Melacak Nenek Moyang

Hari ini saya membuka-buka kembali dokumen lama milik keluarga dan menemukan beberapa lembar surat kependudukan milik Opa dan Oma (kakek-nenek) dari pihak ayah yang diwariskan pada saya sewaktu Oma wafat pada tahun 1998 silam. Sebenarnya harta peninggalan Opa-Oma tidaklah seberapa dan sudah dibagi-bagikan pada anak-anak mereka. Namun untuk alasan sentimental saya diperbolehkan menyimpan lembar-lembar surat kependudukan yang menjadi saksi bahwa Opa dan Oma pernah hidup di dunia. Sejenak saya terpekur membaca surat-surat tersebut dan pelan-pelan mengartikan kalimat-kalimat Bahasa Belanda dan Melayu Tinggi di dalamnya. Ah, daripada nanti rusak karena dimakan zaman, lebih baik saya scan saja surat-surat tersebut.

Yang menarik, dari kumpulan dokumen tersebut saya dapat membaca nama-nama eyang buyut sampai tiga generasi di atas.

Opa

Surat Baptis, Opa

Opa saya bernama Eliza Josef Marlissa, lahir di Ambon, 24 September 1910 dan merupakan anak pertama dari pasangan Johan Marlissa dan Henderina Latumaerissa. Opa mempunyai beberapa orang adik dan kesemuanya pindah ke Surabaya ketika Opa berumur 18 tahun. Sayangnya ibu kandungnya meninggal tak lama setelah Opa lahir sehingga kemudian mereka diasuh oleh ibu tiri. Nampaknya ibu tiri itu berlaku kejam sehingga Opa mengalami trauma dan bersumpah tidak ingin lagi pulang ke Ambon sampai akhir hayatnya. Inilah salah satu alasan mengapa kami sekeluarga disebut Ambon Kaart. Pendidikan sekolah ditempuhnya hanya sampai lulus HIS (Hollands-Inlandse School) / setara SD untuk anak-anak pribumi. Namun level pendidikan sebenarnya jauh lebih tinggi daripada SD zaman sekarang.

Semasa hidupnya Opa pernah mengabdi sebagai tentara KNIL dan bekerja di Perusahaan Timah Belanda sampai pensiun pada tahun 1968. Yang saya kenang dari Opa adalah karakternya yang lembut pada keluarga namun keras dalam pendirian hidup sehingga tidak pernah tergiur akan tawaran jasa dengan imbalan uang (a.k.a. korupsi). Hidupnya di Bogor cukup sederhana dengan mengandalkan uang pensiun dari PT. Timah. Pada tahun 1950-an, ada tawaran dari pemerintah Belanda untuk mengangkut warga Maluku dan eks-tentara KNIL ke Belanda, namun Opa memilih tetap tinggal di tanah air. Ah, saya akui keputusan tinggal itu sempat disesalinya. Namun jalan Tuhan memang sudah demikian. Opa meninggal dunia di Bogor pada tanggal 30 Januari 1989.

Oma

Surat Kenal Lahir, Oma

Oma bernama Minti Adelina Pikal, lahir di Jambi pada tanggal 22 Mei 1918, anak dari Domingus Pikal dan Feronika Malessy. Oma berasal dari keluarga besar (saya lupa berapa jumlah saudara-saudarinya) dan juga Ambon Kaart; tidak pernah menginjakkan kaki di Ambon sepanjang hidupnya. Oma pernah mengecap pendidikan di ELS (Europese Lagere School) / setara SD untuk anak-anak keturunan Eropa; sekolah yang hanya boleh dimasuki warga Belanda atau Cina/Pribumi dengan status khusus. Sayangnya Oma hanya duduk di sekolah itu sampai kelas 3.

Setelah Oma beranjak remaja, keluarga Pikal meninggalkan Sumatera dan pindah ke Surabaya di mana Opa dan Oma bertemu dan menikah. Sepanjang hidupnya Oma mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga yang setia. Keluarga ini dikaruniai sembilan orang putra-putri termasuk ayah saya. Yang saya kenang dari Oma adalah karakter keibuan yang dalam serta kesukaannya menceritakan dongeng sebelum tidur. Cerita kanak-kanak sampai legenda rakyat Ambon dikuasainya; meski saya curiga sebagian ceritanya diciptakan langsung pada saat saya memintanya. 😀 Oma wafat di Bogor pada 9 Juli 1998.

***

Dari surat-surat ini saya dapat membaca sekilas catatan sejarah keluarga sampai tiga generasi ke atas dari pihak ayah. Sedangkan keluarga dari pihak Ibu belum saya telusuri; kesulitannya adalah keluarga Ibu yang memegang catatan itu sehingga perlu saya tanya lebih lanjut. FYI, ibu berdarah asli Palembang sehingga saya adalah keturunan dua suku masing-masing di ujung barat dan timur Indonesia. Namun garis keturunan paternalistik di Indonesia kadang membuat saya gamang dengan status Ambon Kaart. Sebagian (kecil) orang Maluku mungkin memandang aneh keluarga kami karena sudah kehilangan adat budaya Ambon. Meski demikian saya tetap bersyukur karena keluarga kami terbuka akan perbedaan budaya. Sebagian dari kami menikah dengan orang Jawa, Batak, Manado, Cina, Melayu, dan tidak pernah ada benturan budaya di keluarga masing-masing. Belakangan saya menyadari itulah kelebihan kami yang cair dalam menyesuaikan diri. Ah, daripada pusing memikirkan adat-istiadat, lebih baik saya memegang identitas yang sudah jelas dan pasti: saya orang Indonesia. 😀

Satu hal yang saya sayangkan adalah tidak adanya foto Opa dan Oma. Nampaknya saya mesti mencari tahu ke keluarga-keluarga lainnya.

Oh, by the way, jika ada di antara Anda yang bermarga Marlissa, Pikal, Latumaerissa, dan Malessy: bisa jadi kita bertalian darah. 😀

47 thoughts on “Melacak Nenek Moyang

  1. enak ya ngurutinnya, kata kuncinya dari marga..
    lah saya yang wong banyumas, nama-namanya tanpa marga susah ngurutinnya om..

    untung tiap lebaran pada ngumpul keluarga jadi bisa tau saudara2..

    engg Pikal..? kalo petinju Elias Pikal itu om..??

    Like

    1. hehehe, susah sih kalo gak ada marga. bisa aja kan udah naksir berat sama cewek eh batal nikah krn ternyata sodara. *krik krik*
      Elyas Pical memang ada hubungan sodara sama Oma saya. tapi jauh

      Like

  2. waaaa… ombrad, keren banget silsilahnya..
    jadi inget, mim malah baru tau silsilah keluarga ibu 2 tahun yg lalu ketika dipaksa pulang ke amuntai, kalsel hehehe..

    Like

  3. melihat dokumen seperti itu, seperti melihat dokumen sejarah saja mas..
    bisa digunakan untuk mencari saudara juga ya mas..

    btw,, mas mau pesen kaos blogger indonesia ndak? sekalian bisa untuk promosi offline.. hehe :D.. cek blogku ya..

    Like

  4. Kesimpulannya oke Mas, identitas yang paling jelas adalah kita orang Indonesia. Tapi saya salut, sampean peduli dengan sejarah keluarga. Karena kadang itu sangat penting Mas. Saya juga pengen seperti itu, sayang tidak ada data tertulis;

    Like

    1. iya. tapi cuma kebetulan kalo itu. beberapa marga Ambon memang pemberian orang Eropa. Pikal salah satunya (asalnya Picard, sama dengan Captain Picard dr USS Enterprise) 😀

      Like

  5. *sedih* ketika saya pulang kampung 2005, saya bikin perjanjian sama BapaTua (abang bapak), alm. berjanji menemani saya menapak tilas keberadaan leluhur yang tanahnya tak sekalipun kami injak. Apo indak dikato, seminggu setelah perjanjian itu, peristiwa pesawat Mandala yang jatuh di kota Medan merenggut nyawa BapaTua sehingga cita2 mendokumentasikan ulang silsilah keluarga gagal total. Padahal saya cuma pulang sebentar ke Jakarta untuk mengambil semua perlengkapan dokumentasi yang tidak saya bawa waktu mudik. Hikss….

    Beruntunglah dirimu om Brad, ada bukti otentik tertulis seperti itu, sementara awak ini …. hiks …*gegerungan lebay*

    Like

  6. waa keren..!!
    walaupun jauh dari tanah Ambon ternyata masih bisa melacak asal-muasal keturunannya.

    itulah enaknya juga kalau pakai marga ya ? melacaknya relatif lebih gampang dan jadi bisa ketahuan juga, ini sodara apa bukan ? (dalam konteks flirting..:D )

    Like

  7. opung tidak punya dokumen seperti itu. malahan opungpun tak tahu tanggal lahirnya.
    untung saja alm. kakak papaku punya ingatan sangat kuat, dengan bantuan beliau dibuatlah silsilah keluarga kami dari pihak papa, dirunut sampai 5 generasi di atasku. silsilah dalam bahasa daerah kami disebut tarombo

    tarombo dari keluarga mamapun ada

    Like

  8. Sahabat, kau benar2 serius megkaji dari mana kau berasal
    Berbeda suku tapi kita satu, Indoesia.

    Saya sendiri banyak yang menyangka saya etnis tionghoa, tapi saya tidak tahu pasti apakah ada darah tionghoa di keluarga kami, meski ibu berkulit putih dan ibunya nenek juga sipit. Tak masalah bagi saya, yg penting saya Indonesia 🙂

    Like

  9. Hebat ya, oma opa-nya om brad lahir tahun segitu tapi punya surat kelahiran. embah kakung dan putri saya aja di jawa lahirnya tahun 1920 an nggak punya surat lahir lhoo *apa mungkin karena mereka2 kaum proletar dan marjinal di pucuk gunung ya hehehehehehe- i luv u mbah-mbahku 😀

    hmmmm…aku jadi tau asal-usul nama marlissa di belakang nama bradley. sama kaya om mamung, keluarga ku juga nggak ada marganya..walhasil nyebarrrrr deh kemana-mana silsilahnya hahaha

    kalo gitu kita sodara dong om brad, sodara setanah air tapi kekekekeke

    Like

      1. hai,. aq tidak sengaja menemukan artikel ini. aq ga tw mw panggil. om, mas, kakak atw siapa ( maaf klu kurang sopan ) aq juga marga Pical. ( jelasnya Pical itu Ejaannya di bca jadi Pikal, Asal Pulau saparua lebih tepatnya lagi Desa Ullath ).

        Nama FB’q ( Mark Stark ) or Captainnara@rocketmail.com

        di tunggu ya,. salam kenal n salam persaudaraan.

        Like

  10. sama dong aku’ jg bermarga MARLISSA’ lahir di PAPUA’ dri persilangan 2 suku yg berbeda tpi bedanya aku paham adat & istiadat orang maluku’ mungkin gak’ ya kita punya hubungan keluarga……?

    Like

  11. haii om…salam kenal, lg browsing sejarah marga eehh nemu blog ini..
    saya WELVI LATUMAERISSA, opa dari Ulath (alm.ELVINUS LATUMAERISSA) salam kenal om… Tuhan Yesus berkati. 🙂

    Like

      1. Ini ada jejak saudaramu di kabupaten bungo provinsi jambi, tanah yang dijual kakekmu lagi sengketa, liat namanya dia ada tanah beberapa hektar disini, kalo boleh tau apa kerja kakekmu dlu? Bisa punya tanah di zaman Belanda di dekat tanah moyang saya?

        Like

        1. Halo. Terima kasih infonya. Iya kakek buyut saya dulu memang punya tanah di sana. Tapi entah apa dulu kerjanya, tapi kemungkinan pekerjaan yg berkaitan dengan aktivitas perkebunan Belanda di sana.

          Like

  12. Halo bung, salam kenal bta Ebby Marlissa, anak dr Benny Marlissa …

    Sungguh sangat menyejukan hati membaca artikel bung, terima kasih atas artikel yg bung buat, cukup memberikan penjelasan bagi sya secara pribadi yg sangat ini tahu sejarah marga papa saya …

    Semoga basudara samua diberikan kesehatan, kesuksesan dan selalu dalam lindungan Nya ….

    Regards

    Ebby Marlissa

    Like

Leave a comment