Membuang Celana di Laos

Ahey! Judul postingan di atas memang kurang ajar banget. Bagaimana bisa ke sana hanya untuk membuang celana? OK, memang agak melebih-lebihkan sih. ๐Ÿ˜€

Setelah menghabiskan seharian penuh di Angkor Wat, Siem Reap, Kamboja, saya lalu menyusun rencana berikutnya. Ada 2 pilihan: kembali ke Phnom Penh untuk meneruskan perjalanan ke Vietnam, atau mencoba menjejakkan kaki di Laos. Sebenarnya kami agak waswas dengan rencana ke Laos. Betapa tidak, situasi perbatasan Kamboja-Laos berubah setiap waktu terutama urusan visa. Belum lagi urusan suap-menyuap dengan petugas imigrasi yang memusingkan untuk alasan yang sangat sepele: tiba di perbatasan hari Minggu sehingga mereka harus lembur tanpa dibayar pemerintah. Aaargh. Lalu tiket bis yang bukan-main mahalnya dan sepertinya akan menguras isi dompet dalam-dalam.

Namun terdorong oleh kalimat, “Kapan lagi ke Laos?!” dan nafsu narsis mendapatkan cap imigrasi negara yang tidak memiliki laut di Indocina itu di paspor Indonesia, dengan komat-kamit membaca doa sambil menyemangati diri sendiri, akhirnya tiket bis Siem Reap – 4000 Islands pun dibeli. Hajar, mumpung masih muda. Kami pun berjanji untuk saling melindungi dalam keadaan bahaya. #lebaysangat

Four Thousand Islands, Laos

Loh kok bisa? Bukannya Laos terkurung oleh negara-negara lain sehingga tidak punya laut? Ya, memang Laos adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang tidak memiliki laut oleh wilayahnya dikelilingi oleh negara-negara lain yakni Cina, Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Namun demikian, Sungai Mekong yang tenang, lebar, dan dalam mengaliri sepanjang perbatasan sebelah barat negara berpenduduk 6,5 juta jiwa ini; bahkan ibukota negaranya, Vientiane, juga terletak di tepi Sungai Mekong dan berbatasan langsung dengan Thailand. Sebagai wilayah yang sebagian besar terdiri atas pegunungan, Laos mengalami sejarah panjang pendudukan silih-berganti oleh kekuatan-kekuatan besar negara tetangga seperti Birma, Champasak, Cina, dan Siam sebelum akhirnya dijajah Perancis selama 60 tahun semasa 1893-1953. Selama kurun waktu 22 tahun berikutnya hingga 1975, Laos menikmati kemerdekaan sebagai kerajaan sampai akhirnya Pathet Lao, organisasi komunis di Laos yang dibekingi Vietnam dan Uni Sovyet, berhasil menggulingkan pemerintahan dan memaksa Raja Sisavang Vong turun tahta. Sejak saat itu hingga sekarang, negara ini menyandang nama Lao People’s Democratic Republic (Lao PDR) berideologi komunis dan berafiliasi ke Vietnam dan Uni Sovyet. Hubungan diplomatik dengan Cina terputus pada tahun 1979 yang lalu memancing embargo ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara lain.

Kembali ke Four Thousand Islands atau yang disebut Si Phan Don oleh warga setempat, ‘kepulauan’ ini pada dasarnya adalah titik-titik daratan yang menyebar di Sungai Mekong di ujung paling selatan negara tersebut. Pulau-pulau di Sungai Mekong ini menjadi surga para pelancong yang ingin menikmati keindahan dan ketentraman sungai, mengunjungi air terjun terbesar di Asia Tenggara, atau menengok Lumba-Lumba Irrawady, yakni lumba-lumba air tawar yang sangat langka. Aktivitas utama di daerah ini tentunya berputar pada olahraga air seperti tubing dan kayaking, atau, yang paling utama, bersantai seharian tanpa melakukan apapun kecuali leyeh-leyeh di atas hammock sambil memandangi sungai.

Ada beberapa titik di Si Phan Don yang menjadi pusat kunjungan turis; yang terbesar adalah Don Khong (pulau terbesar) dan paling maju fasilitasnya. Titik lainnya yang juga populer dan justru lebih dekat ke atraksi sungai adalah Don Det, meski daerah ini fasilitasnya belum semaju Don Khong dan listrik 24 jam juga tersedia baru-baru ini saja.

Been There, Don Det

Perjalanan yang panjang itu dimulai dari Siem Reap, Kamboja, dimana kami dijemput di penginapan jam 5 pagi untuk selanjutnya diantar ke pool bis yang lokasinya tidak jauh dari Psar Chaa (Old Market). Tidak ada bis langsung dari Siem Reap ke Laos; kami harus menaiki bis yang kembali ke arah Phnom Penh namun transit di Skuon, sekitar 1 jam perjalanan ke utara dari Phnom Penh, untuk selanjutnya berganti ke bis internasional Phnom Penh – Laos yang menyusuri National Highway 7 ke arah utara hingga perbatasan Dong Kralor – Veun Kham. Lama perjalanan hingga ke perbatasan kurang lebih 11 jam diselingi istirahat makan siang. Tidak banyak yang menarik untuk disimak, kecuali ibu-ibu pelayan restoran jutek yang tidak mau menerima uang Riel yang kami tawarkan meski nilai tukarnya sama. Menyebalkan, padahal itu mata uang negaranya sendiri. Akhirnya ia mau juga menerima uang Riel dari saya meski lalu dicampakkan begitu saja ke laci kasir. Huh!

Namun ada juga beberapa pemandangan menarik di perjalanan, utamanya barang-barang yang dibawa penduduk ketika melakukan perjalanan. Biarkan beberapa gambar saja yang bercerita ya:

Bis tingkat Phnom Penh-Laos
Ibu-ibu penjual roti baguet & bunga teratai untuk persembahan
Kejutan pertama: sepeda motor diikat di belakang mobil Elf untuk dibawa dalam perjalanan jauh =)) (Agak kurang jelas karena saya diawasi ketat ketika mengambil gambar)
Kejutan kedua: batu bata yang disusun di bagian belakang mobil =))

Menakjubkan sekali melihat apa saja yang dibawa penduduk di bagian bagasi ketika melakukan perjalanan jauh. Umumnya pintu belakang tetap dibuka agar barang-barang besar bisa diikat begitu saja di situ tanpa pengaman lebih kuat. Bis yang kami naiki dipenuhi oleh para turis saja; warga lokal lebih memilih menumpang Elf seperti yang tampak pada gambar di atas. Harga tiketnya lebih murah, namun bersiaplah duduk bersama tumbuh-tumbuhan dan hewan selain juga para penumpang yang berhimpitan di kanan-kiri-depan-belakang Anda. ๐Ÿ˜€

Dari perbatasan Kamboja-Laos, kami memutuskan untuk turun di perhentian pertama yang berjarak 5 kilometer dari perbatasan, yakni Nakasang. Pos Nakasang terletak sederhana di pinggir jalan utama. Kemudian kami dijemput dengan pickup gratisย (sudah termasuk dalam harga tiket bis) dari pelabuhan untuk selanjutnya diantar dengan perahu motor ke Don Det, sekitar dua puluh menit perjalanan membelah sungai Mekong yang sore itu airnya nampak keruh meski tidak pekat.

Musibah terjadi dalam perjalanan ini. Ketika saya sedang bergerak di dalam bis, tiba-tiba kantong celana lutut kanan saya tersangkut kursi dan PREEEET!! Terdengar bunyi robekan yang menghasilkan bukaan besar mulai dari paha ke lutut. Celaka, sementara backpack besar saya ditaruh di bagasi lantai bawah bis sehingga tidak bisa diambil. Terpaksalah sepanjang sisa perjalanan dan menyeberang perbatasan saya lalui dengan mengenakan celana robek tersebut. Paha yang cukup banyak rambutnya itu pun dipamerkan kemana-mana. ๐Ÿ˜€ Beruntung cuaca sore itu cerah dan sisa perjalanan sangat menyenangkan sampai akhirnya kami menjejakkan kaki di Don Det, salah satu pulau yang populer sebagai tujuan wisata ke air terjun dan titik terdekat untuk menyaksikan lumba-lumba air tawar.

Membelah sungai Mekong dengan perahu motor. Bukan, pria narsis berkacamata itu bukan saya. Masih gantengan gue kemana-mana =))
Senja di pantai Don Det, sungai Mekong, Laos

Ketika tiba di pantai Don Det dan kami mulai berkeliling mencari penginapan, seketika saya disuguhi pemandangan yang, saya anggap, biasa saja. Sungai Mekong tak ubahnya dengan Sungai Siak yang membelah kota Pekanbaru yang pernah saya kunjungi pula. Suasana alam senja yang mulai ditingkahi jangkrik, lenguhan sapi dan celotehan ayam, serta percakapan turis-turis yang sedang bersantai tiba-tiba membuat saya malas menjelajah lebih jauh karena kami juga harus memikirkan jadwal ke tempat lain. Begitu akhirnya badan ini rebah ke tempat tidur di penginapan, yang pertama kali kami suarakan dengan serempak adalah: “BALIK KE KAMBOJA YUUUK!”ย *gubrak*

Malam itu kami habiskan dengan makan-malam dan menjelajah kampung Don Det. Suara televisi yang sedang menayangkan sinetron Thailand terdengar di mana-mana. Niat ingin ke warnet kami urungkan setelah mengecek tarifnya 24,000 kip / jam (setara Rp 24,000 di Indonesia). Beruntung malamnya hujan turun deras sehingga udara tidak terlalu panas. Kami mendapat kamar bungalow yang sederhana di tepi sawah; sesuatu yang mungkin bagi orang bule sangat eksotis namun kami pandang dengan sebelah mata karena terus-menerus membandingkannya dengan keindahan sawah di Indonesia. Oke, saya memang agak arogan di Laos karena seharusnya lebih rendah hati dalam memandang alam dan masyarakat sekitar. Namun saya menyadari bahwa ini bukanlah Laos yang sebenarnya; saya sedang berada di sebuah kampung turis dengan penduduk lokal yang pekerjaan utamanya melayani tamu. Oleh karena itu kami anggap kunjungan di Laos sebaiknya ditunda saja lain kali agar dapat menyaksikan daerah lain dengan lebih seksama. Dalam pikiran saya malam itu hanyalah: kembali ke Phnom Penh, lalu terus ke Vietnam.

Pagi pun tiba. Tanpa membuang waktu kami bergegas ke pantai untuk menaiki perahu yang membawa kami kembali ke Nakasang. Melihat si celana robek yang semalam saya gantungkan di pagar bungalow, saya pun memutuskan untuk meninggalkannya di sana. Akhirnya, saya pikir, ada juga gunanya ke Laos: membuang celana robek ๐Ÿ˜€

Perjalanan ke Phnom Penh lebih panjang lagi, kami tempuh selama hampir 13 jam. Di perbatasan Laos-Kamboja kami turun bis dan berjalan-jalan. Dasar bodoh, kami iseng kembali melangkah ke arah Laos diiringi pandangan tajam dari petugas perbatasan kedua negara. Pandangan tajam tersebut melunak ketika saya berbicara dengan sopan meminta izin berfoto. Perjalanan kembali dari palang pintu Laos ke palang pintu Kamboja jaraknya hanya 100 meter namun terasa berhari-hari. Jarak 100 meter ini adalah daerah tak bertuan dan kami tak memegang paspor karena sedang diurus petugas bis. Tindakan yang entah pandai atau bodoh. ๐Ÿ˜ฆ

Berikut foto-foto saat kembali ke Kamboja:

Lalu-lintas Don Det-Nakasang cukup sibuk di pagi hari
Halo! Cini cini cini! Unyuuuu *cubit* (Nakasang, Laos)
Petugas karantina Kamboja menyemprotkan pembasmi kuman sebelum bis memasuki negara itu
Keluarkan aku dari Laooooos! *panik*
Cambodia, Thank God! *sujud syukur cium tanah*
Motor yang diikat di belakang mobil. Kali ini gambarnya lebih jelas. ๐Ÿ˜€

Informasi Umum

Visa

Pemegang paspor Indonesia tidak dikenakan visa untuk memasuki Laos melalui perbatasan ini. Info selengkapnya di sini.

ย Tiket Bis

Harga tiket Siem Reap-4000 Islands adalah USD 24. Sedangkan tiket 4000 Islands-Phnom Penh seharga USD 27. Tiket tersebut sudah termasuk penjemputan pickup di Nakasang dan ongkos penyeberangan sungai dengan perahu motor. Di Siem Reap, tiket dapat dibeli di agen perjalanan terdekat atau tempat penginapan; harganya bervariasi, oleh karena itu jangan segan-segan mencari tiket termurah.

Jalur Siem Reap-Laos mengharuskan penumpang transit di Skuon, sedangkan jalur Laos-Phnom Penh dapat ditempuh sekali jalan saja. Tidak perlu berganti bis di perbatasan dan urusan imigrasi dilaksanakan oleh petugas bis.

Penginapan & Makan

Terdapat banyak opsi penginapan di Don Det dengan harga bervariasi mulai dari 50,000 kip per malam. Harga tersebut sudah mendapatkan kamar cukup baik berupa bungalow dengan kamar mandi di dalam dan kelambu penghalang nyamuk. Makan malam di restoran cukup baik dan murah, berkisar di harga 25,000 kip.

Saya tidak melihat opsi makanan halal bagi yang Muslim. Memang ada restoran India di kampung tersebut namun saya tidak mengecek lebih lanjut.

Komunikasi

Tarif warnet sangat mahal dengan koneksi sangat lambat; lupakan saja. Karena hanya singgah semalam saya tidak membeli SIM Card lokal. Namun sinyal provider Hello Axiata dari Kamboja masih tertangkap dengan cukup baik mengingat letak Don Det masih di perbatasan dengan Kamboja. Atau bisa juga kita mengaktifkan SIM Card Telkomsel yang memiliki kerjasama roaming dengan Laotel.

Nilai tukar

USD 1 = 7950 kip. Namun demi kemudahan membandingkan harga, saya anggap saja 1 kip = Rp 1. Berbeda dengan Kamboja, semua transaksi di Laos wajib menggunakan mata uang lokal kecuali pembelian tiket bis internasional. Kita dapat menukar uang di pool bis Nakasang meski nilai tukarnya sangat jelek.

34 thoughts on “Membuang Celana di Laos

    1. memang gak begitu beda. makanya saya buru2 balik kanan. mungkin lain cerita kalau saya berkunjung ke situs bersejarah di sana ๐Ÿ˜€

      Like

  1. Terbayang banget deh Laos sbg negara korup, yg masyarakatnya menderita dalam kemiskinan merata.

    Tapi tetap Bro, paparanmu bikin aku iri untuk menginjakkan kaki ke negara2 asean, termasuk Laos. Paling tidak, bisa ke lokasi yg lebih kampung lah di sana.

    Like

  2. apakah ada aturan untuk turis tentang mana yang boleh difoto dan mana yang tidak. sepertinya ketika menfoto foto mas brad sangat berhati hati ๐Ÿ™‚

    eh iya, celana robet yang dibuang bisa dipungut orang sana untuk dijadikan pesugihan lhoo mas, hehe

    Like

    1. gak ada aturan sih sebenarnya. cuma waktu saya foto2 di depan restoran, saya diawasi banyak orang dan pada ngajak bicara dgn muka serius. jadi takut juga ๐Ÿ˜ฆ
      kalau di instalasi pemerintah sebenarnya gak boleh ya. makanya harus minta izin atau sembunyi2 ๐Ÿ™‚

      Like

      1. iya… itu saya nyari foto lumba2nya juga.
        Penasaran.

        *inget kamera disita sama satpam kedutaan Saudi gara2 foto sembarangan

        Like

  3. Jadi om Brad abis dari Laos… wuooow….
    MO komentarin gambar mobil yg bawa banyak barang. Ternyata ada juga ya yg parahnya sama kayak Indo pas mudik… Ini lebih parah motor sampe diiket di mobil ๐Ÿ˜€

    Like

    1. iya saya sampe bingung. bisa gitu ya motor diiket di mobil. apa mesinnya dipretelin dulu biar ringan ya? ck ck ck

      Like

  4. Wah enaknya udah keliling ke mana2 #ngiri #uyel2ujungkemeja

    Eitu kok nggak ada foto celana robeknya sih? Harusnya di foto ketika dia melambai2 di tinggalkan di bungalow hehehe

    Like

  5. Baru tahu kalo Laos adalah negara yg tak memiliki Laut ๐Ÿ˜€

    Enak banget ya liburannya Om Brad, mampir di beberapa negara sekaligus ๐Ÿ˜€

    Like

  6. halo mas indobrad. boleh minta email atau kontaknya. saya rencana bulan agustus ini akan backpacker ke indochina area. butuh bimbingannya., terimakasih mas

    Like

Leave a comment