“Apakah marah itu dosa?”
Tentunya kita pernah bertemu dengan pertanyaan itu pada satu waktu di hidup kita, bukan? Saya masih ingat sekali, pertanyaan itu pertama kali saya temui sewaktu semester pertama kuliah pada pertemuan di persekutuan mahasiswa Kristen fakultas. Karena kebetulan waktu itu adalah sesi ibadah, maka jawabannya langsung diarahkan ke sebuah ayat: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa…” Jadi kesimpulannya, amarah itu sendiri bukanlah dosa. Namun mengapa amarah hampir selalu berujung negatif? Dapatkah kita marah namun tetap menguasai emosi dan mengubah amarah itu menjadi sesuatu yang positif?
Saya akui akhir-akhir ini kita seringkali menjadi marah. Oh, tidak begitu merasa ya? OK, mari saya uraikan beberapa:
1. Marah Atas Kondisi Bangsa
Nazaruddin, Gayus, Korupsi, Ketidakpastian Hukum, Pencitraan, Kemiskinan, Gedung Sekolah Hancur, Uang Sekolah Mahal, Biaya Rumah Sakit Mencekik Leher, Macet, Polusi, Kriminalitas… daftar ini dapat saya terus buat sepanjang malam. Coba Anda nyalakan televisi di pagi hari, berita apa yang keluar? Hanya kabar buruk, bukan? Jika kita terus mencekoki diri dengan kabar-kabar ini, maka emosi kita akan terbawa dan tanpa terasa akan menulari orang lain dalam bentuk amarah.
2. Marah Atas Diri Sendiri
Poin ini masih bisa diperdebatkan. Sebagian dari kita mungkin merasa kecewa terhadap diri sendiri oleh karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Hal-hal yang mengecewakan itu bisa jadi terus-menerus berlangsung sehingga memenuhi pikiran kita dan puncaknya meledak dalam bentuk amarah.
3. Marah Atas Ketidakadilan pada Komunitas
Yang ini konteksnya berbeda-beda; namun yang saya ingin angkat adalah komunitas onliner Indonesia terutama blogger yang akhir-akhir ini riuh-rendah membicarakan beberapa acara yang diklaim tidak lagi membumi, atau sebuah gerakan yang tidak memiliki massa riil namun berkoar-koar di atas sebagai ‘payung’ komunitas blogger Indonesia. Kita marah karena melihat massa blogger dimanfaatkan sebagai komoditas untuk kepentingan politik golongan tertentu demi popularitas dan uang.
Dan daftar ini dapat terus bertambah panjang….
***
Lalu dapatkah amarah tadi diubah menjadi energi yang positif dan konstruktif? Saya mencoba mereka-reka solusi untuk ketiga situasi di atas.
1. Berbuat Sesuatu Bagi Bangsa
Amarah kita kepada bangsa dapat diubah menjadi energi untuk memajukan pendidikan kaum muda agar celik mata terhadap kondisi bangsa dan memastikan anak-cucu kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitasnya terbukti tangguh dalam menghasilkan generasi muda yang berpikiran terbuka dan teguh memegang disiplin. Untuk jangka pendek, yang bisa saya lakukan adalah menutup telinga dari berita-berita korupsi dan fokus terhadap hal-hal yang perlu saja. 😀
2. Berbuat Sesuatu Bagi Diri Sendiri
Yang utamanya kita perlu lakukan adalah memastikan semua kebutuhan dasar kita terpenuhi agar kita mampu meredam emosi secara umum. Jika urusan perut ke bawah sudah selesai, baru kita dapat berkonsentrasi pada urusan perut ke atas. Bagi saya, itu berarti peningkatan kualitas dalam profesi.
3. Berbuat Sesuatu Bagi Komunitas
Alih-alih sibuk menggelar event besar, lebih baik kita mengubah energi amarah itu menjadi sesuatu yang positif dan mengerjakan sesuatu yang berguna bagi komunitas itu sendiri dan masyarakat luas, meski dimulai dengan langkah kecil. Dengan bangga saya kabarkan bahwa deBlogger telah memulai langkah kecilnya yakni menjalankan program Kakak Asuh deBlogger (KADO) yang peluncurannya akan dilaksanakan Sabtu ini (20/Agustus) dalam acara Buka Puasa Bersama deBlogger.
Jadi dapatkah amarah diubah menjadi sesuatu yang konstruktif? Bagi saya, bisa. Bagaimana dengan Anda?! Ditunggu sharingnya. 😀
===
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah entry di blog Daily Post: “Can Anger Be Constructive?“
Sumber gambar: fugly.com
marah sama komunitas eksklusif? biarin aja deh Opa.. 🙂
LikeLike
wakakak, iya biarin aja ya Gie 😉
LikeLike
kok tau saya pemarah? 😀
eh itu mau kasi saya KADO? mau dong 😀
bungkusnya yang meriah yak xixixi
LikeLike
wakakakak, mau bungkusin apa? jengkol?! 😀
LikeLike
nomer 3 yg merah saya setju tuh om. terima atau engga kita harus menghadapinnya, materi jadi faktor utama untuk melakukannya.
LikeLike
materi selalu jadi motivator utama ya? kok saya pikir enggak juga ya 😀
LikeLike
membumi.. hm…
LikeLike
thanks ya
LikeLike
boleh, dengan senang hati. alamatnya udah jelas kan? Jangan sampai nyasar ke tetangga lho, ntar saya marah nih 😀
LikeLike
wakakakak dia ngancem 😛
LikeLike
bukan mudah nak ubah amarah jadi positif.. biasanya kena lepas kat mana2.. mungkin kalau tulis kat blog atau kat twitter bisa reda….
LikeLike
kadang bisa reda lewat blog atau twitter, namun kali ini sepertinya tidak cukup 😀
LikeLike
waaa..mantap deh deBlogger..!!
mampu mengubah marah menjadi sebuah hal yang konstruktif..
nantikan pembalasan kami ya..
#apasyih
LikeLike
hehehe ditunggu gebrakannya 😉
LikeLike
mau donk di asuh kaka hahaha
wah apakabar opa lama ga bersua….hehehe
LikeLike
ahhh kapan kau ke jakartaaaa?!!!!
LikeLike
ikut panggil opa ah.. hehe
saya jarang marah opa, soalnya menurut saya marah itu bikin hati dan diri saya jadi tidak tenang.. itulah kenapa saya paling benci ketika mengetahui bahwa saya sedang marah, karena pas marah (kata teman saya) saya terlihat menyeramkan.. huuuffhh.. #nohope
LikeLike
saya tidak bersedia dipanggil dgn sebutan itu. maaf 🙂
LikeLike
mmhhh..marah?, kalau saya pribadi, jika sedang jengkel atau marah, biasanya mengambil kerupuk lalu meremasnya di mulut dan dikunyah sampai habis, dan ternyata kebiasaan itu buruk apalagi sedang diet, hehee…jadi, kalau marah segera membasuh muka dengan air. Tapi sekarang dengan bantuan musik instrument klasik marah itu bisa dikontrol dan kembali berpikir damai, dan pada akhirnya kerap tersenyum, maka tak salah saya sering ucapkan SADAMDA BASEMEN, salam damai dan bahagia selalu menyertai, amin…:)
LikeLike
basuh muka dengan air? catet. thanks ya 😀
LikeLike
Saya sendiri kurang tahu Mas, namun seingat saya, saya tidak pernah menjadi konstruktif ataupun produktif ketika marah, jadi jawaban saya mungkin tidak.
LikeLike
terima kasih atas kejujurannya 😀
LikeLike
Ah, saya malu membaca postingan ini.
LikeLike
😀 terima kasih atas kejujurannya 😀
LikeLike