Blogger Murni vs. Blogger Berbayar

Hari ini dua orang kawan menyebarkan tulisan di blog sekaligus kasak-kusuk di Twitter soal fenomena buzzer alias mereka yang menulis di Twitter untuk kepentingan produk/merk tertentu dan mendapat bayaran, dan sedikit-banyak menyeret blogger yang juga mendapat bayaran melalui tulisan yang mereka publikasikan di blog dengan tujuan mempromosikan produk/merk tertentu pula. Secara saya belum memanfaatkan twitter secara maksimal untuk kepentingan beriklan, saya merasa tidak punya kompetensi di situ. Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya sehubungan dengan tudingan beberapa orang bahwa blogger yang menerima bayaran itu tidak independen. Sebagian pokok pemikirannya sudah sempat saya sampaikan di twitter akhir minggu lalu.

1. Intensi & kualitas menulis tiap blogger berbeda

Semua tentu menulis dengan intensi yang berbeda-beda. Ada yang murni berbagi dan menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau komersial di blognya dengan berbagai alasan; untuk itu biarlah dengan hormat saya menyebut mereka ‘blogger murni’. Ada pula yang membuat blog dan menggunakannya sebagai alat mencari uang; kelompok yang ini biarlah dengan hormat saya sebut juga ‘blogger berbayar’. Tentu alasan yang berbeda-beda ini akan menghasilkan tulisan yang kualitasnya berbeda sesuai karakter si penulis. Setiap blogger mengalami evolusi dengan kecepatan dan tipe yang berbeda-beda dan tidak untuk dibanding-bandingkan. Misalnya dalam menulis ulasan produk, ada yang mengandalkan pengalaman pribadi dan mampu menulis secara objektif sementara di lain pihak ada pula yang menjual kehebatan si produk/jasa tanpa meneliti kembali kesahihan berita dan faktanya. Kalau sudah begini, siapa yang bisa dipercaya?

Menurut saya, bagaimana pun kualitas tulisan yang sudah keluar dari si blogger, dia sudah beramal melalui membagikan pemikirannya dan tugasnya sudah selesai. Ketika tulisan tersebut sampai ke mata pembaca, maka filter yang mestinya digunakan adalah dari si pembaca tersebut yang berhak mengartikan maksud penulis sekaligus menentukan sikap akhir, apakah dituruti atau ditolak. Atau jika si pembaca tidak menyukai tulisan-tulisan jenis apapun yang berbau iklan, dia dapat pula memilih untuk tidak lagi mengunjungi blog tersebut. Seberapa banyakkah iklan yang dianggap ‘terlalu banyak’? Wah, itu pun bukan lagi tugas si empunya blogger melainkan hak prerogatif pembaca.

Saya akui sering sekali berkunjung ke sebuah blog lalu kapok datang ke sana lagi karena dipenuhi iklan. Itu hak saya dan tidak berhak pula saya mencaci si blogger karena itu hak dia juga. Ada kalanya pula saya sesekali atau sering menjumpai iklan di satu postingan yang saya abaikan namun saya mencari pula tulisan lain yang lebih mencerminkan pemikiran asli si blogger dan akhirnya saya mengambil keputusan blog itu layak saya kunjungi berikutnya. Sekali lagi, dengan menggeneralisir semua blogger berbayar = sampah adalah tindakan terburu-buru.

2. Transaksi bisnis biasa

Entah mengapa ada sebagian pemikiran seolah-olah blogger yang melakukan promosi produk/jasa di blognya telah melakukan dosa besar karena menodai kesucian semangat berbagi di awal. ‘Dosa’ ini lalu ditudingkan lebih tajam kepada mereka yang memanfaatkan jasa ‘makelar blogger’ demi mendapatkan klien. Tak urung si makelar pun terkena hujatan banyak orang karena memanfaatkan blogger guna meraup keuntungan sendiri.

Terhadap soal ini saya hanya tertawa saja. Bagi saya ini hanyalah transaksi biasa di mana yang berlaku adalah demand dan supply. Blogger butuh iklan dan pemberi pekerjaan agar mendapatkan uang; klien butuh publisher untuk memasarkan produk/jasa mereka. Lalu apakah klien dan blogger mampu mencari peluang sendiri dan berkomunikasi secara langsung? Ya, untuk kasus-kasus tertentu saya pernah mendengar kawan baik saya bernegosiasi langsung dengan brand yang bersangkutan. Namun seringkali kita tidak memiliki kemampuan itu sedangkan klien kadang terlalu berhati-hati bila hendak berbisnis dengan pribadi dan bukannya badan usaha.

Di sinilah peran ‘makelar’ tadi diperlukan. Ia mencari peluang dari klien dan mempertemukannya dengan para pemasang iklan. Kebutuhan kedua pihak terpenuhi dan si makelar mengambil untung dari jasa yang telah ia lakukan. Sekarang, menurut Anda siapa yang memanfaatkan siapa? Semua pihak sama-sama senang, kok. Tidak ada yang tidak etis dari transaksi ini dan semua berlangsung layaknya bisnis biasa.

(sumber: theworkingbee.com)

3. Blogger berbayar tidak lagi independen

Tudingan ini yang paling menyakitkan meski ada benarnya. Ya, ketika bertransaksi, tentunya klien akan meminta blogger menyebar informasi yang baik-baik saja tentang klien tersebut dan mungkin inilah yang sebagian orang permasalahkan karena merasa tidak menemukan ulasan yang jujur dan keputusan pembelian tidak dapat dilakukan berdasarkan publikasi tersebut. Kalau sudah begini, sebenarnya tugas si blogger adalah berhati-hati sebelum menyetujui sesuatu apabila dirasa itu akan merugikan kepentingan pribadinya. Sebagian besar blogger sudah cukup arif memilah-milah tawaran yang sesuai dengan tujuan awalnya menulis dan akan tegas menolak tawaran yang tidak sesuai. Pun ketika hendak menulis, dia akan dengan rinci menanyakan sisi apa saja yang boleh diulas dan apakah kritik tertentu boleh disampaikan. Saya pikir klien pun memahami dengan siapa ia sedang berbisnis; bahwa beriklan melalui ulasan blogger berarti merelakan sebagian aspek produk/jasanya dikritik meski di saat bersamaan berharap agar blogger tetap sudi mengambil kesimpulan yang baik.

Saya pernah menjadi saksinya. Pada suatu kesempatan saya mengikuti program sebuah perusahaan yang mengajak blogger ke luar kota dan saya diminta menulis ulasannya untuk diikutkan dalam lomba blog. Apa yang saya tulis? Tentu saja puja-puji terhadap inovasi perusahaan tersebut dalam melayani pelanggan. Namun sadar bahwa perusahaan itu punya cacat, saya menyisipkan pengalaman pribadi ketika dikecewakan oleh mereka. Hasilnya? Tulisan saya itu menjadi Juara 1 di lomba blog tersebut dan penyerahan hadiah dilakukan di kantor pusatnya dengan para pejabat perusahaan tersenyum lebar menyalami dan memberi hadiahnya. Bagaimana bisa? Kuncinya ada di pendekatan bahasa yang kritis namun elegan sehingga secara keseluruhan tidak menodai nama baik si klien. 😀

4. Komunitas blogger tidak lagi independen

Cibiran tentang blogger berbayar tidak hanya berkutat soal pilihan pribadi namun merembet pula ke komunitas di mana sebagian blogger bernaung. Beberapa komunitas blogger yang mengadakan acara diduga tidak independen dan disetir oleh makelar dan klien agar sesuai maunya klien dan komunitas tidak bisa bergerak sendiri. Menjawab hal ini saya menyarankan kepada si sirik itu untuk kembali membaca poin 2 dan 3 di atas; prinsip-prinsipnya berlaku sama untuk komunitas.

Kalau boleh sedikit berbangga, saya menjadi saksi pula bagaimana komunitas blogger yang membesarkan saya pernah dan telah begitu apik berhubungan dengan para agensi dan klien dan terbukti bahwa kami pun dapat menyuarakan kepentingan kami dan tidak serta-merta tunduk begitu saja pada kemuan klien. Sadar bahwa kami pernah pula ditipu akibat perjanjian kerjasama lisan yang tidak mengikat, kami diminta menandatangani perjanjian kerjasama tertulis dengan sebuah agensi di mana isi perjanjiannya boleh kami kritisi dan ubah sebelum disetujui kedua belah pihak. Meski negosiasi berlangsung alot, akhirnya perjanjian ditandatangani dan acaranya berlangsung sukses. Kok bisa? Kuncinya ada di keterbukaan kedua belah pihak dan kemauan berkomunikasi secara positif. Pada saat yang sama saya menyadari juga bahwa ada manfaatnya bila komunitas blogger mencari uang melalui kerjasama dengan pihak ketiga. Manfaat terutama adalah keuangan komunitas yang semakin baik sehingga tidak melulu tergantung pada sponsor jika hendak melakukan kegiatan sosial dan sisa dananya bisa digunakan untuk pengembangan komunitas ke depan.

***

Lalu apa kesimpulannya? Kali ini tidak ada. Anda para pembaca lebih arif daripada saya. Silakan menilai dan berkomentar. Selamat menulis dan berbagi. 😀

56 thoughts on “Blogger Murni vs. Blogger Berbayar

  1. wa…panjang banget…. hehehe…
    semua kembali kepada pribadi masing-masing untuk urusan tulis menulis
    kalo semuanya idealis, kasihan penerbit dong.. bukunya gak ada yang laku karena ‘free’
    IMHO

    Like

  2. Hyaaaaaaaah #rauwisuwis hahahahaha….

    Tapi setuju banget. Ini transaksi bisnis biasa. Kalo ada yg merasa terjerumus oleh info yg salah dari review para blogger, lha ya balik lagi. Emang situ gak nyari info lain sebelum memutuskan pakai atau beli satu produk? Kalo di tivi misalnya dibilang kecap merk anu lebih enak dari kecap merk itu, lha mosok begitu aja percaya tanpa nyari info dan referensi lain? Ada yg namanya google, toh? #ngakak

    Like

  3. kalo saya pribadi lebih memilih untuk men”skip” tulisan berbayar dan mencari tulisan yang lainnya. tapi kalo keseringan nulis tentang iklan dan produk bukan gak mungkin saya bakal milih untuk mencari blog lain.
    soalnya bener kata abang kalo tulisan berbayar itu pasti gak jauh-jauh dari kata-kata yang memberikan pujian terhadap produk atau hanya sekedar membanggakan produk tertentu.

    imho sih

    Like

  4. Kakaak… Blogger yang terpilih untuk membuat review oleh sebuah brand pastilah blogger yang dianggap punya kemampuan dan kualitas yang sesuai untuk membuat artikel tsb. Masa blogger kategori family diminta membuat review mengenai brand oli misalnya…. ya kurang pas…
    Intinya sih qualified dan yang pasti bloggernya harus memiliki atau mencoba dulu “user experience”…. hingga walaupun berbayar, tulisan tsb “berisi” dan ngga sekedar mengelu2kan brand… Males juga tu bacanya…

    Like

  5. suka tulisan ini.. buat saya menjadi blogger berbayar atau blogger murni adalah sebuah pilihan dan sah-sah saja. Cuma jangan terlalu lacur juga.. Contoh : hari ini ngiklan operator A dan memujanya setinggi langit eeeh besok lusa menyanjung operator B dan menjelek-jelekkan operator A yang kemaren dipuja puji setinggi khayangan..

    Like

    1. kalo di postingan yg sama dia memuji A sementara mencerca yg B, si A sebagai pemberi review juga marah kale. lacur?? mind your words.

      Like

  6. mission accomplished: mengembalikan blogger ke khittahnya, yaitu menulis kegelisahan.
    well played, Om Don!
    *tepok tangan sambil berdiri ke arah om-om ganjen di Ostrali*

    oh, halo, masnya! nebeng komeng! hihi…

    Like

  7. Nah,… yang ini lebih baik isinya dari blogger yang membahas soal buzzer itu. Saya juga pernah nulis soal blog yang semata-mata bukan hanya postingan bernilai dollar atau murni sekedar tulisan. Ada nilai lebih dibanding penyampaian melalui media, ya seperti yang Anda katakan,…. amal tak harus dengan uang kecil yang masuk ke kotak infaq. Sebaris kalimat juga bisa membantu orang lain agar lebih mengerti, ini amal kan? 🙂

    Like

  8. pernah sih jadi blogger yang dibayar buat nulis, satu kali dalam hidup saya melalui makelar.

    Untungnya waktu itu hanya diminta menyebarkan informasi tentang manfaat poin dari produk tersebut. Sehingga itu jadi bermanfaat juga buat pengguna produknya 😀

    salam kenal dari Pontianak

    Like

  9. tulisan keren, selalu kritis khas kaka Brad…

    saya masih setia untuk tidak menjadikan blog sebagai lapak dan menjajakan postingan sebagai barang dagangan…mungkin krn merasa bukan seleblog, jadi tak layak jual juga sih…hehe.

    Like

  10. seperti yang tadi dibilang ada demand ada supply… semua kembali kejalan masing-masing..tapi selama masih berbagi kayanya gak ada salahnya… mau berbagi secara blogger berbayar maupun berbagi secara blogger murni.

    NB.om brad tulisannya enak dibaca, “empuk”.. request tips menulis yang menyenangkan dong om #eh

    Like

  11. Ulasan yang menarik mas,
    Ketika sisi personal bisa memiliki nilai jual, iya sah-sah saya membuat tulisan berbayar. Tetapi ya tetap seh, tidak seratus persen kemauan si pembayar. Dulu sempat, sekarang sudah nggak ada yang meminta. Bisa jadi yang blogger berbayar itu adalah blogger yang keren gitu, ya sejenis seleb.
    BTW, kenapa pemberitauan di akhir post “Ini Posting Berbayar” tidak diulas?

    Like

    1. blogger berbayar itu gak selalu identik dengan seleb lo. hehe. sedangkan soal pemberitahuan itu memang gak saya bahas karena terlalu jauh konteks jadinya. hehehe

      Like

  12. Baik blogger murni maupun blogger berbayar sama-sama berguna untuk menambah khasanah dan kekayaan tulisan di dunia maya..daripada blogger yang ini enggak banget –> BLOGGER LUPA PASSWORD 😀

    Like

  13. di kelas akademiberbagi Cianjur minggu kemarin saya menyampaikan materi IT Preneur dan ga ada salah dgn blogger yang menerima bayaran dari menulis.

    semuanya berinti pada : how to earn money with IT 😀

    Like

  14. Setuju.

    Saya masih tdk nyaman dgn adanya pengklasifikasian blogger menjadi blogger murni dan berbayar.

    Saya menulis kapan saja saya mau menulis. kadang ikut2 bikin cerpen, ikut lomba, pasang iklan. Beberapa memang benar2 menghasilkan. Jadi saya masuk tipe blogger apa?

    Like

  15. Saya ingin menulis bebas, karena itulah menghindari segala bentuk yang mungkin mengikat dasar keinginan untuk bebas tesebut. Jika nanti ada pekerjaan berhubungan dengan menulis, ya mesti dibedakan lagi.

    Like

  16. Ane sih nggak masalah dengan istilah “blogger berbayar” walaupun secara konotatif agak gimana gitu didengarnya.

    Saya pribadi beberapa kali menuli postingan berbayar, namun selama kita menjunjung tinggi prinsip “kejujuran” dalam menulis dan tidak memuji tanpa dasar saya rasa nggak masalah. Sekalipun berbayar saya selalu kok menulis secara fair, saya ungkapkan jika produk mereka ternyata punya kekurangan.

    So far sih tulisan berbayar kita akan tetap enak dibaca dan nggak “bikin muntah” hehehe

    Like

  17. Opa tulisannya awesome sekali. Mengenai apa apa yang dititipkan ke blogger atau twitter user sih lebih baik di kasih keterangan kalau tulisannya titipan atau pesanan sih. Jadi semua tau kalau itu berbayar… Asal tulisannya gak lebay 😀

    Like

  18. Hmm… yah aku baru tau itu…. dan blogger berbayar semakin banyak…
    dan yg ga disuka adalah blognya semuanya jadi iklan. So buat apa punya blog kalo cuma buat jualan…. Thats something I little bit hate

    Like

Leave a comment