Menyoal Hak Moral Atas Tulisan

Sebagai blogger yang pada hakekatnya adalah penulis dengan memakai media blog, setiap tulisan yang saya hasilkan adalah buah pikiran dan hati yang telah melalui proses pemikiran dan pertimbangan mendalam. Postingan demi postingan yang keluar dari blog ini tidak keluar begitu saja laksana ilham yang mendadak datang; saya bukan tipe penulis yang gampang mendapatkan inspirasi. Butuh kerja keras mencari tema, memikirkan pendekatan menulis, bahkan sampai menyusun kerangka sebelum akhirnya paragraf demi paragraf dikembangkan. Apalagi saya termasuk penulis yang mudah terdistraksi oleh, misalnya, urusan ke toilet, lapar, menonton televisi, sampai rehat sejenak untuk meminum teh (yang sebentar lagi akan saya lakukan setelah paragraf pertama ini selesai). Hehe.

Lalu apa jadinya bila tulisan saya dikutip orang tanpa menyebut sumbernya dengan wajar?

Berawal dari tulisan saya tentang reportase sebuah event pada akhir Oktober lalu. Tulisan yang saya muat hanya 2 hari setelah acara kopdar tersebut selesai lalu dimuat di sebuah portal beberapa hari kemudian. Ceritanya tidak selesai di situ; tulisan yang sama selanjutnya dimuat di sebuah harian ibukota propinsi pada rubrik yang diasuh oleh komunitas tersebut yang, seperti informasi yang saya terima belakangan, tidak tahu-menahu tentang bagaimana tulisan tersebut sampai dimuat di media cetak itu. Saya baru mengetahui adanya tulisan tersebut pada awal Desember ini dan cukup terkejut membacanya. Jadi tulisan saya disadur sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah tulisan tersebut baru namun gaya asli penulisan saya masih tertera di sana. Yang mengejutkan lagi adalah tidak adanya kutipan ke sumber tulisan aslinya, yaitu ke blog saya.

Sumber: statefansnation.com

Saya mendiamkan persoalan ini beberapa hari sebelum akhirnya angkat bicara. Saya beranggapan bahwa jika saja tulisan tersebut hanya sampai dimuat di media online, saya tidak menganggapnya terlalu serius. Namun tulisan ini sudah sampai dimuat di media cetak yang tentunya mempunyai aturan tersendiri mengenai hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual, termasuk hak moral atas tulisan. Sesuai dengan pengertian hak moral yang saya baca selintas di Wikipedia, hak moral biasanya meliputi hak diidentifikasi sebagai penulis pekerjaan sesuai pasal 6 Konvensi Bern. Tidak ada sanksi hukum apapun yang saya pahami dapat timbul dari pelanggaran atas hak ini. Yang terjadi adalah pelanggaran secara etika saja.

Setelah bertanya kepada seorang konsultan HAKI dan meminta saran praktis dari rekan baik yang juga ketua sebuah komunitas blogger, saya mengambil kesimpulan bahwa hal ini mesti ditindaklanjuti. Maka melayanglah surat klarifikasi dan keberatan yang saya tujukan ke si ‘penulis kedua’ dan admin portal yang dimaksud. Beberapa keresahan pun saya tumpahkan di Twitter. Reaksinya cukup membuat saya merenung.

Beberapa twit dan komentar miring saya baca selintas yang intinya menyayangkan saya yang terlalu memandang persoalan ini secara serius dan bahkan mengutip prinsip-prinsip Creative Commons dari pendekatan yang justru menghilangkan maksud penyelenggaraan prinsip tersebut. Sedangkan respon awal dari pihak portal juga tidak membantu banyak, yakni justru meminta keringanan mengingat si penulis kedua tersebut masih duduk di bangku sekolah.

Respon dari sang admin kemudian saya jawab dengan menjelaskan prinsip hak moral dan hak ekonomi yang melekat pada penulis dan bahwa meski tidak terikat sanksi, seorang penulis yang ingin mengutip selayaknya memberikan informasi yang cukup tentang sumber tulisan. Bagi yang mempertanyakan kenapa saya menuntut adanya pemberian izin apabila ada yang mengutip tulisan saya, perlu saya tekankan: ANDA TIDAK PERLU MENGHUBUNGI SAYA BILA INGIN MENGUTIP TULISAN SAYA. Silakan kutip sebebas-bebasnya, namun sebagai sesama penulis ada baiknya bila Anda menghargai saya dengan cara mencantumkan sumber kutipan dengan wajar. Inilah yang saya sedang perjuangkan sekarang. Pada akhirnya persoalan ini ditangani cukup baik oleh portal tersebut: saya mendapat pengakuan yang baik atas tulisan si orang kedua melalui kutipan di akhir postingan, dan terbitnya surat permohonan maaf secara tertulis.

Akhir kata saya ingin menyampaikan pesan kepada si penulis kedua: maafkan bila saya berlaku keras kepadamu. Saya cukup mengenal dirimu secara pribadi dan memahami maksud baikmu. Namun perlu diketahui juga bahwa ada batasan antara menghargai dan mencederai karya orang lain dengan tidak mengakuinya. Kamu masih muda dan banyak waktu untuk menajamkan kemampuan sembari meningkatkan kesadaran akan karya intelektual dalam bentuk tulisan. Semoga hal ini menjadi pelajaran baik buatmu untuk tetap berkarya di masa mendatang.

37 thoughts on “Menyoal Hak Moral Atas Tulisan

  1. jadi bener gaa marah lagi ya?
    soale saya mo berulah lagi niy
    mo saya sadur lagi tulisannya ya
    biar tulisan di blog saya keren
    maklumlah saya kan blom bisa menulis dengan gaya bahasa yang keren xixixixi

    Like

  2. Belum pernah ngalamin kejadian yang sama kayak Opa, paling banter cuma semua tulisan blog saya disedot melalui feed untuk ditampilkan di blog-blog AGC. Dan sama juga kayak Opa, kalau masih di seputaran online, males juga ngurusinnya. Tapi kalau udah masuk cetak, ya minta bayaran. 😆

    Like

  3. hmm, sepertinya orang yg menyadur tanpa sumber tadi belum pernah belajar Bahasa Indonesia ^_^

    Semoga kasus-kasus plagiarism seperti itu tidak kembali marak ya. Karena hal itu: memalukan

    Like

  4. Wah… ada apa ini? Kok saya telat banget dapat gossip tentang ini. Tolong ya nanti diceritakan secara detail dan terperinci #penasaran

    Siapa pun itu, kalau plagiat, nggak banget deh.

    Like

  5. Kejadian seperti sering terjadi, bahkan sering dikoar-koarkan “Hargailah Hak intelektual seseorang”, namun mereka seperti ogah-ogahan, semoga tidak ada lagi yg gituan, karya intelektual wajiblah dihargai, minilmal dengan mencantumkan url blog-nya.

    Sukses ya, kalau ada lagi yg begitu, mari kita “jewer” ramai-ramai biar kapok. 😀

    Like

  6. Walau bagaimanapun kalo hasil karya kita ada yang menghargai rasa plong. Kita lega walau di copas habis-habisan. Kalo kayak kasus yang dialami omBrad wajarlah kita tmpahkan uneg-uneg. Lha, wong masih manusia normal kok. Ikhlaskan aja om…

    Like

  7. mungkin kalau dicantumkan sumbernya, ceritanya nggak begini ya Oom… lumayan, publikasi gratis, siapa tahu ntar ada yang butuh kemampuan menulis Oom Brad dan dihargai dengan rupiah yang tidak sedikit! hohoho!

    semoga penulisnya nggak menjadikan ini semacam batu sandungan, tapi justru batu lompatan agar bisa berkarya lebe bae lagi di masa mendatang yaaa 😀

    Like

  8. Om brad.. kita sama .. :d dan emang sama anak sekolahan.

    keknya para pendidik jg mesti mulai masukin ke kurikulum pelajaran ngeblog deh. Saat blogging dan internet udah mulai diajarin di sekolah2, mungkin perlu ditambahin jg tentang pembajakan hak cipta.

    cm km dahsyat sampe udah dicetak segala, artinya tulisan dikau sungguh mumpuni.

    Happy writing ya om.. (cozy)

    Like

  9. Di negeri ini saya masih melihat ada orang yang memandang positif kegiatan plagiasi, entah mengapa rasanya terlalu meremahkan mereka yang menuangkan idenya meski mungkin bukan sebuah ide murni.

    Saya melihat ada kecenderungan pembiaran juga dari pihak narablog membiarkan tulisannya diplagiat dengan tidak memedulikannya pada awalnya.

    Padahal kita semua, apalagi yang dari jajaran civitas akademika, seharusnya memahami, betapa kelirunya plagiasi itu. Membiarkannya berarti juga mendukungnya.

    Saya mencintai tulisan saya, terlepas dari baik dan buruknya. Apa ada yang mau sesuatu yang dikasihi dijajakan begitu saja tanpa sepengetahuannya. Ibarat misalnya anak kita, apa rela dijajakan di perempatan lampu merah begitu saja saat kita tidak menyadarinya?

    Tidak ada yang berlebihan dalam menentang plagiasi, ini adalah sesuatu yang mesti dibangun dan diperjuangkan di negeri yang sudah bobrok oleh korupsi. Jika tidak ada lagi yang mau menerapkan nilai-nilai kejujuran, maka habislah sudah masa depan negeri ini, bahkan dari hal-hal sekecil pencontekan dan plagiasi.

    Like

  10. seperti yang saya bilang, semoga tindakan kita ini tidak dianggap sebagai sebuah hadangan kepada dia untuk terus berkarya, malah sebaliknya,bisa dijadikan sebuah pelajaran penting sebelum makin jauh ngeblog

    kalau didiamkan saja bisa-bisa dia menganggap kalau tindakan seperti itu sah-sah saja..takutnya malah makin merusak. sayang kan ? apalagi dia potensial.

    Like

Leave a comment