Donorojo: Tapa Jiwa & Raga

Yogyakarta, 19 Oktober 2013.

Sejatinya malam ini purnama, namun awan pekat menyelimuti desa Tembi menyeruakkan bau air pertanda hujan segera datang. Di panggung Rumah Budaya yang bersahaja di pinggir sawah beralaskan semen dan berlatarkan gapura candi, bersimpuhlah sekitar 50 orang di atas undakan di depan panggung. Seorang perempuan penyair berperawakan pendek dan berkerudung tampil dengan senyum simpul pertanda kontrol emosinya begitu terpelihara. Sorot matanya teduh namun tajam. Lalu dengan lembut namun ‘menyihir’ suaranya mengajak bicara:

“Kang Mas,”

Seketika itu juga saya telanjang di depan Ratu Kalinyamat.

***

Donorojo adalah sebuah kecamatan di timur laut kota Jepara hasil pemekaran dari kecamatan Keling. Kontur wilayah ini sebagian besar perbukitan yang subur dan kontras dengan pantai-pantainya yang bersih dari sampah meski berair keruh. Dengan jumlah penduduk sekitar 53 ribu jiwa, Donorojo bisa dibilang bebas dari keriuhan kota kecamatan umumnya; terlebih lagi alamnya yang berbukit hijau dengan udara segar akan menenangkan pikiran siapa pun yang datang.

Meski sekarang nampak terpencil, sejarah Donorojo boleh dibilang cukup panjang. Ratu Shima penguasa Kalingga dari abad ke-7 Masehi pernah berjalan-jalan melalui daerah ini kala hamil dan mengidam buah kecapi. Sedangkan Ratu Kalinyamat dari abad ke-16 menjadikan bukit Donorojo sebagai tempat pertapaannya kala sedang resah setelah Arya Penangsang dari Demak membunuh suaminya Sultan Hadlirin. Ratu Kalinyamat yang menaruh dendam kesumat melakukan Topo Udo alias bertapa telanjang bulat dan hanya dibalut rambutnya yang panjang serta bersumpah tidak akan berpakaian sebelum ia melihat kepala Arya Penangsang dan keramas dengan darahnya.

Setelah sang Ratu meninggal, lambat-laun kerajaannya runtuh dan ganti Mataram yang menguasai. Pada saat yang sama Belanda sedang merangsek masuk ke kepulauan Nusantara dan telah menyerbu Jayakarta. Sultan Agung yang mencium bahaya menyadari bahwa Belanda hanya bisa dikalahkan jika pertahanan darat dan laut diperkuat. Maka Sultan pun beralih ke Portugis dan meminta bala bantuan. Portugis pun lalu membangun benteng di wilayah Dukuh Donorojo desa Banyumanis sekarang. Terbukti benteng ini ampuh dalam upaya pertahanan Sultan Agung karena letaknya yang tersembunyi di atas bukit namun pemandangan ke Laut Jawa sangat luas termasuk mengawasi lalu-lintas laut di sekitar Pulau Mandalika persis di seberangnya.

Zaman lalu berganti dan Belanda menancapkan kekuasaannya di tanah Jawa. Tertarik dengan keindahan dan keterpencilan Donorojo, Belanda lalu membangun pusat rehabilitasi bagi warga kelas dua saat itu: para penderita kusta. Udara yang bersih dengan pantai yang indah dianggap mampu menghilangkan stress para pasien kusta sehingga diharapkan mempercepat penyembuhan. Tidak hanya raga, ketenangan jiwa pun dipelihara dan atas inisiatif Dr. Bervoets, sebuah gereja dibangun di halaman samping rumah sakit pada sekitar tahun 1935 sebagai tempat beribadah para pasien dan warga sekitar. Gereja yang dulunya diberi tirai pemisah pasien dan non-pasien ini pun berkembang hingga mencapai kedewasaan jemaat dengan nama GITJ Donorojo.

Sejarah boleh berganti; penguasa boleh saling-bunuh. Namun semua orang bisa jadi mengamini bahwa Donorojo menyimpan ketenangan yang tak lekang oleh waktu dan senantiasa merengkuh jiwa dan raga yang lelah untuk beristirahat di bukit dan pantainya.

Powered by TripAdvisor

Informasi Umum:

Untuk mencapai Donorojo, ambillah jalan ke utara Jepara melewati kecamatan Mlonggo, Bangsri, Kembang, dan Keling. Belok kiri di pertigaan kantor kecamatan Keling, Anda akan sampai di Donorojo. Tujuan akhir wisatawan biasanya adalah Pantai Benteng Portugis dan papan penunjuk arahnya jelas; Anda tinggal mengikuti jalan. Sedangkan Rumah Sakit Kusta Donorojo & GITJ Donorojo terletak persis di kaki bukit sebelum kita mencapai pantai Benteng Portugis. Perjalanan dari Jepara memakan waktu kira-kira 1 jam.

20 thoughts on “Donorojo: Tapa Jiwa & Raga

  1. Kalau di Jepara, kisah tentang Ratu Kalinyamat ini sudah terkenal banget. Ga tau sih kalau anak zaman sekarang, karena sejarahnya memang zaman Portugis dulu. Kalau era Belanda yang inget ya Kartini..

    Like

    1. Saya malah baru tau ada Ratu Kalinyamat setelah sampai di Jepara. Kayaknya dia cocok dapet gelar Pahlawan Nasional ya πŸ™‚

      Like

  2. Prolognya bikin merinding. Saya suka, bang. Ada sawah, ada laut… saya suka foto ketiga, Babang. Tempat ini buat bulan madu cocok nggak yak, Bang? *ngikik* ;))

    Like

    1. cocok banget! sepi, romantis. ada penginapan baru yg letaknya gak sampe 10 meter dari pantai dan cuma itu doang, sisanya alam terbuka. bener2 sunyi sepi. tapi tenang, sinyal 3G kenceng karena ada BTS manteng di atas benteng πŸ˜€

      Like

Leave a comment