut ke halaman berikutnya. Pada beberapa tempat terus terang saya sampai menyumpah-nyumpah karena adegan yang tersaji begitu menyentak! πŸ˜€ Gaya penulis dalam mendeskripsikan sesuatu juga tidak terkesan sedang menggurui para pembaca yang mungkin belum pernah ke sana.

– Sumber: gilibookings.com

Dalam membaca buku saya cenderung tidak memperhatikan penggambaran perasaan pribadi atau pemikiran filosofis sang tokoh jika saya anggap terlalu berat. Namun buku ini menggunakan istilah-istilah populer yang kadang njeplak sehingga saya tidak bosan menikmati paragraf demi paragraf.

Kalau pun kritik harus disampaikan, saya hendak mengarahkannya pada penerbit dan khususnya editor yang pekerjaannya sangat tidak teliti dalam menyunting ejaan dan tata bahasa serta logika dalam cerita. Lalu ada pula satu-dua tempat yang saya bisa rasakan hilangnya karena penyuntingan yang dilakukan cukup kasar. Saran bagi Wahyu Media: jangan terlalu bersandar pada satu editor yang harus mengerjakan beberapa proyek sekaligus karena terbitan yang dihasilkan tidak akan ada yang maksimal.

Kayla = Eka?

Sang penulis, yang kebetulan pula kawan baik saya, sering mengomel karena disangka bahwa kisah Kayla yang apes dengan beragam cowok itu adalah cerita masa lalu Eka. Saya cuma bisa ngakak mendengarnya. πŸ˜€

Lalu bagaimanakah tanggapan saya sendiri terhadap tudingan pembaca tersebut? Tidak, tapi juga ya. Tidak karena saya cukup mengenal cerita-cerita masa lalu Eka alur novel tentang Kayla sangat berbeda dari kisah-kisah tersebut. Namun saya juga menjawab ya, karena saya mendapati beberapa karakter Kayla hidup dalam penulisnya. Beberapa di antaranya adalah fakta bahwa Gunung Ciremai adalah gunung yang pertama kali didaki oleh Kayla dan Eka. Lalu keduanya juga gamang karena sama-sama menyandang marga Batak namun hampir tidak mengenal adat-istiadat leluhurnya sehingga perlu waktu untuk belajar.

Meski mengenali kesamaan ini, saya masih anggap itu wajar bagi seorang penulis yang baru pertama kali menerbitkan bukunya karena cenderung bersandar pada karakter pribadinya dalam mengembangkan fiksi. Saya berharap di buku kedua dan seterusnya Eka dapat total melepaskan diri dari identitas aslinya dan menciptakan tokoh yang sama sekali baru dengan ide cerita yang jauh berbeda pula.

Akhir kata saya ucapkan selamat menikmati pelarian rasa dan indera bersama Labirin Rasa.

P.S. Aaaaaargh. Hampir lupa. Tadi saya udah ceritain tentang Patar belum sih? Itu lho, pemuda Batak sekaligus pariban yang sering di-bodat-bodat-in sama Kayla? πŸ˜›

30 thoughts on “Labirin Rasa: Pelarian Para Indera

  1. “Dalam membaca buku saya cenderung tidak memperhatikan penggambaran perasaan pribadi atau pemikiran filosofis sang tokoh jika saya anggap terlalu berat.” <— sepakat!

    Jadi penasaran pengen baca. Terbitin versi ebook nya dong. Bisa kerjasama sama Gramediana.com πŸ™‚

    Like

  2. Review yang sangat bagus. Aku suka cara review ala Brad.

    BTW udah punya bukunya, tapi belum baca. Hihihi.. Kayaknya emang bagus banjets yak.
    Mungkin memang bukan sepenuhnya tokok Kayla adalah Eka, tapi bnenar kata Brad, bahwa Eka belum sepenuhnya melepaskan diri dari identitas aslinya dan benar2 menciptakan tokoh yg benar2 baru πŸ˜€

    Like

  3. Wah, berarti saya harus punya buku ini. Berkat review Babang! Hihihihi kakak Ekaaaaaa ini toh buku yang sering wara-wiri di timeline Twitter? Keren keren… baiklah *berencana menitip pada siapa nih* πŸ˜€ hahahah *lirik Ilham Himawan*

    Like

  4. Review yang komplit! Sebenarnya kalau review aku seneng yabg begini. Ada analisa dan opini. Ndak sekedar menuliskan isi buku πŸ™‚
    Btw, gunung pertama yang aku daki itu Gunung Gede πŸ˜€ hihi.
    Dan rlo adalah orang keberapa gitu yang bilang jadi pengen ke Lombok abis baca #LabirinRasa. Haha.

    Thanks for the review, Brad! ^_^

    Like

    1. oh Gunung Gede ya? gapapalah melenceng sedikit, hehehe.
      Ditunggu sekuelnya ya, meski sejujurnya gw lebih menunggu cerita yg sama sekali lain. Buku ketiga, mungkin? πŸ˜‰

      Like

  5. Patar itu Adrian pasti…
    somehow kalo dibaca dari bbrp review ttg labirin yg pernah kuliat kayaknya sih itu kayla bener2 mbak eka… huahaha… even ditulis bs iya dan bisa tidak hahaha πŸ˜›

    Like

    1. Wuahahahahah *summon Eka*

      First of all, Adrian itu orang Jawa. Kalo soal persamaan Eka dan Kayla, hmmmm, coba baca dulu bukunya baru buktikan sendiri πŸ˜‰

      Like

  6. Merasa terzolimi karena hingga kini belum juga punya bukunya mba Eka πŸ˜†
    Jadi penasaran gimana sosok mbak Eka yang “samar2” diceritakan dalam buku itu πŸ˜€
    Mungkin layaknya dua dunia kali ya, ada yang alam nyata ada juga yang alam…
    Ah, sudahlah gak usah dilanjutin yang itu πŸ˜†

    Like

  7. Sumpah serapahnya… “anjir! berani malu wee… eh hahaha nekat… ah, bikin penasaran aja…eh anjir, ckckck… ah emang si dodol…” itu sih umpatan2 aku pas nemu kejutan2 kayak waktu dialog pertama Kalya sama Ruben di kereta.

    Eh, btw, jadi dugaanku kalau Kayla = kak Eka itu ngga 100% bener… yaaaaah salah tebakanku!

    Si Pariban belum diceritain tuh, padahal kan dia termasuk yg bikin aku meleleh…sekali lagi,”anjir, romantis gening!”

    Like

  8. aishh…manisnya kalimat pembukanya πŸ˜€

    iya sebuah perjalanan bukan kemana tujuannya, tapi apa yang terjadi selama proses perjalanan itu *tsah*

    Ini nih buka yang tuteh minta titip sampai merengek-rengek tidak jelas *mulai lebay*, awalnya sulit kutemukan krn sampulnya rada ramai dan tulisan judulnya, jadi perlu teliti mencarinya diantara rak buku.

    Like

Leave a comment