Menangis Semalam

“Datanglah”

Sebutir kata itu muncul di layar ponselku pagi ini. Tubuh yang lelah setelah berkutat di depan laptop semalaman langsung terjaga. Mental clock-ku memang boleh dibilang hebat; aku tidak memerlukan jam weker untuk bangun pagi. Cukup menanamkan keyakinan ke otak untuk bangun pada jam tertentu dan menambahkan alasan yang valid biasanya sudah cukup. Namun pagi ini jam alamiah itu meleset. Aku justru baru terbangun dua jam kemudian setelah mendengar dering SMS.

Dengan sekali sentak aku menyingkapkan selimut lalu beranjak ke arah jendela. Matahari yang meninggi menyusupi sela-sela gorden menambah cerah kamar kos yang baru kutempati seminggu terakhir. Masa-masa mengajar di Jakarta telah berlalu dan kini aku bersiap memulai karier baru di Bali. Semua kenangan manis kubawa dan yang buruk kutinggal di Jakarta. Yakin semua sudah terpilah rapi? Ya, sepertinya sudah semua. Aku melirik kembali ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur.

Kecuali yang itu….

***

Depok, 1997

Pertama kali aku melihatnya ketika ia memasuki kelasku di hari pertama semester itu, dan terlambat pula. “Maaf, Mbak Rina. Saya terlambat. Kena macet tadi,” mulutnya membuka suara.

“Anda terlambat lebih dari setengah jam. Silahkan menunggu di luar.”

“Tapi, Mbak, kemacetan tadi di luar perkiraan.”

“Saya paham. Tapi peraturan tetap peraturan. Silahkan menunggu di luar. Kalau mau, tarik saja kursi ke balik pintu supaya kamu tetap dapat mendengarkan perkuliahan.”

Begitulah siasatku demi tidak menghalangi hak mahasiswa memperoleh ilmu sambil tetap tunduk pada peraturan kampus yang kaku. Ini adalah semester keduaku mengajar di sini selepas menyelesaikan pendidikan S2-ku di Australia dan memutuskan pulang. Jarakku dengan para mahasiswa tidak terpaut jauh dan aku belum siap menerima predikat ‘dosen monster’. Lagipula lebih baik terbuka dan mendengarkan dulu setiap masalah sebelum menjatuhkan hukuman, bukan?

Demikianlah, urusan keterlambatan mahasiswa itu terlupakan hingga kuliah selesai. Setelah semuanya keluar aku melihat mukanya menyembul di balik pintu. Aku memanggilnya masuk.

“Sekali lagi maaf ya, Mbak.”

“Tidak apa-apa. Absenmu saya catat hari ini namun lain kali tidak ada dispensasi lagi ya. Namamu siapa?”

“Mario Pereira.”

Jadi ini orangnya. Mahasiswa asal Timor Timur yang sudah kuperhatikan namanya di daftar absensi sejak pagi. Sejenak kupandangi perawakannya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi namun tegap. Badannya yang ramping menyiratkan kerja keras yang mungkin harus dijalaninya demi kuliah di Jawa. Kulitnya coklat terang, lazim untuk ukuran Timor-Timur yang banyak dihuni orang-orang peranakan Portugis. Senyumnya lebar menampilkan sebaris gigi yang putih.

“OK, Mario. Jangan terlambat lagi ya.”

Aku menyampirkan tasku lalu berdiri meraup buku-buku referensi hukum yang tebalnya sebesar-besar bantal itu lalu cepat berjalan ke luar kelas. Malang nasibku, tepat di luar ruangan ada serombongan mahasiswa yang sedang berlarian entah karena apa. Sesaat setelah melangkah keluar, badanku tertubruk keras oleh seorang mahasiswi keseimbanganku hilang. Namun sebelum sempat aku jatuh ke tanah, ada tangan yang langsung mencengkeram lenganku agar tidak jatuh ke arah yang fatal: tembok pembatas balkon di lantai dua yang langsung berhadapan dengan lapangan terbuka di bawah. Badanku membentur tepi balkon sementara buku-buku referensi yang kubawa jatuh berdebam ke lantai dasar. Dengan masih shock aku mendongakkan kepala. Mario.

Di situlah segalanya berawal.

***

Depok, 1999

Dering telepon di luar kamar kos membangunkanku.

“Hai, sayang.”

“Hi Rina, kenapa nih?!” jawabku dengan suara parau, masih mengumpulkan nyawa.

“Iih, baru bangun ya. Cepet mandi. Aku tunggu di kampus ya setengah jam lagi.”

“Eh jangan di kampus dong. Temen-temenku lagi pada rame di sana mau persiapan OPT.”

“Oh, OK. Mau langsung ke Kantin Pusat Studi Jepang aja?”

“Aduh, jangan juga deh. Mmm, nanti kukabarin aja lagi gimana?”

“Loh, emang kamu gak ke kampus?”

“Eh, enggak. Aku ada urusan sedikit ke Cikini.”

“Huh. Ya sudah gapapa deh. Call me ya, honey

“OK, senhorita.”

Aku termenung. Sudah dua tahun semenjak aku terlambat masuk kelas pagi itu dan kami menjalin hubungan. Semua baik-baik saja meski kami harus pandai-pandai membawa diri agar tidak menjadi konflik dengan pihak fakultas. Untungnya Rina adalah dosen yang sangat disiplin sehingga kehadiranku di kelas pada semester itu tidak berpengaruh pada integritasnya sebagai dosen. Namun setelah semester itu berakhir, teman-teman tentu curiga akan kedekatanku dengan Mbak Rina. Awalnya memang aku sering digoda, namun lama-lama terbiasa juga.

Esterina Pratiwi. Di balik sikap dinginnya sebagai dosen, sesungguhnya Rina adalah pribadi yang hangat dan menyenangkan. Kami kerap menghabiskan waktu di perpustakaan atau di kafe dan memperdebatkan berbagai hal. Namun tak jarang pula kami menikmati kebersamaan dengan duduk-duduk di tepi danau memandang langit sore. Kugenggam erat tangannya sambil membisikkan betapa aku mencintainya dan menggambarkan rencana-rencana indah di masa depan bersamanya. Dia pun membalas cintaku dengan sama hangatnya, menantikan saat wisudaku nanti di mana aku boleh lepas bergaul di depan publik tanpa batasan hubungan yang kaku antara dosen dan mahasiswa.

Rina sangat gandrung dengan batik; pas dengan asal-usulnya dari Yogyakarta. Kalau tidak berbaju batik, maka pernak-pernik aksesoris yang ia kenakan akan bernuansa batik, entah itu gelang atau kain yang menyampir di bahu. Suatu hari ia memberikan kado kejutan di hari ulang tahunku. Sebuah kemeja batik yang berkain halus sejuk bermotif Parang.

“Kemejanya pasti mahal”

“Ah gak papa, tenang aja sayang. Aku kan kenal banyak pedagang batik, jadi ini sudah dapat diskon,” tukasnya menenangkan kegundahanku. “Kamu ini kan orang Indonesia, masa aku gak pernah sekali pun melihatmu mengenakan batik.”

“Ya karena emang gak punya.”

“Berarti pas dong hadiahnya.” Senyumnya menawan seperti biasa.

Dengan caranya yang unik, ia memperkenalkan budaya Jawa kepadaku. Diam-diam aku berjanji akan membawanya suatu hari nanti ke depan pintu rumah orang tuanya di Gejayan, Yogyakarta dan meminta izin orang tuanya agar aku boleh menikahi putri mereka.

Ah, tapi kali ini impian itu disimpan dulu. Ada sesuatu yang jauh lebih penting yang mesti diurus dan aku… belum mandi!

Kakiku melangkah cepat ke arah kerumunan orang yang sepertinya sudah mengantri sejak pagi. Banyak media yang meliput juga. Aura ketegangan meliputi lapangan tersebut meski nada optimisme menebar di mana-mana, terutama dari media dan para pengamat.

Aku terkesiap ketika namaku dipanggil. Sebuah keputusan menentukan akan kuambil.

Hari ini. Tepat 30 Agustus 1999.

(bersambung)

20 thoughts on “Menangis Semalam

  1. weitsss…ternyata Oom Brad juga bisa nulis cerpen…
    mantap..!!!

    saya juga punya blog yang isinya cerpen2 saya lho..hihihi
    tapi belum pernah saya publish ke umum…gak pedeee..!!!

    hahahaha

    Like

Leave a comment