Namanya Karim Raslan. Ia berasal dari Malaysia namun telah lama pula menghabiskan waktunya berkeliling Indonesia dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Karim Raslan dikenal sebagai jurnalis senior di kawasan Asia Pasifik dan telah menelurkan 3 seri buku Ceritalah Malaysia. Namun perkenalan Karim dengan Indonesia yang dimulai sejak tahun 1995 nampaknya membekas dalam di hatinya sehingga tahun ini ia mempublikasikan buku terbarunya: Ceritalah Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan esainya tentang Indonesia yang semuanya ditulis pasca reformasi dan tersebar di berbagai media berbahasa Melayu, Inggris, dan Cina di kawasan Asia Tenggara. Di tengah pasang-surut hubungan Indonesia-Malaysia yang tak jarang menyulut ketegangan di level horizontal, buku ini bagaikan menyiram air segar ke bara api. Saya terhanyut membaca tulisan-tulisan si ‘Tukang Cerita’ ini. Berikut beberapa rangkuman ceritanya.
1. Jendela
Pak Munir adalah seorang pelukis dari kelompok seniman Jendela yang berasal dari Sumatra Barat. Pada tahun 1958 ia masih bekerja sebagai sopir yang sering bolak-balik antara Padang dan Lintau ketika pemberontakan PRRI (beliau menyebutnya “Peri-Peri”) pecah. Tentara yang pro-komunis mengebom Padang dan kemudian menjadikan provinsi Sumatra Barat sebagai daerah operasi militer selama bertahun-tahun dan meneror warga setempat yang sebagian besar simpatisan Masyumi. Masa-masa kelam itu berlanjut sampai akhirnya Soekarno jatuh dan masyarakat bangkit melawan PKI. Trauma penindasan begitu dalam melukai hati para seniman kelompok Jendela sehingga akhirnya mereka pindah ke Jawa.
Setelah menetap di Jawa, melanjutkan berkreasi seni dan menurunkan darah seninya kepada anak-anak mereka, trauma itu masih membekas dan akhirnya membeku menjadi semacam perasaan anti politik yang membatu. Alih-alih merefleksikan pergumulan zaman itu ke dalam seni, mereka malah mengurung diri di studio dan menciptakan karya yang jauh dari konteks sosial politik. Sekilas kita bisa menghakimi bahwa itu adalah sikap apolitis, namun jika kita renungkan lagi, demonstrasi keresahan dapat saja diekspresikan dengan berbagai cara selain teriak-teriak di jalan. Sikap apolitis kelompok Jendela tersebut bisa jadi merupakan pernyataan politis yang kuat meski tanpa komunikasi verbal.
2. Bekerja Untuk Masa Depan
Lim Oo Yen adalah seorang pengusaha Tionghoa kelahiran Banjarmasin yang tinggal di Surabaya. Kepada Karim, Pak Lim menceritakan kegelisahannya sebagai warga Tionghoa yang tidak nyaman kala dulu dipanggil ‘Cina’ dan mengelak ketika ditanya siapa presiden pilihan masyarakat Tionghoa. Pak Lim mungkin saja mewakili keengganan yang umumnya tampak di kalangan masyarakat Tionghoa terhadap dunia politik Indonesia. Sebuah generasi budaya yang hilang akar Tionghoa-nya juga mendapat perhatian Pak Lim. Namun Pak Lim bukan orang yang tidak peduli sesama. Ia menerjemahkan pemikirannya bukan dengan perdebatan politik melainkan dengan menggagas pembangunan sekolah bahasa Mandarin dan masjid. Caranya yang apik dalam merangkul komunitas yang berbeda mampu meluruhkan stigma negatif terhadap masyarakat Tionghoa, termasuk pandangan supir Karim. Pak Lim adalah contoh pemimpin bersahaja yang tidak bergulat dengan kata-kata melainkan kerja.
***
Saya berhenti menceritakan isi bukunya sampai di sini. Kumpulan esainya yang lain menarik dengan caranya sendiri sehingga lebih baik bila Anda meluangkan waktu membaca bukunya langsung. Ada tiga hal yang mencuat di sini. Pertama, identitas Karim Raslan sebagai orang Malaysia blasteran Inggris yang mengaku tidak merasa asing ketika berada di Indonesia. Negeri ini telah pula menolongnya menemukan akar Melayu-nya sendiri setelah lama bermukim di negara orang dan tidak juga menemukannya di Malaysia yang rakyatnya lebih suka berbahasa Inggris. Kedua, Karim melepaskan kacamata budaya dan filter pemikirannya ketika berhadapan dengan masyarakat Indonesia; ia berjuang memahami pemikiran orang Indonesia apa adanya dan turut tertawa dan menangis bersama cerita yang ia dengar. Tidak terlihat sama sekali usahanya menggurui pembaca dan membanding-bandingkan Indonesia dengan Malaysia. Ketiga, meski semua tulisan yang ada di buku tersebut adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, Karim terasa sangat eloquent dalam mengeksplorasi bahasa dan mengubah kata demi kata menjadi “bercahaya.” Acungan jempol juga patut diajukan pada penerjemah KPG yang merangkai ulang tulisan Karim dalam bahasa yang sangat wajar dan mengalir.
Tentu saja hubungan Indonesia-Malaysia disebut-sebut. Sejarah perjuangan Malaysia dan Indonesia melawan kaum penjajah telah dijabarkan sejak awal oleh editor buku ini, pun satu kumpulan khusus esai yang diberi nama ‘Hubungan Dua Negeri.’ Karim memandang hubungan ini dalam kacamata yang bijak. Bagaikan dua orang berdiri berdekatan yang kemungkinan satunya akan menginjak kaki yang lain, demikianlah Karim memandang hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Satu pandangan yang turut saya amini adalah meski hubungan politik kedua negara tampak carut-marut oleh masalah batas darat-laut, TKI, sampai Manohara, bukan berarti kita serta-merta menutup pintu bagi hubungan antar kedua rakyat bertetangga. Alih-alih fokus pada perbedaan, Karim justru mencatat kemiripan karakter kita dalam menghargai kesusastraan, seni, budaya, dan agama. Kesamaan nilai-nilai ini yang membuat kita sebenarnya jauh lebih dekat daripada yang kita kira.
===
Sumber gambar:
Sampul depan buku oleh Ramasurya (diambil dari ambarrukmo.com)
“Aluminium” karya Yusra Martunus, terdapat di halaman 113 buku Ceritalah Indonesia (diambil dari thestar.com.my)
wah..wah..kayaknya bukunya menarik nih.
saya belum pernah baca karya beliau sebelumnya, tapi sebuah esai tentang Indonesia yang ditulis bukan oleh orang Indonesia sepertinya menarik
LikeLike
bukunya memang menarik. tulisan2 yg lain sebenarnya banyak tersebar di internet. tapi hampir semua, atau mungkin semua deh, dalam bahasa inggris 😀
LikeLike
must read book..
LikeLike
oh yes, it’s a must.
LikeLike
buku yang sangat menarik untuk dipinjam.
LikeLike
kekekek, baiklaaaah 😀
LikeLike
Wah, kayaknya buku yang berat untuk dibaca nih. Menunggu mood datang dulu deh 😀
Etapi ini buku yang menarik, mengingat hubungan 2 negeri yang kurang baik akhir2 ini.
LikeLike
ini buku kumpulan esai lepas kok bro. gak harus dilahap habis dalam semalam. cukup ringan kok, harganya gak sampe 50ribu 🙂
LikeLike
ah seandainya baca postingan ini sebelum nge-mall tadi siang,
pasti deh buku itu sudah dibeli 😀
klo dipinjem aja boleh?
klo emang isinya ringan, cocoklah buat jadi bacaan penghantar tidur 😀
LikeLike
hahahah, coba aja beli. bukunya murah kok
LikeLike
Euh another book? *ngelirik tumpukan buku yg belum sempat dibaca 😦
LikeLike
wakakakakak. kapok dah gue beli2 buku. mending sekarang baca dulu dah.
LikeLike
baru denger dengan penulis satu ini
LikeLike
hi. ini memang buku pertamanya di Indonesia 😀
LikeLike
kau membaca dan mengabarkannya
caramu indah
terlebih bagi saya yag gak bisa bahasa Inggris 🙂
LikeLike
baca aja bukunya kang. dalam bahasa indonesia kok 😀
LikeLike
jadi tertarik dengan buku ini…penasaraannn 😀
salam kenal sobat…
LikeLike
salam kenal. thanks kunjungannya 😀
LikeLike
kamis kemarin nyari di gramedia ambon belum ada bukunya om…
sempet mikir nunggu om brad main ke ambon saja, baru saya pinjem hahaha… 😆
LikeLike
bwahahaha aduh belum tau kapan ke ambon ini
LikeLike
saya setuju dgn sikap obyektif Anda. Ketegangan kedua negara hanya di ksiaran politis saja, secara personal, seharusnya kita tak terkait urusan itu. Nice appreciation
LikeLike
makasih juga atas apresiasinya mas iwan 🙂
LikeLike
hmm.. semacam “guru kehidupan” ya isinya. Belajar dari kisah-kisah. Menarik untuk renungan.. kapan2 saya baca di gramed ah. 🙂
LikeLike
wakakakak, baca di gramed. beli aja bro, harganya 30ribu 😉
LikeLike
Kita pun harus bangga sebagai bangsa Indonesia!!!
LikeLike
malam
menarik
aku suka postnya
salam persahabatan
LikeLike
terima kasih atas apresiasinya 😀
LikeLike