Refleksi Film “Tanah Air Beta”

Berawal dari kunjungan ke Depok untuk mengurus akses internet saya yang bermasalah, akhirnya kaki saya melangkah masuk ke sebuah bioskop yang kesemua studionya sedang memutar film Indonesia. Mata saya tertumbuk pada sebuah film karya Ari Sihasale, yaitu “Tanah Air Beta.” Saya sebelumnya sudah pernah mendengar tentang film Tanah Air Beta ini, hanya sayangnya review film tersebut tidak terlalu bagus. “6 dari 10, paling mentok 6.5,” begitu komentar seorang blogger di milis beberapa waktu lalu. Ah, tapi saya tidak peduli dan langsung membeli tiketnya. Tulisan ini adalah refleksi saya setelah menonton film Tanah Air Beta. Bukan review, tapi refleksi.

Sinopsis

Film Tanah Air Beta ini mengisahkan tentang perjuangan seorang ibu yang bernama Tatiana (Alexandra Gottardo) asal Timor Leste yang mengungsi ke wilayah Indonesia pasca Referendum di Timor Timur pada tahun 1999 yang berujung pada lepasnya Timor Timur dari NKRI. Ia turut serta membawa seorang putrinya, Merry (Griffit Patricia), namun meninggalkan putranya yang sulung, Mauro (Marcel Raymond), bersama pamannya di Maliana, Timor Leste. Tatiana bersama Merry kemudian menjalani kehidupan sebagai pengungsi di provinsi Nusa Tenggara Timur bersama ribuan pengungsi asal Timor Leste lainnya. Kehidupan sebagai pengungsi yang berat tidak membuatnya putus asa; ia bekerja keras mengajar di sekolah darurat bagi anak-anak pengungsi dibantu oleh Abu Bakar (Asrul Dahlan), sesama pengungsi keturunan Arab yang sudah lama tinggal di Timor Leste. Sepanjang masa tinggalnya di pengungsian, Tatiana terus berusaha mencari anak sulungnya Mauro melalui seorang relawan (Lukman Sardi). Ketika akhirnya relawan tersebut mengabarkan keberadaan Mauro, maka bergegaslah Tatiana ke perbatasan Mota’ain ditemani Abu Bakar untuk memastikan kabar tersebut. Sayangnya kabar yang diterima adalah kabar buruk. Mauro menolak menemui ibunya karena kecewa telah ditinggalkan bersama pamannya sewaktu ibunya pergi ke Indonesia. Mauro hanya ingin menemui adik kecilnya, Merry.

Merry adalah seorang anak tanggung dengan rambut merah keriting dan sangat periang. Namun ia juga sering merindukan kakaknya yang sudah lama tidak ia jumpai. Keseharian Merry di sekolah dan di kamp pengungsi diwarnai dengan membantu ibu menyiram pokok jagung, bermain di sungai, dan berkelahi dengan Carlo, sesama bocah pengungsi yang nakal dan sering mengganggu Merry. Namun ketika ibu Merry jatuh sakit, Merry akhirnya mengetahui kabar sebenarnya tentang Mauro yang tidak mau menemui ibunya dan hanya ingin menemui Merry.

Terdorong oleh keprihatinan atas ibu yang sedang sakit dan kerinduan akan kakaknya, Merry nekat berangkat ke perbatasan sendirian. Jalan ke Mota’ain sangat sulit; 8 jam dengan kendaraan dari Kupang. Namun Merry dengan uang dan bekal seadanya menaiki bis Kupang – Kefamenanu. Ketika sampai di Kefa dan uangnya tidak cukup untuk ongkos bis sampai ke Mota’ain, Merry pun mengayunkan kakinya menembus padang rumput.

Sementara itu, Tatiana yang panik mencari anaknya meminta bantuan Abu Bakar untuk turut mencari. Abu Bakar pun segera menyuruh Carlo ikut mencari Merry. Carlo, si anak nakal itu, ikut menguatirkan keselamatan Merry. Di balik sosoknya yang bandel, Carlo adalah seorang anak yatim-piatu yang berhati baik dan merindukan seorang adik. Maka berangkatlah Carlo menyusuri jalan yang sudah diambil Merry. Film ini kemudian terus mengalir mengisahkan perjalanan masing-masing dari Merry dan Carlo, pertemuan mereka di jalan, suka-duka mencari makan, dan akhirnya sampai di perbatasan. Jembatan Mota’ain yang juga disebut Jembatan Tangis itu menjadi saksi pertemuan Merry dengan kakak laki-laki yang telah lama dirindukannya, dan juga reuni keluarga Tatiana secara lengkap.

Kritik

Uraian cerita di atas memang terasa datar karena saya tidak menggambarkan konfliknya secara menyeluruh. Tapi kalau Anda menonton sendiri film tersebut, memang terasa sekali bahwa film Tanah Air Beta ini kurang tertata dengan baik dari segi cerita. Intensitas film ini tidak terasa peningkatannya sampai pada klimaks, dan penonton bahkan disuguhkan adegan “norak” ketika Merry dan Carlo mencari-cari Mauro di jembatan Mota’ain dengan cara menyanyikan lagu “Kasih Ibu Kepada Beta.” Faktor cerita yang kurang menggigit ini cukup mengecewakan saya. Namun saya sangat terhibur dengan pemandangan alam Timor yang indah yang tersaji luas di film ini, plus, senandung lagu-lagu khas Timor yang ceria dan menghanyutkan. Alam Pulau Timor yang bercirikan karang dan padang savannah tersaji apik dengan sudut pengambilan gambar yang memukau. Keunggulan dari sinematografi merupakan daya tarik tersendiri di film ini yang membuat penonton tidak rugi-rugi amat menyaksikannya.

Refleksi

Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen cukup berani mengangkat cerita ini karena berlatar belakang konflik masa lalu yang cukup sensitif di Indonesia, yaitu lepasnya Timor Timur. Ditambah lagi dunia perfilman Indonesia yang sempat heboh dengan pelarangan film Australia “Balibo” untuk diputar di tanah air turut menyumbang suara miring bahwa film Tanah Air Beta ini mungkin saja merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjawab film Balibo. Namun keraguan itu terjawab dengan statement jelas dari Alenia Pictures yang menyatakan bahwa ini adalah murni film keluarga.

Terlepas dari kekuatan dan kelemahan filmnya, tema yang diangkat membuka mata banyak orang akan keberadaan para pengungsi asal Timor Leste yang memilih untuk tetap bertahan di Indonesia dan bergabung dengan NKRI. Sosok pengungsi yang biasanya diperhatikan sambil lalu di suratkabar, kini muncul dengan segala kegalauannya dalam sebuah film. Segala alasan politis seolah hilang ketika mendapati kenyataan bahwa mereka lari ke Indonesia bukan karena itu adalah pilihan politis mereka; melainkan untuk mencari keamanan dan kehidupan yang lebih baik. Lalu kepahitan hidup karena harus berpisah dengan keluarga di sisi lain pulau dan tangis mereka ketika bertemu kembali di atas Jembatan Mota’ain menyadarkan kita bahwa perpisahan Indonesia dengan Timor Timur tidak hanya bersifat politis, namun juga bersifat fisik yang mencabik-cabik banyak keluarga.

Tahun lalu saya pernah berkunjung ke sebuah perumahan eks-pengungsi Timor Leste di Oebello, sebuah desa di sebelah timur kota Kupang. Pemerintah telah secara resmi memberikan tanah dan perumahan itu kepada mereka, namun kondisi kehidupan mereka masih jauh dari layak. Kondisi bangunan rumah masih berupa bambu dan atap ijuk; hanya sedikit yang sudah berdinding bata dan beratap seng.

Kampung pengungsi di Oebello
Rumah sederhana, Oebello

Bagaimana dengan perhatian dari pemerintah? Terlalu naif kalau saya bilang bahwa pemerintah tidak memperhatikan. Lahan dan rumah milik mereka itu adalah bukti perhatian pemerintah! Lalu fasilitas pendidikan, kesehatan, dan keagamaan juga tersedia di sekitar lingkungan mereka meski masih minim. Pembangunan di daerah ini baru terbatas pada tahap pemerataan saja, belum ada peningkatan pembangunan yang dapat lebih memajukan masyarakat eks-pengungsi ini.

Semoga film ini dapat membuka mata para petinggi kita di Jakarta agar segera berbuat sesuatu bagi mereka juga.

Obrigado!

54 thoughts on “Refleksi Film “Tanah Air Beta”

  1. review-nya mantab dan mencerahkan, mas. tapi kalau dilihat screenshoot-nya, settingnya kayaknya bener2 indonesia banget. ini potret rill kondisi masyarakat kita yang memang sedang menghadapi banyak masalah sosial.

    Like

  2. Kayaknya, respon senada banyak saya dapatkan bagi orang-orang yang telah menonton film ini yach. Hampir semuanya berkata serempak bagaikan koor “Dataaaaaaarrrrr”. Hehehe. Ini bisa menjadi PR bagi Alenia untuk membuat film -yang walaupun ditargetkan untuk keluarga- yang memiliki kedalaman cerita. Saya setuju sekali akan pendapat anda mengenai adegan norak “Kasih Ibu di Jembatan Mota’ain” itu. Sayang, harusnya ada cara lain bagi mereka untuk bertemu satu sama lain daripada adegan yang terlalu dipaksakan itu. Walau demikian, salut besar untuk Alenia telah mengangkat sesuatu yang lain daripada biasanya. Buat saya, film ini sangat menyegarkan. Setuju dengan perkataan anda, senandung melodi dan nyanyian khas Timor membuat film ini menjadi kaya. Pekerjaan rumah sineas Indonesia masih jauh, namun Tanah Air Beta sudah cukup menjawab pertanyaan idealisme akan film bermutu di negeri ini. Salut untuk mereka berdua šŸ™‚

    Like

      1. Ooohhhh!!!! saya lebih dari mau untuk berkunjung kesana lagi. Saya sangat menyesal waktu itu nggak sampai ke Atambua dan Atapupu, apalagi sampai Mota’ain. *ngarep tiket pesawat murah dech* hahaha…dulu saya pernah dapat 600rb PP Jakarta – Kupang deng Mandala loch šŸ˜€

        Oom Brad ada rencana kesana kapan?

        *loch? Trus Ambonnya gimana? hehehe*

        Like

  3. film2 seperti ini memang seharusnya layak menjadi tontonan, baik dari segi hiburan dan lainnya karena banyak pesan2 yang terdapt dalam film seperti ini.
    sayang saya belum sempat menonton film ini

    Like

  4. Saya … saya… saya yang ngasih nilai 6.5 :mrgreen:

    Satu waktu, saya ingin sekali menyambangi gugusan pulau Nusa Tenggara itu *eh maab jadi OOT soale panjenengan kan sudah direspons di milis* šŸ˜†

    Like

  5. Mohon maaf sobat, dikarenakan saya jarang update blog dan jarang masuk ke panel admin karena kesibukan sehingga baru bisa membalas kunjungannya šŸ˜€ Mungkin karena khilaf saya sehingga terlewat membaca komentar dan terlupakan menjawab koment sobat,.. Mohon maaf sekali lagi ya?? Link blog anda sudah saya pasang di blog saya, sebagai permohonan maaf saya…

    Salam Hangat… salam blogger

    Like

  6. Saya waktu menonton review film ini agak sedikit terkejut, karena Alexandra Gottardo yang cantik itu berubah jadi seperti yang tidak saya kenal… benar2 mirip orang disana. Saya salut akan aktingnya sehingga benar seolah2 mencerminkan warga pengungsian Timor Leste.
    Film seperti ini bisa membuka mata hati kita sebagai bangsa Indonesia

    Like

  7. Sebuah pengalaman yg sangat menyentuh. Apalagi pernah berkunjung ke sebuah perumahan eks-pengungsi Timor Leste di Oebello. Semoga cerita kita dapat menyentuh hati para donatur utk memberikan sebagian rejekinya utk senyum mereka.

    Sobat,
    Sehubungan dengan aksi peduli terhadap para pengungsi ini, kami mohon bantuannya utk promosi lembaga sosial yg akan membantu keberlangsungan mereka.
    http://atesare.org/pengungsi-timor-timur-dan-derita-politik/ .

    Hormat Kami
    ttd
    Blogger Flobamora NTT
    ***************************
    http://flobamora.org

    Like

    1. terima kasih banyak atas komentarnya. nanti akan saya pelajari dulu info di situs itu.

      salam kenal dari blogger depok. oya, sukses untuk lomba blognya ya šŸ™‚

      Like

  8. jarang2 pilm kayak gini dibalik membanjirnya pilm2 horor nakal yang membanjiri bioskop2 di indonesia. pilm ini sangat layak di rekomendasikan untuk ditonton oleh remaja kita.:)

    Like

  9. terlepas dari penilaian teman2 tentang kualitas film ini, secara pribadi aku suka sekali menonton film indonesia yang dibuat dengan serius spt buatan Alenia, Miles, dan Deddy Mizwar…

    Like

  10. Saya juga kecewa dengan film ini. Saya kira film ini akan mengangkat tema kecintaan terhadap Tanah Air. Tapi ceritanya cuma berpusat di masalah pribadi Tatiana. Ndak ada sedikit pun semangat cinta tanah air yang ditampilkan di film ini kecuali pada awal film (konvoi pengungsi yang keluar dati Timor-Timur) dan di akhir film (lantunan lagu Indonesia Pusaka).

    Untung selama film berlangsung ada tokoh Carlo yang cukup membuat saya terhibur dan lupa akan banyaknya kekurangan film ini. Sekali lagi, saya dikecewakan oleh film Indonesia.

    Like

    1. hehe, justru saya senang melihat bahwa meski ada latar belakang situasi politik, film ini malah bertema keluarga. kecintaan tanah air tidak mesti ditunjukkan dengan simbol2 negara bro. justru saya melihat bahwa adegan pengungsi di awal film ini menunjukkan betapa orang2 tersebut merasa bahwa Indonesia sanggup melindungi mereka. Justru itulah cara Alenia mengangkat rasa cinta tanah air šŸ™‚

      Like

  11. setidaknya film ini murni karya kreatif mengangkat masalah bangsa. daripada jenuh dengan film horror tidak bermutu (berbau sex) dan jelas tidak seram. hehe, mending nonton yg seperti ini.

    Like

  12. hehehe…beta pu teman di CIS, Timor. Mama Ocha juga sering ajak beta tuk kembali ke Timor Carax via darat, daripada lewat udara yang pastix mahal sekali >.<. Hehehe…mudah2an bisa terwujud di 2011, mudah2an kita bisa pigi bersama. šŸ˜€ Maluku? Aminnnnn šŸ™‚

    Like

  13. dari banyak review ( temen ) ttg film ini…-sayangnya- memang hampir semua menyatakan hal yg sama…jadi sampai sekarang belum terpanggil untuk nonton…;-)
    but, tetap semangat berkarya utk ari & nia !

    Like

Leave a comment