Jepara Bumi Kartini
Itulah semboyan yang selalu didengung-dengungkan oleh penguasa Jepara dan terlihat ramai menghiasi berbagai baliho yang dipasang pemerintah. Kartini seolah tak pernah mati karena selalu dibicarakan dengan penuh hormat oleh warga kabupaten tempat tinggal saya ini. Dan sebagai warga pendatang di ujung utara pulau Jawa ini, wajarlah jika ketertarikan saya pada sosok pejuang wanita ini menebal. Lalu saya memantapkan langkah untuk mengenal lebih dekat sosok ibu satu anak yang terkenal dengan bukunya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ ini dengan cara memasuki gedung yang didedikasikan untuknya: Museum Kartini.
Museum ini terletak di sisi utara alun-alun Kartini dan sekaligus menjadi tempat penyimpanan artefak-artefak bersejarah yang ditemukan di seputar Kabupaten Jepara. Dengan tiket masuk seharga Rp 3000.- saja kita sudah dapat menyaksikan sejarah Kartini mulai dari kelahiran, keluarga dan pengabdiannya pada kaum perempuan yang diperjuangkannya agar dapat memperoleh pendidikan.
Sadar bahwa pendidikan itu penting sejak dilarangnya beliau melanjutkan sekolah setelah lulus pendidikan dasar, Kartini lalu mulai menuliskan pergumulan hatinya kepada teman-temannya di Belanda yang lalu dikumpulkan dalam buku termahsyur berjudul ‘Door Duisternis Tot Licht’ setelah wafatnya. Kumpulan tulisan dan catatan lain tentang kiprahnya semasa hidup inilah yang kemudian dipamerkan di museum tersebut.
Halaman depan museum memamerkan patung Kartini yang disepuh oleh cat berwarna emas dan pameran dua kereta yang dahulu pernah digunakan oleh Kartini dan keluarga Adipati Jepara. Terlihat sekali bahwa kereta-kereta yang dipajang tersebut mahal dan mentereng pada zamannya. Kemudian tepat sesudah gerbang masuk kita dapat menyaksikan ukiran Macan Kurung yang keseluruhannya berasal dari satu batang pohon utuh yang lalu diukir hingga menampilkan seekor macan yang mengaum di dalam kurung; bukti keahlian para seniman ukir Jepara sudah termahsyur sejak dulu.
Pada galeri-galeri selanjutnya saya menyaksikan beberapa display silsilah keluarga Kartini yang masih keturunan raja-raja Mataram. Lalu terpampang pula beberapa foto Kartini dan saudara-saudara serta orang tuanya. Ada pula berbagai perabot rumah pindahan dari Pendopo Kabupaten Jepara ke museum yang diresmikan pada tahun 1975 ini.
Namun yang kemudian menjadi perhatian saya adalah tidak terawatnya koleksi-koleksi museum. Oke, saya mafhum dengan kualitas kurasi seadanya yang memang umum ditampilkan oleh hampir semua museum di Indonesia. Namun saya tidak habis pikir adalah ketidakmampuan pengelola museum untuk menjaga kualitas barang tetap baik atau bahkan sekadar membersihkannya agar terhindar dari debu. Bau apek sempat menyengat ketika masuk ke dalam dan beberapa sudut perabotan tampak diselimuti lapisan debu pekat.
Belum lagi foto-fotonya, aih. Kesemua foto tersebut nampaknya diambil dari kliping koran atau repro yang sejak era 70-an tidak pernah diganti sehingga kertasnya mulai rusak, gambarnya memudar, bahkan ada yang lengket pada kacanya. Lalu yang juga menyedihkan adalah ketiadaan usaha untuk memberi keterangan agak rinci pada tiap benda kecuali judul-judul membosankan seperti kursi tamu, mesin jahit, meja belajar Kartini, dsb. Bahkan beberapa tulisan tangan Kartini di suratnya tampil dalam bentuk fotokopian memudar tanpa terjemahan atau sekadar transliterasi sehingga pengunjung tidak bisa mengapresiasi isinya.
Selanjutnya biarkan beberapa gambar saja yang bercerita ya:
Bagaimana? Tertarikkah Anda pada gambar-gambar muram di atas? Apakah pelajaran berharga yang bisa diambil? Maaf, saya sih tidak mendapat apa-apa. Yang ada kunjungan ke Museum Kartini hanya jadi ajang misuh-misuh saja.
Misuh-misuh ini akan berlanjut ke lokasi selanjutnya: Museum Kartini Rembang. Tunggu sambungannya ya. Untuk sekarang ini saya akan mengakhiri cerita dengan menampilkan foto-foto selanjutnya dari Museum Kartini Jepara:
ditunggu cerita selanjutnya sob…
LikeLike
thanks
LikeLike
Wah om Brad jalan2 terus nih. Tapi jalan2nya keren karena dari Musium ke Musium. Misuh-misuhnya moga menggugah pengurus musium ya π
LikeLike
hahaha ya semoga aja sih Kang
LikeLike
Ini Dinas Pariwisatanya ngapain aja yak. Anggarannya kecil atau gimana ya? *KEBAWA MISUH MISUH*
LikeLike
entah karena kecil anggarannya atau memang gak mau bergerak. ah sudahlah π¦
LikeLike
seumur2 belum pernah mas ke jepara walau kisah RA Kartini keren untuk generasi wanita indonesia.sip blognya dan pengetahuannya tapi jangan misuh2 mas doso heheh (salam kenal mas blogwalking)
LikeLike
hahahahaha. makasih mas
LikeLike
himah misuh2nya, saya jadi turut menikmati koleksi di museum Kartini. semoga suatu saat dapat mengunjunginya..salam brad??
LikeLike
ditunggu di Jepara π
LikeLike
Trus misuh misuh nya ke siapa Mas? Hehehehe.
LikeLike
Ya ke blog ini lah. Hihihihi
LikeLike
Mending ke Rumah Kartini aja!
Beberapa foto kami (Widya Mitra & Rumah Kartini) dapat langsung dari KITLV Leiden dan sumbangkan untuk museum. Sudah saya tuliskan keterangan setiap fotonya & juga sudah wanti2 supaya disebutkan sumbernya. Ga digawe tuh! Nyebut yang nyumbang aja kagak!
LikeLike
Hahaha ikutan misuh-misuh
LikeLike
Indonesia! Mantep juga misuh2nya! π
LikeLike
hahaha itulah indonesia
LikeLike
Wah kok judulnya gitu si mas?
LikeLike
Iya π
LikeLike
Semoga pengelola museumnya membaca ini. Masalahnya kalau nggak dirawat dengan baik, bagaimana dengan generasi2 selanjutnya?
LikeLike
jangankan baca ini. udah dikasih tau dan dibantu aja mereka malas bergerak kok π
LikeLike
Yang banget! Waktu di Bintan dulu, pernah diajak ke beberapa museum yang ada di Singapur. Wah management museumnya jempol. Semua terawat, rapiiii, apik. Aku kaget itu liat foto2nya, kok ngga ada pembatasnya? Bukannya kalau barang2 lama seperti itu sangat sensitif ya kalau dipegang dengan tangan telanjang?
LikeLike
ada sih pembatasnya. tapi kalo untuk mebel kayu memang nggak. yah gitu deh. hehe
LikeLike
Woh miris sekali ya. Padahal seharusnya ada dana pemerintah khan buat pengelolaan museum begini?
WHATEVER lah wis. Sing waras ngalah yo mas..
LikeLike
dana sih pasti ada, kan museumnya milik pemerintah. tapi mungkin habis utk ongkos operasional
LikeLike
emang kasian banget. mereka cuma nunggu dana tapi gak ada inisiatifnya
LikeLike