Oh Phnom Penh!

Oh Phnom Penh, selama tiga tahun kita berpisah
Aku merindukanmu dan hatiku merana dari hari ke hari
oleh karena musuh yang memutuskan tali kasihmu dan aku

Kala aku dipaksa meninggalkanmu
Amarah berkobar di hatiku dan aku bersumpah membalas dendam
atas penderitaanmu sebagai tanda kesetiaanku

Phnom Penh, kota kami tercinta
Meski ditempa kesusahan selama tiga tahun
Engkau tetap menjaga sejarah cemerlang keberanian kita dan menjadi lambang jiwa Kampuchea,
kekaisaran yang dahulu pernah jaya

Oh, betapa jiwa bangsa Khmer tetap lestari
dan oh, terilhami kekaisaran Angkor yang megah

Oh, Phnom Penh
Sekarang kita bersama lagi dan engkau terbebas dari kesedihanmu

Oh, Phnom Penh
hati dan jiwa bangsa kita

===

“Oh Phnom Penh Euy”, Keo Chenda, 1979

Kami menjejakkan kami di Phnom Penh pada sore itu (3 Mei) setelah menempuh dua jam penerbangan dari Kuala Lumpur. Setelah urusan imigrasi dan membeli kartu telepon lokal selesai, kami melangkah keluar dari bandar udara mungil namun efisien disambut hangat para supir taksi dan tuktuk yang menawarkan jasa.

“Tuktuk, Sir. Seven dollars to downtown”

Sedikit lebih mahal dari tarif yang pernah saya baca sebelumnya dan saya tahu bisa saja kami mendapat harga yang lebih murah jika kami melangkah keluar gerbang bandara dan mencari tuktuk di pinggir jalan. Namun tanpa berpikir panjang akhirnya sudahlah, kami naik.

Sejarah Phnom Penh berawal dari legenda tahun 1372 ketika seorang biarawati Buddha bernama Lady Penh pergi mengambil air di sungai Mekong dan menemukan sebatang pohon Koki yang terapung-apung di sungai. Diambilnya pohon Koki itu dan di dalamnya ia menemukan empat buah patung Buddha dari perunggu dan satu lagi patung Buddha dari batu. Kemudian Bunda Penh membawa patung-patung beserta batang pohon tersebut ke tepi sungai dan memerintahkan penduduk desa untuk menimbun tanah di samping rumahnya lalu menggunakan batang pohon Koki tersebut guna membangun kuil tempat patung-patung tersebut bersemayam. Kuil tersebut kini bernama Wat Phnom yang terletak di atas bukit buatan manusia setinggi 27 meter dan merupakan titik tertinggi di kota Phnom Penh.

Phnom Penh has been to hell and back. Begitulah catatan yang tertera di sebuah buku dan memang demikian adanya. Kota ini menjadi pusat pemerintahan kekaisaran Khmer sejak 1405 namun sempat ditinggalkan selama 360 tahun oleh karena konflik internal pemerintahan. Phnom Penh lalu menjadi saksi masa keemasan kerajaan Khmer di bawah pimpinan Raja Norodom I, kedatangan bangsa Perancis yang kemudian menjajah Kamboja dan memodernisasi kota di awal abad ke-20, pendudukan Jepang, kemerdekaan Kamboja, sampai pendudukan tentara Khmer Merah dan kejatuhan kota ke tangan Vietnam. Baru 20 tahun terakhir inilah bangsa Kamboja dan kota Phnom Penh mengalami pembangunan tanpa konflik berarti.

Phnom Penh adalah kota terbesar di Kamboja dan berpenduduk sekitar 2 juta jiwa. Kota ini terletak tepat pada pertemuan Sungai Tonle Sap dan Sungai Mekong yang menjadikannya strategis sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Lalu-lintas di jalan-jalan protokol sangat lancar meski kemacetan bisa juga melanda pada jam-jam pulang kantor. Yang saya langsung saksikan perbedaannya dengan Jakarta adalah trotoar-trotoar sepanjang jalan yang rata-rata lebar dan hak pejalan kaki sangat dihormati. Pedagang kaki-lima memang ada namun jumlahnya tidak terlalu banyak dan tidak ada yang berani berdagang sampai ke badan jalan sehingga cukup teratur. Sepeda motor merajai jalanan dan debu beterbangan sepanjang hari akibat cuaca kering. Bersiaplah dengan kacamata hitam dan masker jika hendak mengelilingi kota dengan berjalan kaki.

Titik pertemuan dua sungai besar: Tonle Sap di latar depan dan Mekong di latar belakang

Sekarang sisi buruknya. Pertama, lalu-lintas di Kamboja berjalan di sisi kanan sehingga menyulitkan saya yang hendak menyeberang jalan karena kurang awas terhadap kendaraan dari sisi kiri. Lalu blok-blok yang tidak terlalu luas menimbulkan banyaknya persimpangan jalan yang umumnya tidak dilengkapi lampu lalu-lintas. Urusan menyeberang jalan ini kadang menjadi persoalan hidup-mati ketika hendak bergerak ke seberang persimpangan namun harus menyeberangi empat lajur kendaraan ramai. Akhirnya saya pun cuek layaknya orang Jakarta: maju dengan berani mati sambil melambaikan tangan tanda minta kendaraan berhenti. Untunglah warga Phnom Penh nampaknya sering menghadapi rintangan di jalan sehingga cepat memperlambat laju kendaraan guna memberi jalan kepada warga pejalan kaki, termasuk turis bodoh seperti saya. Xixixixi.

Royal Palace

Istana Kerajaan ini baru bangun sekitar tahun 1860-an oleh Raja Norodom I, setelah sebelumnya pusat pemerintahan Kaisar Khmer berpindah-pindah selama hampir 500 tahun. Setelah mengalami beberapa kali renovasi, Royal Palace kini tampil megah dengan arsitektur khas bangsa Khmer namun dengan struktur bangunan modern layaknya istana-istana di Eropa. Selain berfungsi sebagai kediaman Raja, setengah dari kompleks istana ini terbuka bagi publik setiap hari dengan masa kunjungan pagi dan siang. Bersiaplah terpukau oleh arsitekturnya yang megah dan taman-tamannya yang luas dan cantik.

Sebelum Anda memasuki Royal Palace, pastikan Anda berpakaian sopan. Sandal jepit dan baju bertali dengan bahu terbuka sudah jelas dilarang masuk. Namun celana pendek pria yang hampir menyentuh lutut masih diperbolehkan.

Saya biarkan beberapa gambar bercerita:

Throne Hall, tempat raja menerima para pembesar dan menjamu tamu. Jangan pedulikan Spongebob yang berdiri di depannya ya!
Moonlight Pavillion yang terletak di pagar depan istana. Berfungsi sebagai pentas tarian klasik Khmer.
Silver Pagoda, tempat peribadatan keluarga kerajaan.
Lapangan seberang istana yang cantik dengan burung-burung merpati
Warga Phnom Penh sedang berdoa di kuil kecil di seberang istana

Psar Thmei / Central Market

Salah satu daya tarik lainnya di ibukota Kamboja ini adalah Psar Thmei alias Central Market. Sesuai namanya, pasar ini terletak di pusat kota lama dan tidak jauh dari atraksi wisata utama seperti Royal Palace dan National Museum. Dibangun pada tahun 1937 pada masa penjajahan Perancis, gedung bergaya Art Deco ini memiliki empat sisi seperti palang dan tampil cantik dengan baluran cat kuning setelah direnovasi tahun 2009-2011. Halaman depannya tertata bersih dengan ruang yang lebar bagi pejalan kaki dan calon pembeli. Sedangkan ruang dalamnya luas meski ventilasi udara dirasa kurang terbuka sehingga hawa di dalam cukup panas dan pengap. Mungkin orang-orang Perancis itu kurang memperhitungkan faktor iklim ketika membangunnya ya!

Apa saja yang dijual? Think: Mangga Dua! Pasar yang dulu pernah menyandang predikat terbesar se-Asia ini menjajakan beragam produk kebutuhan warga lokal dan turis, utamanya tekstil, kerajinan tangan, dan elektronik. Sayangnya jam buka pasar ini cukup singkat, dari jam 8 pagi sampai 5 petang saja dan waktu itu saya tiba di sana menjelang tutup. Namun barang-barang yang dijual di sini cukup menggoda dan saya sempat membeli sehelai krama, yaitu syal khas Kamboja seharga 2 dollar. Ya, prinsip tawar-menawar berlaku di sini namun kesan saya para pedagang di situ cukup santun dan tidak bermaksud menipu pembeli. Tawar-menawar berlangsung sangat alot namun disertai senyum manis para penjual. Mereka cukup menguasai Bahasa Inggris dan Mandarin (plus beberapa kata Bahasa Melayu) untuk berdagang dan kalkulator selalu siap di tangan untuk menawar atau mengonversi Dollar ke Riel, mata uang Kamboja. Anda harus mengunjungi pasar ini!

Jalan masuk Psar Thmei yang ramai
Ruang dalam Psar Thmei

Oh Phnom Penh! Kota yang ramai dan meriah dengan segala karakternya yang bersahaja. Terlepas dari lalu-lintasnya yang semrawut dan penampilan kota yang berubah kotor dan berdebu setelah kita beranjak ke daerah pinggiran, Phnom Penh menawarkan sejuta keramahan para warganya yang mencari-cari mata kita kala mengajak berbicara meski kemudian obrolan berhenti di seutas senyuman manis saja akibat kendala bahasa. Beberapa kali saya dikira berasal dari Malaysia (nampaknya turis Malaysia banyak berkunjung ke Kamboja), namun reaksi mereka langsung berubah cerah begitu saya menjawab dari Indonesia. Dari beberapa artikel yang saya baca, Indonesia cukup dihormati oleh warga Kamboja terutama dalam kapasitasnya sebagai ketua ASEAN tahun lalu. Dan bisa jadi pula karena pertalian sejarah yang pernah terjalin semasa Sriwijaya dan Majapahit dulu.

Sekilas kita memandang, Phnom Penh tampak damai dan tenteram. Namun sibaklah bukti-bukti sejarahnya, Anda akan menemukan “neraka dunia”. Lirik lagu ciptaan Keo Chenda di atas menggambarkan suasana Phnom Penh pasca pembebasan oleh Tentara Vietnam. Selama tiga tahun (1975-1978), Phnom Penh menjadi saksi bisu pendudukan dan kekejaman tentara Khmer Merah yang mengosongkan kota dan membunuh hingga jutaan warga. Tentang itu, nantikan tulisan saya berikutnya.

===

Informasi Umum

Transportasi

Phnom Penh dapat dicapai dengan bis dari Ho Chi Minh, Vietnam (6 jam, harga tiket mulai USD 10), dan Siem Reap, Kamboja (6-7 jam, harga tiket mulai USD 6). Tersedia layanan bis dari Bangkok dan Laos dengan lama perjalanan yang bisa mencapai sehari-semalam dengan harga tiket mulai USD 25. Layanan bis antarkota-antarpropinsi terluas dan termurah adalah Sorya Transport. Terminal utamanya terletak hanya 1 blok di depan Central Market.

Belum tersedia penerbangan langsung dari Jakarta ke Phnom Penh. Untuk ke mari, orang Indonesia dapat terbang via Singapura dan Kuala Lumpur menggunakan Air Asia, Malaysia Airlines, Singapore Airlines-Silk Air, dan Jetstar.

Untuk berkeliling kota Phnom Penh, tersedia tuktuk dengan tarif jauh-dekat USD 2 atau USD 3 jika jaraknya cukup jauh atau malam hari. Tarif tuktuk dari Bandar Udara Phnom Penh ke pusat kota adalah USD 7. PERINGATAN: pemerintah kota Phnom Penh sedang merencanakan menghapus tuktuk pelan-pelan dari kota dan menggantikannya dengan taksi. Informasi tarif tuktuk di atas mungkin sudah tidak berlaku lagi 2-3 tahun mendatang.

Penginapan

Puluhan penginapan murah tersebar di Phnom Penh, utamanya di sisi Sungai Tonle Sap dekat National Museum di mana terdapat banyak sekali bar dan tempat hiburan bagi turis. Kisaran harga kamar bervariasi mulai dari USD 5 per malam. Saya sendiri menginap di Sunday Guesthouse (97, Street 141, Tel: 023-211623) yang terletak agak ke tengah dan berjarak 2 blok dari Psar O’Russei, sebuah pasar lainnya di Phnom Penh. Harga per kamar ada di kisaran USD 8-15.

Mata Uang

Mata uang resmi Kamboja adalah riel dengan kurs di kisaran 4,012 riel per USD 1. Perbandingan riel : rupiah = 1 : 2.3. Namun biar tidak pusing, para pedagang selalu menghitung 1 dollar = 4000 riel dan biar saya tidak pusing, saya selalu menghitung 1 riel = 2 rupiah. Jadi setiap berbelanja, kalikan saja 2 dan kita akan dapat membayangkan nilai rupiahnya.

Dollar Amerika adalah mata uang lainnya yang berlaku luas. ATM selalu akan mengeluarkan uang dollar dan penawaran harga apapun selalu dimulai dengan dollar. Supermarket menampilkan kedua kurs di mesin kasir dan struk belanja. Namun jangan kuatir, kita dapat memilih membayar dengan menggunakan riel. Saya selalu menawar dengan riel dan tidak ada masalah dan pembelian kecil-kecil lainnya hampir selalu dengan mata uang lokal dengan kurs tetap 4000 riel per 1 dollar (kenyataan di bulan Mei 2012).

Biaya-biaya lain

Tiket masuk Royal Palace: 25,000 riel

Makan siang/malam: mulai dari USD 2. Dengan harga USD 3-4 Anda sudah mendapatkan makan malam lengkap yang enak.

Makan pagi: bila Anda makan pagi di pinggir jalan atau pasar dengan menu sederhana, cukup membayar 5000 riel.

Visa

Sila klik tulisan sebelumnya di sini.

Akses Internet

Tarif warnet berkisar 2000 riel per jam (Rp 4000). Namun penginapan murah dan bar-bar serta minimarket banyak yang menyediakan layanan WiFi gratis.

Telepon

SIM Card lokal tersedia dengan harga mulai dari USD 7 (sudah termasuk pulsa USD 5). Voucher isi ulang tersedia di banyak konter pinggir jalan mulai dari USD 1. Saya merekomendasikan kartu Hello (Axiata) yang memungkinkan Anda mengirim SMS gratis ke nomor XL di Indonesia.

Suratkabar, televisi & Blog

Suratkabar berbahasa Inggris yang utama di Kamboja ada 2, yakni Cambodia Daily dan Phnom Penh Post. Saluran televisi ada banyak namun saya belum melihat ada berita berbahasa Inggris. Untuk informasi sekilas mengenai internet dan blog di Kamboja, sila klik artikel Cambodia Daily yang dikutip oleh Kounila, seorang blogger Kamboja, di sini.

Tempat-tempat makanan

Tergantung kondisi keuangan, ada banyak pilihan tempat makan di restoran atau warung pinggir jalan dengan kisaran harga mulai dari USD 2. Namun bagi Anda yang Muslim harus waspada: hampir semua tempat makanan memajang menu daging babi. Ada pula pilihan daging sapi dan ayam, namun bila Anda sangat ketat memperhatikan proses memasak, sebaiknya dihindari. Asumsikan saja semua tempat makan tidak halal agar aman. Sayang sekali saya tidak sempat meriset pilihan restoran Muslim di Phnom Penh.

Namun di Phnom Penh ada banyak toko roti & kue yang enak dan jenisnya bervariasi. Harga mulai dari USD 1.

Toilet Umum

Kondisinya tidak selalu bersih meski tidak ada yang sampai berbau. Cukup manusiawi. Pastikan Anda membawa peralatan higienis sendiri.

30 thoughts on “Oh Phnom Penh!

  1. Opa jalan sendiri atau barengan sama sesama turis asing ketemu di sana? Penasaran aja, soalnya kok lumayan banyak foto narsisnya. Biasanya kalo jalan sendiri, foto2 yang mirip spongebob-nya itu ndak ada..

    Like

  2. wah seru juga Om
    puisi pembukanya keren,

    Dan tentu saja ingin juga bisa ke sana, melancong, Hehe
    tulisannya lumayan panjang, tapi sangat berisi, malah kalau bisa dibilang lengkap deh.
    dari transportasi hingga urusan toilet pun ditulis,

    salut Om..

    sukses ya…amin

    Like

  3. Kenapa ya saya tidak begitu tertarik mengunjungi negara-negara Asia Tenggara, jika pun ada, mungkin hanya Thailand, tapi itupun tidak begitu terasa “pingin”.

    Like

  4. selanjutnya mau keliling mana lagi, kak? ajak2 dong, biar saya bisa ngumpulin duit dulu. India yuk India.

    Ruang dalam pasar itu terinspirasi jam gadang di Padang ya, kak? #yakali

    Like

  5. Kisah perjalanannya sungguh menarik untuk di baca dan membuat saya Jadi pengen untuk berkunjung ke phnom penh, tapi kpn y? he.he.
    Oh ya kapan berkunjung ke Timor Leste nieh..

    paul

    Like

    1. biaya liburan ke TL masih cukup mahal, mas bro. mudah2an ada tiket murah dan tersedia penginapan backpacker. hehe

      Like

  6. Bru tau kalau namanya itu diambil dari seorang biarawati. Wow
    Btw gambar2nya bagus, Brad. Tapi sayang, kenapa mesti ada elunya? :mrgreen:
    *ditujes2*

    Like

    1. itu bukan biarawati Katolik ya, tapi biarawati Buddha. hehehe.
      justru gue jadi pencerah gambar2 itu bukan?! *tujes Eka*

      Like

  7. Royal Palace sungguh mempesona. Tulisan mantap bro.
    Phnom Penh ada dalam impianku, semoga loa berlaku.
    *note: orang Indonesia banyak mengerjakan pekerjaan telekomunikasi disana, lho…Beberapa teman saya masih disana.

    Like

Leave a comment