Belajar Tenun Ikat di Singapura

Heh? Tenun ikat bukannya kain asli Indonesia? Mengapa belajarnya mesti di Singapura?

Nyatanya itulah yang saya pelajari kala berkunjung ke Asian Civilisations Museum di Singapura beberapa waktu lalu. Di sini dipamerkan koleksi-koleksi bersejarah, baik asli maupun replika, yang berasal dari berbagai wilayah penting di Asia sekaligus memaparkan betapa tingginya peradaban masa lalu dan masa kini di benua terbesar di dunia ini.

Asian Civilisations Museum, Singapura

Ruang pameran museum ini terbagi menjadi delapan buah galeri. Yang pertama dikhususkan pada sejarah Sungai Singapura yang telah menarik perhatian raja-raja Melayu pada zaman dahulu sebelum kemudian menjadi wilayah kekuasaan Inggris di bawah komando Sir Thomas Stamford Raffles yang brilyan mentransformasi Pulau Temasek menjadi pelabuhan terbesar di kawasan Asia. Sedangkan galeri-galeri selanjutnya menampilkan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, budaya suku-suku terasing di semenanjung dan kepulauan Nusantara, Cina, India, dan peradaban Islam di Asia Barat.

Museum ini terletak di wilayah kota lama tepat di tepi Sungai Singapura yang bersejarah dan daerah sekelilingnya dipenuhi rumah-rumah toko Pecinan dan kawasan bisnis yang kesemuanya berpadu asri. Tak jauh dari situ berdiri replika patung Merlion yang terus memancarkan air ke laut. Patung aslinya sendiri yang berukuran jauh lebih besar telah dipindahkan ke Pulau Sentosa.

Kembali ke Museum Peradaban Asia, saya terpukau menyaksikan betapa detailnya kurasi tentang tiap benda yang dipamerkan dan betapa tiap benda dipamerkan dengan pencahayaan yang baik sehingga aura kemegahannya memancar. Layaknya di Muzium Negara Malaysia, koleksi-koleksi bernilai tinggi dari Indonesia juga dipamerkan dengan sangat baik dan pameran tematiknya seolah membawa kita masuk lebih dalam ke alam suku-suku terpencil di Indonesia dan beberapa kerajaan besar yang pernah berkuasa di sini.

Salah satu benda yang menarik perhatian saya adalah Lawo Butu, tenun ikat khas Flores yang dipamerkan lengkap dengan deskripsi yang sangat detail. Lawo Butu adalah kain tenun ikat yang dipakai oleh kaum perempuan di Ngadha, Flores, pada upacara adat penting seperti misalnya penyembahan pohon yang baru ditebang yang kayunya akan dijadikan bahan bangunan rumah adat. Kain pesanan ini hanya dipakai oleh orang-orang kaya dan tiap helai kainnya diberi nama sesuai pemesan, sehingga kain ini juga dijuluki Lawo Ngaza atau ‘kain bernama’.

Di ruang-ruang lainnya terdapat kurasi yang bersifat umum namun dapat menjadi pembelajaran yang baik untuk yang sangat awam tentang Indonesia, misalnya penggambaran suku Batak, Nias, Jawa, dan Toraja. Terdapat ruang besar dengan satu set peralatan gamelan lengkap yang seingat saya pernah dimainkan oleh Presiden George W. Bush ketika berkunjung ke Singapura pada dekade silam. Di belakangnya terdapat area pameran rumah adat Tongkonan dari Toraja yang begitu detail dengan penjelasan visual di beberapa bagian foto.

Gambar selanjutnya sila disimak melalui slideshow berikut:

Asian Civilizations Museum Slideshow: @indobrad’s trip to Singapura was created with TripAdvisor TripWow!

Terus terang saya iri dengan museum ini. Betapa tidak, koleksi Indonesia yang sebenarnya sedikit mampu ditampilkan dengan megah dan diapresiasi baik oleh kurator maupun pengunjung. Sedangkan museum-museum kita? Padat oleh koleksi namun penempatannya sederhana di ruang yang berbau apek.

Kunjungan kali ini mengajarkan saya bahwa betapa bangsa lain sangat menghargai karya bangsa kita sendiri dan menampilkannya dengan jujur dan hormat. Sudah saatnya kita sendiri mengelola museum dengan lebih profesional.

Salah satu sudut Kampong Glam dengan latar belakang Masjid Sultan, Singapura

Nantikan cerita-cerita berikutnya dari Singapura. 😀

8 thoughts on “Belajar Tenun Ikat di Singapura

  1. Aku pernah diajak oleh Abang ke National Library Singapore. Di sana ada satu row yang isinya semua tentang Indonesia, mulai dari buku, film, dan ilustrasi di row itu pun bernuansa Indonesia.

    Semua tertata dengan rapi. Jadi kalau suatu hari nanti orang2 Singapur itu lebih fasih dalam menjelaskan tentang Indonesia, jangan kaget. Referensi mereka rasa-rasanya cukup lengkap.

    Like

    1. Jangankan National Library. Di Mustafa aja film2 Indonesia segambreng kok yg dijual. Sampe film 70an juga ada. Hehe

      Like

  2. Ya mereka punya modal dan tahu cara bagaimana mengemas om, miris lihat museum2 yg ada di Indonesia sepi pengunjung dan tertata seadanya. Tapi beberapa kali ke Singapura saya belum sempet masuk ke museumnya hahha

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s